
- Global Cyber News.Com|Sebuah Epilog
Dr. Budhy Munawar-Rachman
-000-
“Pemikiran yang dikembangkan Denny JA soal peran agama di ruang publik lebih canggih dibandingkan sekulerisasi dalam pemikiran Nurcholish Madjid”
“Denny JA membawa sejenis revolusi kopernikan dalam pemikiran keagamaan. Pandangannya segera menjadi realitas masa depan dalam waktu yang tak lagi lama.”
-000-
Kita sudah tahu, kalau gelombang teknologi sebagai efek Revolusi Industri 4.0 telah mengubah tatanan di berbagai segi kehidupan. Revolusi ini mengubah dari hal-hal yang tradisional beralih ke sistem yang didukung mesin-mesin canggih.
Teknologi memberi peluang pada hal-hal praktis menjadi serba otomatis dan penuh inovatif di berbagai sektor kehidupan.
Teknologi digital ini juga telah mengakibatkan perubahan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam hal agama dan penghayatan manusia terhadap agama. Inilah era disrupsi.
Banyak ahli yang menyebut, bahwa agama yang dibutuhkan di era disrupsi ini adalah agama yang tidak hanya mengandalkan argumentasinya pada dalil-dalil yang terdapat di dalam Kitab Suci yang bersifat ideal, melainkan juga harus mendasarkan pada fakta-fakta yang bersifat empiris.
Agama yang dibutuhkan di era disrupsi ini menurut mereka, adalah agama yang ramah dengan manusia dan lingkungan, agama yang membawa kedamaian, kesejukan, dan keharmonisan dalam kehidupan.
Agama yang dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan nyata. Bukan agama yang mendorong pada Tindakan kekerasan, seperti kita lihat fenomenanya secara lokal maupun global pada tahun-tahun belakangan ini.
Kita juga sudah tahu, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan sudah masuk pada wilayah terdalam diri manusia. Bukan hanya perkara kasat mata yang bisa diukur dan diteliti saat ini.
Kebahagiaan yang memunyai dimensi dalam (psikologis, spiritual) pun bisa diukur dengan ilmu pengetahuan.
Dan fakta-fakta temuan ilmu pengetahuan tersebut ternyata mencengangkan: agama tak lagi dianggap penting oleh mayoritas penduduk yang negaranya dianggap paling bahagia.
Fakta-fakta mencengangkan inilah yang ditelaah dan dianalisis dengan tajam dan mendalam oleh Denny JA dalam bukunya yang sudah kita baca ini, Bergesernya Pemahaman Agama: Dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama.
Buku Denny ini terdiri dari empat bab dan secara umum memuat lima gagasan utama yang penting. Oleh karena sudah banyak disebut dalam artikel-artikel tanggapan dalam buku ini, saya akan melihat beberapa hal saja yang penting untuk kita lihat kembali, karena di sini menurut saya ada kontribusi penting Denny JA melalui buku ini pada pemikiran keagamaan.
-000-
Pertama, menurut Denny, pada Top 10 negara yang paling bahagia, paling bersih pemerintahannya, paling sejahtera, mayoritas penduduknya tak lagi menganggap agama penting dalam hidupnya.
Menurut Denny, ada tiga data riset dari lembaga kredibel yang selalu dirujuk untuk membuat kita semua belajar menjadi manusia yang lebih baik.
Yaitu, Riset tentang kebahagiaan manusia (World Happiness Index), Riset tentang kesejahteraan manusia (Human Development Index). Dan riset tentang persepsi korupsi (Corruption Perception Index).
Tiga riset ini kemudian dihubungkan Denny JA dengan riset mengenai seberapa pentingnya agama bagi masyarakat (The Importance of Religions, Based on Countries: World Gallup Poll).
Hasil saling-silang riset-riset ini akan memberi kesimpulan yang mengagetkan bagi sebagian orang. Menurut Denny, negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi (World Happines Index), yang negaranya paling bersih (Corruption Perception Index), yang kualitas pembangunan manusianya paling tinggi (Human Development Index), mayoritas warganya tidak menganggap agama itu penting bagi hidupnya.
Begitu pun sebaliknya: negara yang mayoritas warganya menganggap agama itu penting, tingkat kebahagiaan penduduknya, tingkat kebersihan pemerintahannya dari korupsi, dan kualitas pembangunan manusia di sana, hanya di papan tengah hingga di bawah rata-rata.
Ini temuan Denny, yang samar-samar pernah kita dengar, misalnya terkait dengan Islamicity Index, atau indeks keislamian bangsa-bangsa di dunia, yang bisa ditarik kesimpulan seperti yang dikatakan Denny dalam buku ini.
Tapi sekarang kesimpulan Islamicity Index itu menjadi lebih terang, setelah kita membaca buku Denny ini.
Seperti kita sudah baca, buku ini mengetengahkan data bahwa di era google, di era revolusi industri keempat, dimana banyak riset mendalam telah dikerjakan, banyak hal diukur dan dibuatkan index-nya. Banyak ranking dikontruksi.
Tingkat keberagamaan banyak negara bisa diukur melalui survei opini publik. Tingkat korupsi banyak negara juga bisa disusun berdasarkan judgement para ahli. Tingkat kebahagian warga negara juga bisa diindekskan. Tingkat kecerdasan individu, juga bisa diperingkat. Khusus soal dunia agama, ketika aneka indeks, measurement, dan peringkat itu diuji saling-silang, kitapun menurut Denny pun jadi terpana.
Kedua. Buku ini menunjukkan, bahwa arkeolog memberi fakta berbeda soal kisah para nabi yang sebenarnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian rupa, sehingga fakta sejarah peradaban manusia bisa diteliti dan dianalisis, bahkan sejarah yang ribuan tahun yang lalu.
Penelitian arkeologi dan antropologi sampai pada kesimpulan faktual bahwa beberapa hal yang tertulis dalam kitab suci agama-agama bukanlah fakta sejarah. Nabi Adam, Nabi Nuh, dan Nabi Musa bukanlah tokoh sejarah. Tak ada bukti arkeologis yang mendukung keberadaan mereka, dengan segala cerita sejarahnya.
Denny JA mengulas dalam buku ini, bahwa para sejarawan dan arkeolog melacak figur Nabi Musa dari dokumen di luar kitab suci. Diselidiki kisah nabi Musa pada sejarah Firaun yang memang ada. Dari aneka kisah kitab suci, Nabi Musa diduga hidup di era Firaun Ramses II, sekitar tahun 1303-1203 Sebelum Masehi. Ini era seribu tahun sebelum lahirnya Nabi Isa (Yesus). Atau sekitar 1800 tahun sebelum lahirnya Nabi Muhammad.
Menurut Denny, dokumen sejarah memang menemukan figur Ramses II. Namun tak ada sedikitpun catatan mengenai tokoh Nabi Musa. Agak mengherankan jika tokoh sebesar Nabi Musa, dan peristiwa sebesar eksodus yang begitu mengguncangkan, tak tercatat dalam dokumen sejarah di luar kitab suci.
Para arkeolog mencari kisah eksodus dengan menggali situs.
Eksodus penduduk Yahudi dari Mesir, yang dipimpin Nabi Musa menuju laut merah, dapat dilacak aneka rutenya. Itu perjalanan panjang dan menyertakan begitu banyak orang. Rute itu digali.
Namun tak ditemukan jejak bahwa rute itu pernah dilalui begitu banyak orang di tahun sebelum seribu Masehi. Tak ada bekas peninggalan, misalnya tempat makanan, tempat berteduh, atau benda lain.
Puluhan tahun arkeolog mencari. Puluhan riset sudah dilakukan. Begitu banyak penggalian sudah dibuat.
Para arkeolog berkesimpulan, Musa bukanlah figur sejarah. Ia hanya tokoh yang tercatat dalam kitab suci sebagai kisah untuk pengajaran moral saja.
Begitu pula kisah banjir besar Nabi Nuh. Aneka analisa ilmiah pun diberikan. Cukup mengagetkan tapi juga mencerahkan.
Menurut Denny, pertama, mustahil pernah terjadi banjir dunia yang bisa menenggelamkan semua, termasuk puncak Himalaya. Untuk bisa menenggelamkan bumi hingga puncak Himalaya ikut terendam, diperlukan jumlah air tiga kali lipat dari seluruh samudra yang ada.
Bahkan jika ditambah dengan potensi air yang didapatkan dari alam semesta, melalui hujan, jumlah air yang ada tetap tak cukup. Bagaimana bisa menenggelamkan Himalaya jika volume air di alam semesta tak cukup untuk itu?
Mustahil pula mengumpulkan hewan sepasang-sepasang yang ada di seluruh dunia. Saat itu, sekitar 5 ribu tahun lalu, ada 30 juta spesies yang hidup. Bagaimana pula bisa membuat 30 juta spesies itu datang satu persatu berkumpul di perahu.
Bahkan jika tersedia tenaga yang cukup untuk menangkap 30 juta spesies itu, dan mampu mengarahkan mereka ke satu titik, butuh waktu 30 tahun.
Singkat kata, menurut Denny, berdasarkan telaah ilmu pengetahuan, baik dari sisi banjir yang bisa menenggelamkan dunia, jumlah hewan yang ada, dan teknologi perkapalan, kisah nabi Nuh mustahil terjadi di alam nyata.
Fakta lain yang merupakan salah satu temuan riset Dan Gibson selama tiga puluhan tahun, misalnya. Temuan itu, ditambah bukti arkeologis dan dokumen sejarah lainnya, melahirkan sebuah hipotesis, bahkan klaim.
Bahwa awal kelahiran Islam itu bukan di Mekkah tapi di Petra. Seratus tahun pertama berdirinya Islam, masjid-masjid di Yordania, Irak, Yaman, Suriah, Mesir, hingga India, mempunyai arah kiblat yang sama.
Ketika mesjid itu dipetakan, ia mengarah ke satu kota. Dan kota itu ternyata bukan Mekkah, bukan Jerusalem. Kota itu adalah Petra di Yordania.
Kesimpulan Denny atas kisah-kisah dalam Kitab Suci ini diamini oleh pendekatan baru dalam melihat Kitab Suci yang disebut Kritik-Historis.
Pendekatan ini mengeritik anggapan awam, maupun banyak ahli sampai sekarang, bahwa kisah-kisah yang ada dalam Kitab Suci itu historis atau sungguh-sungguh ada dalam sejarah.
Para ahli Kitab Suci yang progresif sekarang ini banyak mengemukakan sebuah pernyataan, bahwa kisah-kisah dalam Kitab Suci sebenarnya bukan kisah sejarah, tapi moral. Ini berarti analisis Denny dalam buku ini sangat up-to-date.
Tapi apakah fakta-fakta seperti itu mengubah keyakinan pemeluk agama? Menurut Denny, tidak. Agama adalah soal keyakinan.
Agama-agama masih bertahan ribuan tahun hingga saat ini, dan dipeluk oleh miliaran manusia. Agama adalah “lompatan iman” (ingat pendapat filsuf Kierkegaard) yang menyeluruh.
Bagi penganut agama yang yakin, bahkan fakta sejarah yang salah tidaklah mengganggu. Umat kristen meyakini fakta Yesus (Nabi Isa) wafat disalib. Umat Islam meyakini Fakta Nabi Isa tak mati disalib.
Umat Kristen meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ishak. Umat Islam meyakini anak yang akan dikurbankan Nabi Ibrahim adalah Ismail.
Menurut Denny, ini dua fakta yang berbeda. Pasti salah satu fakta itu salah. Ternyata kesalahan fakta sejarah tetap bisa diyakini oleh lebih dari satu milyar manusia, dalam kurun waktu lebih dari seribu tahun.
Mengapa agama tetap diimani walaupun bertentangan dengan sains, ini pertanyaan penting yang melampaui tujuan buku ini.
Tapi buku ini telah menstimulasi pertanyaan tersebut, yang merupakan pertanyaan perenial. Dengan menyisakan pertanyaan abadi ini, Denny membawa kita pada solusi di bawah ini.
Ketiga, Denny menawarkan kearifan sebagai jalan untuk melihat keanekaragaman sebagai kekayaan kultural.
Pada tahun 2013, Pew Research Center mencatat betapa banyak sekali penganut agama lain, juga yang tak beragama, di Amerika Serikat tak hanya hadir. Mereka juga menjadi tuan rumah perayaan Natal.
Di samping dirayakan oleh umat kristiani, kini Natal juga dirayakan oleh 81 persen umat non-Kristen di Amerika Serikat. Hussein Allouch, tokoh Muslim di Denmark, juga mengundang para sahabat dari berbagai keyakinan datang ke rumahnya, merayakan Natal.
Tak ada kata saling mengkafirkan satu sama lain atau mendaku keyakinannya lebih suci dan benar di bandingkan keyakinan di luarnya.
Di Indonesia, Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2019 melahirkan rekomendasi yang menjadi pembicaraan luas. Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah menyatakan sebutan kafir tak tepat diberlakukan untuk warga non-Muslim hari-hari ini.
Said Aqil Siraj, Ketum PBNU, mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad di Mekkah, kata kafir itu digunakan untuk warga yang menyembah berhala, tidak memiliki Kitab Suci, dan tak punya agama yang benar.
Tapi ketika Nabi ke Madinah, tak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Padahal di sana ada tiga suku besar yang bukan umat Nabi Muhammad. Nabi menyebut mereka non-muslim, bukan kafir.
Bagi NU, kata kafir dihindari penggunaannya untuk masa kini karena konotasi buruk dan stigma yang akan dilekatkannya. Kata kafir itu mengandung kekerasan teologis.
Namun tentu saja tak ada maksud NU menghapus kata kafir itu dari Alquran. Menurut Denny, ini hanya penggantian istilah untuk praktik kenegaraan, di ruang publik.
Konsep kafir, infidel, kofer pun akibatnya semakin tak lagi bergaung. Konsep itu semakin tersingkir ke kalangan pemeluk agama garis keras saja.
Apalagi Gereja Katolik sangat maju dengan mengatakan: Bahkan ada keselamatan di luar gereja. Rekomendasi NU di tahun 2019 itu agar tak lagi menggunakan kata kafir untuk non-muslim menemukan momentumnya.
Menurut Denny, pihak Kristen maupun agama-agama lain, akan baik pula melakukan hal yang sama. Tak lagi menggunakan kata infidel untuk non-Kristen.
Tentu saja ini tak berarti menghilangkan kata kafir, infidel, atau kofer dari Kitab Suci. Itu mustahil. Namun penggantian istilah itu hanya untuk kepentingan bersama di ruang publik.
Kata warga negara non-Muslim, non-Kristen, non-Buddha, non-Hindu, dan lain-lain menjadi the otherness (yang lain) yang lebih netral.
Apa yang bisa dibaca dari data itu? Menurut Denny, agama rupanya tak lagi didekati dengan pendekatan benar atau salah. Tahap itu sudah mereka lampaui.
Mereka mendekati agama sebagai kekayaan budaya saja. Dan kekayaan budaya itu milik semua manusia. Ini solusi kearifan dari buku ini, yang saya kira sangat cocok dan memperkuat filsafat Pancasila kita di Indonesia terkait dengan hubungan antaragama.
Denny memberi sebuah kebaruan penafsiran dalam membaca Sila Pertama Pancasila, yang dulu Sukarno menyebutnya “Ketuhanan yang berkebudayaan”.
Keempat, Menurut Denny, perihal intisari agama. Menurutnya, di antara prinsip-prinsip yang menjadi intisari agama adalah The Golden Rule, yaitu prinsip kebajikan. Prinsip ini tertulis di semua Kitab Suci agama besar.
Bahkan prinsip kebajikan juga menjadi ajaran utama filsafat Stoa, yang sudah ada tiga ratus tahun sebelum kelahiran agama Kristen, dan 900 tahun sebelum kelahiran agama Islam.
Kebajikan adalah satu-satunya nilai yang berharga. Nilai lain hanya punya arti jika dilihat dari efeknya bagi kebajikan. Semua harta, kekuasaan, pengetahuan, tindakan menjadi berarti jika ia membawa kebajikan.
Jika membawa keburukan dan kejahatan, maka harta, kuasa dan pengetahuan malah menjadi berbahaya.
