Global Cyber News| Sejumlah Profesor, Praktisi Hukum, para aktivis, Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) dan Masyarakat Kawasan Danau Toba (KDT) meminta dan mendesak Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin untuk menunda eksekusi putusan hukum yang timpang, yang dialami aktivis lingkungan di Kawasan Danau Toba (KDT) Sebastian Hutabarat.
Selain meminta penundaan eksekusi putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Balige (PN Balige) itu, masyarakat juga mendesak Jaksa Agung Burhanuddin dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, untuk melakukan audit kinerja Kejaksaan Negeri Samosir (Kejari Samosir).
Kejari Samosir diduga tidak bekerja sesuai prinsip-prinsip hukum. Malah cenderung berpihak kepada pelaku tindak kriminalisasi terhadap Sebastian Hutabarat. Yang mana, kebetulan si pelaku adalah kerabatnya Bupati Samosir.
Hal itu dinyatakan sejumlah Profesor dan Praktisi Hukum bersama Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) ketika menggelar Seminar Online atau Webinar Diskusi Kamisan YPDT dengan topik Karpet Merah Untuk Perusak Lingkungan Kawasan Danau Toba (KDT) dan Penjara Untuk Aktivisnya, Kamis (04/06/2020).
Webinar ini menghadirkan pembicara, Tokoh-Tokoh Batak, seperti Prof Dr K Tunggul Sirait, Prof Panusunan Simanjuntak, Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Maruap Siahaan, Praktisi Hukum yang juga Ketua Bidang Hukum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Sandi Ebenezer Situngkir, Kuasa Hukum Sebastian Hutabarat, para aktivis, jurnalis dan masyarakat Kawasan Danau Toba.
Seminar ini juga menghadirkan Sebastian Hutabarat dan Jhohannes Marbun, keduanya adalah korban kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan oleh pengusaha tambang galian C di Desa Silimalombu, Kabupaten Samosir, yang merupakan kerabat Bupati Samosir.
Prof Dr Ing K Tunggul Sirait menyampaikan, keadilan yang sejati harus diwujudkan di Indonesia, termasuk di Kawasan Danau Toba (KDT). Perbuatan yang ditimpakan kepada aktivis Sebastian Hutabarat, menurut Prof Dr Ing K Tunggul Sirait, harus diusut dan diluruskan.
Karena itu, Jaksa Agung Burhanuddin dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, diminta untuk menunda eksekusi putusan pengadilan yang ditimpakan kepada Sebastian Hutabarat. Berupa kurungan 1 bulan penjara.
“Ini bukan soal besar kecilnya jenis vonis yang ditimpakan. Tetapi ini berkenaan dengan wajah pengadilan dan penegak hukum Indonesia yang sewenang-wenang. Sebastian Hutabarat adalah korban, malah dia yang divonis,” tutur Prof Dr Ing K Tunggul Sirait.
Hal yang sama disampaikan Tokoh Batak Prof Panusunan Simanjuntak. Menurutnya, ada kekeliruan yang disengaja, namun terus dipaksakan terhadap masyarakat di Kawasan Danau Toba (KDT), termasuk kepada Sebastian Hutabarat. Ketidakadilan ini sudah kian sering dialami masyarakat bawah di KDT.
“Banyak peristiwa yang dialami masyarakat di Kawasan Danau Toba, yang menunjukkan pelaksanakan hukum yang tidak adil. Timpang. Coba, Sebastian Hutabarat hanya bertanya, malah dia yang dipenjarakan. Hal yang sama dialami masyarakat lainnya di sana. Tidak bisa berbuat apa-apa ketika tanahnya dirampas. Malah masyarakat yang dihukum,” jelas Prof Panusunan Simanjuntak.
Ketua Bidang Hukum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Sandi Ebenezer Situngkir menjelaskan, dalam situasi pandemic virus Corona atau Covid-19 ini, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengeluarkan kebijakan untuk tidak melaksanakan pemenjaraan terhadap sejumlah keputusan hukum. Apalagi jika keputusan hukum itu masih dipersoalkan.
