Monday, June 16, 2025
HomeOpiniJacob Ereste : Penyesalan Tak Berujung di Usia Purna Tugas Yang Tak...
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Jacob Ereste : Penyesalan Tak Berujung di Usia Purna Tugas Yang Tak Selesai

Global Cyber News.Com|Keserakahan itu yang membuat orang mau mendapatkan kelebihan dari apa saja yang ingin dimiliki, meski sesuatu itu adalah milik orang lain.

Hasrat untuk memiliki lebih banyak — termasuk istri — pun wujud dari keserakahan yang semakin jauh dari keinginan bersyukur. Akibatnya memang tidak cuma mebuat kerumitan dalam upaya menata apa yang sudah dimiliki sebelumnya, terutana harta yang melimpah ruah. Karena kalau sudah melampaui batas kemampuan dan kemauan, limpahan apa saja bentuknya itu bisa menjadi penyebab celaka, bencana atau musibah yang tak terduga dan sulit untuk ditanggung agar tidak berlanjut menambah kesulitan dan kesusahan yang tak cuma menyakitkan, tapi juga bisa menyedihkan hingga penyesalan tanpa ujung.

Pengalaman seorang kawan yang nyaris purna tugas dalam pengabdiannya sebagai aparatur negara, jadi sirna akibat setitik noda penyimpangan karena tergiur ingin memiliki lebih banyak lagi dari harta bandanya yang telah dengan susah dipayah dikumpulkan sejak awal pengabdiannya dulu. Namun perilaku menyimpang itu telah menjadi bencana yang menjadi penyesalan sampai ke liang kubur. Dalam usianya kini yang patut menikmati masa pensiun dengan reputasi bagus tanpa cela, jadi punah. Hingga harga dirinya juga termasuk anak, istri bahkan cucunya, jadi tercela. Tidak mungkin dimaafkan, karena memang tidak bisa dilupakan.

Kini semua itu sirna, hanya lantaran setitik noda memercik dalam reputasi dan dedikasi dirinya yang telah sekian lama dipegang dengan teguh dan konsisten, namun tergelincir dalam sekejap. Sehingga hak untuk dikatakan telah purna tugas pun tak layak disandangnya. Meski masalah itu muncul saat menjelang masa pensiun digapainya.

Tapi karena setitik noda itu, kebanggaan yang sudah semestinya akan dia petik, seketika itu pun punah, lenyap tidak berbekas. Bahkan harta bandanya pun habis, seperti ikut tergerus bersana harga diri dan martabat yang menghabisi semangat dan gairah hidup dirinya hingga nyaris bunuh diri.

Sebab tidak cuma semua yang sudah dia miliki itu jadi punah, tetapi harga dirinya pun seperti mengup habis tak tersisa.

Sebagai anak asal desa, lelaki itu sempat menjadi kebanggan segenap warga sekitarnya. Karena memang satu diantara seribu anak dari desa itu yang meraih sukses tak alang kepalang sebagai pejabat tinggi yang cukup berpengaruh dan disegani banyak kawan maupun rival beratnya. Ibarat kariernya yang moncer itu, telah membuat banyak orang terkagum-kagum hingga tidak habis berpikir, bagaimana kecemerlangan karir serta jabatan yang bisa diraihnya seperti dengan sangat mudah dan mulus, seakan-akan hanya orang terpilih saja yang bisa meraih semua itu dengan mudah.

Namun setelah semua dapat dia raih dan nikmati, semua lenyap begitu saja, seperti tanpa bekas. Seperti dirinya sendiri tak lagi punya bayang- bayang yang jelas. Begitulah dia sendiri merasakannya sekarang. Dia terus menyesal terhadap apa yang dia lakukan hanya dalam sekejab itu. Hingga akhirnya ia merasa tidak lagi punya apa-apa, dan siapa-siapa. Sebab semua orang kini melihatnya menjadi sangat rendah. Rasa penyesalannyapun terus berlanjut, seperti tidak berujung, hanya karena rasa tamak yang tak terkendalikan.

Pada bulan suci Ramadhan ini baru paham dan menyadari bahwa puasa itu sangat penting, tidak hanya memberi pelajaran yang ilmiah saja soal hakekat lapar dan haus, tapi juga kesabaran serta cara berpikir yang jernih dengan mensucikan diri dari segala ragam macam kotoran. Baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. “Rupanya, nilai baik dan nilai buruk tergantung pada standar diri kita masing-masing, persis seperti menunaikan ibadhah puasa ini”, gumamnya lirih saat makan sahur.

Sejak itu ibadah puasa pada bulan Ramadhan mulai dia lakukan dengan nikmat dan hikmat. Tak makan dan tidak minum pada siang hari itu pun ternyata adalah therapi untuk kesembuhan berbagai penyakit yang mendekat pada semua orang lanjut usia. Kecuali itu, upaya melatih diri untuk sabar, tak tamak, mau berbagi dan ikut menghayati serta memahami rasa lapar itu yang acap dirasa serta mendera orang fakir dan orang muskin. Dan yang lebih penting tak lagi mau memakan atau mengambil hak untuk orang lain, seperti yang dilakukannya pada beberapa tahun silam, hingga menjadi sesal yang tak berujung sampai pada usia purna tugasnya yang tak juga selesai.

Jakarta, 13 April 2021

Red.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts