
Global Cyber News.Com|Ketika partai politik dibangun semata-mata hanya untuk mendapatkan kekuasaan tanpa ingin membentuk mental, morial dan etika anak bangsa, maka buahnya yang dipetik hanyalah kekuatan serta kemampuan serta kepiawaian untuk merebut kekuasaan saja. Jadi yang muncul cuma keharusan untuk merebut atau mereka yang kita rebut kekuasaannya. Maka itu budaya intrik dan saling sikut pun menjadi cara yang halal, tak diharamkan.
Itulah sebabnya guru politik saya dari dikampung segera mengingatkan, bila mau menakar partai politik itu dapat ditilik dari programnya yang mengutamakan pendidikan kader atau tidak. Jika tidak, cukuplah ditonton saja, apalagi bila tidak sanggup ikut menghadapi pertikaian yang akan selalu terjadi di dalamnya. Sebab budaya rebut merebut itu saja yang akan makin menguat sebagai bagian dari cara mempersakti diri untuk mendapat kekuasaan, baik di dalam partai politik itu sendiri maupun di luar, seperti jabatan dan kekuasaan yang berada di luar partai.
Kekuasaan itu ada di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Dengan pemahaman yang paling sederhana ini, tinggal dilihat mana yang paling ideal atau paling gampang untuk diraih. Karena memang tak bisa berlama-lama berkecupak di habitat politik, sebab ongkosnya relatif mahal. Sedangkan dalam kekuasaan apa pun yang dikehendaki bisa segera terwujud. Termasuk hasrat atau birahi untuk melipat gandakan kekuasaan atau pun jabatan yang sudah digenggam.
Itulan sebabnya kekuasaan itu cenderung korup. Karena hasil dari korupsi tadi bisa membeli apa saja kelengkapan dari kekuasaaan atau jabatan yang dianggap kurang.
Tengoklah mereka yang sudah memiliki jabatan dan kekuasaan itu justru paling dominan korup, masih bernafsu untuk merebut kekuasaan dalam bentuk yang lain, hanya untuk melengkapi perabotan dari singgasana kekuasaannya semata.
Kekuasaan itu pun dapat berujut uang atau harta benda yang melimpah. Boleh jadi lantaran ideologinya duit dan duit, maka korupsi di negeri ini semakin seru dilakukan oleh mereka yang sesungguhnya sudah lebih dari sekedar cukup dalam takaran kekayaan maupun jabatan, juga termasuk mereka yangberada dibilik swasta.
Karena itu saran dari guru politik di kampung saya itu juga segera mengingatkan agar perseteruan yang sedang menderu-deru antara kubu yang satu dengan kubu yang lain di arena politik sekarang, sikap terbaik adalah cukup menjadi penonton saja. Apalagi bila tak cukup sakti dan tidak mempunyai jurus melibas ke delapan penjuru angin yang keampuahannya berada diatas jurus sapu jagat.
Posisi menjadi penonton yang baik bukan karena cari aman. Tetapi perlu dicermati dan dikritisi, bahwa sikap dan watak kemaruk yang dipertontonkan dalam pertikaia dan perseteruan itu bisa dijadikan sandingan agar kita bisa lebik bijak, tak perlu meniru perilaku yang tamak dan rakus dari apa yang sedang mereka tujukkan. Sebab perang tanding itu masih akan terus berlanjut, seperti dalam kisahnya Mahabharata di Kurusetra.
Itu, pesan dari guru politik saya dari kampung kemarin. Karena nasehatnya yang birjak, kecuali masih terlalu banyak masalah yang merundung negeri kita, juga pagebluk masih akan terus menggasak kita. Dan jenis pandemi lain — seperti yang menggerogoti ekonomi, budaya serta tatanan sosial kita –tampaknya justru lebih gawat.
Jakarta, 7 Maret 2021
Red.