Sandi Ebenezer Situngkir yang juga salah seorang anggota Tim Kuasa Hukum Sebastian Hutabarat menyampaikan, pihaknya juga masih akan melakukan proses hukum terhadap Sebastian Hutabarat.
Karena itu, sungguh aneh ketika ada jaksa yang berkali-kali mendatangi rumah Sebastian Hutabarat, dan dengan cara yang kasar mencari-cari hendak menangkap dan memenjarakan Sebastian Hutabarat.
“Karena itu, kita meminta dan mendesak kepada Jaksa Agung Republik Indonesia Bapak Burhanuddin agar memastikan jajaran di bawahnya untuk menunda eksekusi. Kemudian, juga meminta Jaksa Agung Republik Indonesia Bapak Burhanuddin dan Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, untuk melakukan audit kinerja Kejaksaan Negeri Samosir, yang menangani perkara ini. Mereka harus diaudit itu. Soalnya, timpang sekali proses hukum yang dilakukan kepada Sebastian Hutabarat dan kawan-kawan,” tutur Sandi Ebenezer Situngkir.
Lagi pula, lanjutnya, sejak awal kasus ini bergulir, masyarakat dan terutama pihak korban sudah berseru-seru kepada Jaksa Agung dan jajarannya, serta kepada para Aparat Penegak Hukum (APH) agar diproses secara adil.
Sebastian Hutabarat, dalam testimoninya di webinar itu menyampaikan, dirinya sedang dalam perjalanan pulang menuju Balige, tempat tinggalnya. Karena sewaktu putusan berlangsung, dirinya sedang ada pekerjaan di Bali.
“Saya mendapat informasi, sudah dua kali Jaksa mendatangi rumah saya di Balige. Mencari-cari saya. Saya katakan, buat apa mencari-cari saya, sedang saya tidak melakukan apa-apa. Ini kesemena-menaan. Saya akan datang kok,” ujar Sebastian Hutabarat.
Hal yang sama diakui kerabat Sebastian Hutabarat, Samot Hutagaol. Menurut Samot, jaksa datang ke rumah mereka dengan nada kasar dan tidak layaknya seperti aparat penegak hukum yang menegakkan keadilan hukum.
“Saya sedih, sebegitu buruk rupanya wajah penegakan hukum di Indonesia. Saya pulang dari Jepang, dan berkomitmen untuk hidup dan tinggal di Tanah Kelahiran untuk membangun desa saya, ternyata perlakuan buruk yang saya peroleh dan saksikan. Saudara saya Sebastian Hutabarat diperlakukan bagai kriminal, bagai koruptor. Dimana penegakan hukum itu?” tutur Samot Hutagaol.
Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) Maruap Siahaan menyampaikan, sejak semula, sudah sangat banyak kejadian buruk yang dialami oleh masyarakat di Kawasan danau Toba. Terutama persoalan yang berkaitan dengan penegakan hukum, pelestarian lingkungan dan Kawasan Danau Toba, perampasan tanah dan lahan warga, serta kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan visi misi Presiden Joko Widodo.
“Kami melihat, ada pihak-pihak yang memaksakan kemauannya sendiri. Bahkan melacurkan ilmu dan pengetahuannya, melacurkan jabatannya dan bahkan TUHANnya, demi sejengkal perut. Sudah banyak kejadian-kejadian, kriminalisasi dan bahkan perampasan-perampasan, seperti yang dialami Sebastian Hutabarat. Dan akan terus banyak kejadian-kejadian itu terjadi ke depan, jika tidak ditegakkan keadilan dan hukum untuk masyarakat sejak saat ini,” tutur Maruap Siahaan.
Dia meminta, seluruh elemen masyarakat di Kawasan Danau Toba (KDT) dan masyarakat di perantauan, untuk berjuang dan menegakkan kebenaran dan keadilan hukum di Kawasan Danau Toba.
“Kita harus bersama-sama berjuang. Jangan takut. Jangan jadi pelacur-pelacur kepentingan demi uang dan jabatan,” tegas Maruap Siahaan
Red.