Global Cyber News.Com|Teman saya kemarin datang dari Teheran, ia menawarkan kerjasama mengembangkan pabrik Turbine yang rencananya akan dibangun di China. Hal menarik dari apa yang dikatakannya adalah
“Kini satu-satunya, hanya Jokowi yang pantas menjadi pemimpin umat Islam se-dunia.“
Saya terkejut mendengarnya. Mengapa dia sampai berkesimpulan demikian? Padahal Iran adalah negara yang punya banyak Mullah, dan tak henti ingin digaris depan memperjuangkan nilai-nilai islam, dalam berhadapan dengan pihak lain.
Menurutnya, itu adalah karena sikap tegas Jokowi terhadap beberapa konflik regional. Ketika Arab berseteru dengan Qatar, saya membayangkan Jokowi akan berada di belakang Arab. Tapi saya salah. Jokowi dengan tegas tidak mendukung siapapun. Justru ia minta agar masalah diselesaikan dalam koridor OKI.
Nampaknya Jokowi ingin mencari solusi atas masalah internal islam, sebagai sebuah keluarga yang tak perlu melibatkan orang luar dalam penyelesaian konflik itu. Kembali kepada keluarga. Islam punya OKI untuk duduk bersama secara ukhuwah dan berdamai demi mencari Ridho Allah.
Begitu pun dalam kasus Suriah, pemerintah Liga Arab dan Turki berkali-kali meminta agar Indonesia ikut larut dalam konflik menjatuhkan Bashar, tapi Jokowi tidak pernah mau terlibat. Jokowi tetap ingin agar masalah itu diselesaikan dalam koridor OKI, dan dia akan tampil sebagai penengah dengan segala resikonya.
Sementara sebagai presiden, Jokowi sangat patuh dengan UUD 45 yaitu Politik luar negeri Indonesia, yang Bebas Aktif. Kalau Jokowi tetap mendukung Bashar, karena memang Bashar adalah presiden yang terpilih lewat pemilu yang legitimate.
Jokowi tidak pernah takut dengan tekanan AS, China atau Rusia dalam konstelasi konflik di Timur Tengah, atau wilayah lain yang melibatkan Islam. Dia tidak terseret kemana-mana. Dia fokus agar penyelesaiannya secara ukhuwah Islamiah. Dan untuk itu dia tidak pernah kehilangan harapan, untuk terus memberikan inspirasi bagi pemimpin muslim di mana saja.
Puncaknya, ketika ada aksi 411 dan 212. Andaikan itu kejadian di Turki, atau di Arab, atau Mesir, mungkin sudah jadi lautan darah, dan akan terjadi penangkapan ribuan orang masuk penjara. Tapi dunia melihat lewat televisi, bagaimana hebat akhlak Islam itu terpancarkan ke dunia melalui dirinya. Seorang presiden yang dikawal 500.000 tentara dan 500.000 Polisi, tapi tak satupun peluru lepas dari bedil. Bahkan dengan rendah hati dia mendatangi massa Islam yang marah dan menghujatnya itu. Dia membalasnya dengan cinta.
“Bro, tidak ada pemimpin sehebat itu. Tanpa akhlak Islam yang mendidiknya, tak mungkin dia sehebat itu. Makanya, kehadiran Jokowi memaksa dunia harus bertafakur atas hidup ini. Sehebat apa sih pemimpin itu? Sehebat apa sih ulama itu? Kalau selalu jalan konflik yang jadi solusi menyelesaikan masalah, maka mereka belum menjalankan akhlak Islam. Justru mereka membuat syiar islam semakin meredup. Kehadiran Jokowi menyadarkan dunia, bahwa akhlak Islam seharusnya di garis depan dalam menciptakan perdamaian dunia, di atas banyaknya perbedaan. Seperti pidato Obama baru baru ini: Islam itu rahmat bagi semua,“ Katanya.
Saya tersenyum. Saya hanya bisa berdoa semoga rakyat Indonesia menyadari ini, bahwa kehadiran Jokowi adalah rahmat Tuhan yang harus disyukuri, agar kita tidak kufur nikmat, jangan lagi anggap Jokowi sebagai anti Islam. Jokowi bukan Raja Salman yang menangkapi ulama aliran keras. Bukan Erdogan yang menangkapi ribuan demonstran dan menjadikan ulama terpidana karena terlibat kudeta. Bukan. Jokowi Adalah Kita.
Sebagai catatan, Jokowi sudah berkali-kali masuk sebagai pemimpin Islam berpengaruh di dunia. Terakhir pada Oktober tahun 2018 lalu. Jokowi bertengger di posisi 16 versi buku The Muslim 500, yang dikompilasikan oleh Pusat Pembelajaran Strategis Kerajaan Islam di Amman, Yordania. Sedangkan laporannya dikeluarkan secara tahunan dengan kerja sama dari Pusat Pangeran Al-Waleed Bin Talal untuk Pemahaman Muslim-Kristen di Universitas Georgetown di Amerika Serikat.
Jokowi bersanding dengan sejumlah nama-nama termasyhur seperti Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan; Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al Saud; Presiden Singapura, Halimah Yacob; Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, dan remaja Palestina yang pernah ditangkap tentara Israel, Ahed Tamimi. (Penulis, Erizeli Jely Bandaro.)
Red.