Kedua, menurut Denny adalah prinsip Power of Giving. Berikan apa yang Anda bisa untuk menolong orang lain, untuk menumbuhkan orang lain, untuk membahagiakan orang lain.
Lakukan prinsip ini terutama kepada mereka yang tak beruntung. Ini harta karun lain yang ada di semua agama besar. Dirimu hidup dari apa yang kau ambil. Tapi dirimu bahagia dari apa yang kau beri.
Derma atau pemberian tak selalu berarti materi. Tapi yang utama adalah dedikasi untuk ikut menumbuhkan orang lain. Prinsip ini juga ada di begitu banyak agama dan aliran spiritualitas.
Ketiga, menurut Denny adalah prinsip The Oneness. Prinsip segala hal itu satu.
Apakah kita meyakini Tuhan itu ada atau tidak, apakah Tuhan itu dalam bentuk personal God, impersonal God, para dewa, atau kita memahami dengan perspektif deisme, panteisme, agnostisisme.
Semua keyakinan itu tak bisa membantah bahwa ada sesuatu di luar kita Yang Maha Luas, dan Maha Misteri.
Terhadap yang Maha dan Misteri itu, menurut Denny kekaguman dan rasa religiositas lahir. Rasa itu bisa diekspresikan dengan 4.300 jenis ritual yang dibawa oleh 4.300 agama. Ataupun ia bisa pula dirasakan melalui kontemplasi yang hening.
Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan pun datang. Dengan aneka prosedur yang ketat, ilmu mengeksplorasi banyak hal. Termasuk yang dieksplorasi adalah hubungan tiga prinsip spiritualiatas di atas dengan kebahagiaan dan hidup bermakna.
Begitu banyak riset yang dilakukan. Menurut Denny berulang dan sah membuktikan betapa prinsip kebajikan itu membuat hidup manusia menjadi bahagia dan bermakna.
Menurut Denny, riset juga membuktikan, betapa power of giving, hidup yang bersedekah, berderma, membuat hidup lebih bahagia dan bermakna.
Riset juga membuktikan. Betapa rasa bersatu (the oneness) dengan lingkungan juga membuat hidup bahagia dan bermakna.
Betapa ritual agama, seperti ke gereja, ke mesjid, ke kuil, meditasi, kontemplasi, sejauh yang dibayangkan itu Yang Maha Kasih, Yang Maha Sayang, juga membuat hidup lebih bahagia dan bermakna.
Inilah tiga berlian biru yang ditemukan dalam samudra spiritualitas. Ribuan agama, aliran filsafat, sudah pula diriset oleh ilmu pengetahuan bertemu di tiga berlian biru itu. Denny menyebut tiga harta karun di samudra spritual itu sebagai “Spiritual Blue Diamonds”.
Demikianlah. Buku karya Denny JA ini, mengajarkan kepada kita bahwa agama tak perlu didekati sebagai doktrin benar dan salah. Tapi agama mesti dihidupi sebagai dokumen peradaban.
Mereka yang meyakini agamanya sebagai satu satunya kebenaran mutlak tetap hadir, keyakinan “hanya agama saya yang benar,” itu tetap tumbuh dan dihormati.
Tapi mereka yang tak lagi percaya pada agama itu, tetap bisa menikmati agama itu sebagai kekayaan kultral belaka. Sama seperti mereka menikmati kekayaan adat istiadat.
Inilah kearifan baru yang akan semakin banyak diyakini di era google. Mereka menurut Denny, memandang, menghormati dan menikmati agama sebagai kekayaan kultural milik belaka.
-000-
Akhirnya, saya ingin menyimpulkan sebagai epilog buku Denny yang sangat inspiratif ini, bahwa temuan Denny ini menurut saya adalah seperti sebuah revolusi Kopernikan dalam keberagamaan.
Pandangan yang seperti inilah yang akan menjadi realitas di masa depan yang tidak terlalu lama.
Tentang agama di ruang publik. Menurut Denny ada tiga alasan yang membuat negara modern perlu menetralkan ruang publik dari dominasi satu agama saja.
Alasan pertama: solusi jalan tengah. Penganut agama A tak ingin agama B, atau agama C, atau agama D, dan agama lainnya yang mendominasi ruang publik. Penganut agama B juga tak ingin agama A, agama C, agama D dan agama lainnya yang mendominasi.
Sementara kini ada 4300 agama. Di setiap agama besar juga ada aneka aliran yang berbeda pula. Di Kristen, ada Protestan, Katolik dan puluhan aliran lain. Di Islam, ada Sunni, Syiah, Ahmadiyah, dan lainnya.
Perbedaan aliran internal lain juga terjadi pada agama besar lain.
Ruang publik yang dinetralkan dari dominasi satu agama menjadi solusi jalan tengah. Jika tidak, akan terjadi pertarungan tiada henti, bahkan berdarah berebut menjadi agama penguasa tunggal ruang publik.
Alasan kedua, menurut Denny adalah alasan faktual. Pada Top 10 negara yang paling bahagia, paling bersih pemerintahannya, paling sejahtera, mayoritas penduduknya tak lagi menganggap agama penting dalam hidupnya.
Alasan ketiga, alasan esensial. Dunia agama adalah dunia kepercayaan. Kristen percaya Yesus (Nabi Isa) mati di salib. Islam percaya Nabi Isa tak mati disalib. Kepercayaan atas dua fakta yang bertolak belakang itu masing masing dihormati.
Tapi dalam ruang publik, public policy, roda ekonomi, roda politik, roda teknologi adalah dunia perdebatan. Menurut Denny, itu adalah ruang dimana kita bisa saling berbantah untuk mendapatkan solusi lebih baik untuk lebih banyak warga negara.
Itu ruang yang selalu berubah. Ruang perdebatan adalah ruang riset empirik. Ruang itu tak bisa disandarkan kepada kepercayaan belaka.
Justru ruang publik itu harus menghidupkan keraguan. Itu sebabnya semakin ruang publik dinetralkan dari dominasi satu agama, ia akan lebih mudah bahkan untuk membuat lebih banyak warga negara lebih bahagia.
Apakah ini berarti peran agama tak lagi penting di zaman modern? Jawabnya menurut Denny, tergantung bagaimana agama itu ditafsirkan.
Ia mengambil penjelasan dari Rumi yang sangat populer di dunia Barat. Rumi menafsirkan agama secara universal. Tafsirnya menyatukan manusia, bukan membelah. Tafsirnya mengajak pada kedalaman, mengontrol kebersihan perilaku dari dalam.
Tafsir agama jenis Jalaluddin Rumi ini tak hanya membawa kebahagiaan otentik bagi individu. Tapi tafsir ini juga fungsional bagi ruang publik di dunia modern, yang semakin netral dari dominasi satu agama.
Sangat menarik argumen-argumen Denny JA, soal agama dan ruang publik ini. Pandangannya ini membawa Denny JA sejalan dengan pandangan para filsuf dan pemikir kontemporer yang bicara agama di ruang publik, seperti Jurgen Habermas, Jose Casanova, Talal Asad, Charles Taylor, Tariq Ramadan, dan banyak lagi pemikir yang lain, termasuk Nurcholish Madjid di Indonesia.
Menurut saya Denny JA lebih canggih dari pikiran sekularisasi Nurcholish Madjid, karena argumen-argumennya dibangun dengan sandaran sains dan tren perkembangan zaman di era revolusi industry 4.0. Tidak lagi bersandar pada ide-ide teologis dan filosofis yang mendominasi pemikiran keagamaan di era 1970-an, era ketika Nurcholish Madjid menggemparkan pemikiran Islam di Indonesia.
Paham sekularisasi Denny JA dibangun dengan dasar riset dan ilmu pengetahuan modern yang sangat intensif, sekaligus ekstensif.
Saya merasa beruntung telah membaca buku ini, dan bersyukur dengan kehadiran buku ini terkait dengan pemikiran keagamaan yang saya geluti. Karena buku seperti jenis ini belum pernah ada selama ini di Indonesia.
Sungguh sangat menginspirasi membangun pemikiran keagamaan atas dasar penelitian dan temuan-temuan sains modern.
Dr. Budhy Munawar-Rachman, Dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara.
-000-
Buku Denny JA yang direview dapat dibaca, diunduh, dicetak dan disebar melalui link
Red.