Oleh: Dr. Tatang Abdulah
Global Cyber News.Com|Akankah dunia dalam waktu yang sangat lama memiliki dua versi Hak Asasi Manusia? Pelanggaran Hak Asasi Manusia menurut kriteria versi pertama justru dibela, dibenarkan, dibolehkan oleh versi kedua?
Pertanyaan ini wajar datang setelah menyalami Deklarasi Hak Asasi Manusia Dunia Muslim di Kairo, 1990.
Sebanyak 45 negara yang mayoritas populasinya Muslim, di tahun 1990, bersidang. Keputusan penting dilahirkan dalam pertemuan itu.
Mereka membuat deklarasi hak asasi manusia yang berbeda, yang dianggap sebagai versi dunia muslim. Dalam Deklarasi Kairo itu, mereka menerima hanya prinsip Hak Asasi Manusia Universal versi PBB, sejauh tak menentang hukum Islam.
Menurut 45 Negara ini, prinsip dalam kitab suci posisinya lebih tinggi dibandingkan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.
Keputusan Kairo segera mengundang kritik keras. Keputusan ini dianggap pembenaran kultural bagi pelanggaran hak asasi manusia di kawasan Muslim.
Bagi Hak Asasi Manusia versi PBB, setiap warga negara berhak untuk berpindah agama bahkan tak beragama sekalipun. Warga negara juga berhak menikah dengan mereka yang berbeda agama.
Juga dalam Hak Asasi Manusia versi PBB, warga negara berhak memilih tafsir agamanya sendiri. Kaum LGBT juga dilindungi. Persamaan hak tak hanya diberikan kepada wanita tapi juga kepada penganut LGBT.
Justru isu besar di atas yang ditentang dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia versi Kairo. Isu pindah agama, menikah dengan yang berbeda agama, hingga penganut LGBT itu melanggar hukum shariah, hukum agama Islam.
Di titik ini, kehadiran Denny JA menjadi penting. Sekurang-kurangnya, ada tiga hal yang membuatnya penting.
Pertama, Denny JA adalah intelektual publik yang memiliki pengaruh di negara Muslim terbesar: Indonesia. Ia seorang aktivis dan penganjur Hak Asasi Manusia Universal versi PBB. Ia bahkan mendirikan Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi, yang Ia biayai sendiri.
Cukup sering dan vokal Ia menyuarakan perlindungan dan hak warga negara untuk memilih gaya hidupnya sendiri. Ia membela hak kaum Ahmadiyah, Shiah dan minoritas lain. Ia membela hak warga menikah dengan kekasih hatinya walau berbeda agama.
Denny JA juga penganjur spiritualitas yang membebaskan individu memilih kedalaman dan jalan spiritualitas sendiri. Ia pun melindungi hak kaum LGBT.
Kedua, Denny JA banyak mengungkapkan suara hak asasi manusia universal itu lewat sastra. Dalam berbagai karya sastranya, Ia mengangkat Isu LGBT (Cinta Terlarang Batman dan Robin, Menunggu Sodom dan Gomorah di Amsterdam, Ustad yang Gay).
Ia juga mengangkat dalam karya sastra hak beragama kaum minoritas, seperti Ahmadiyah (Romi dan Yuli dari Cikeusik), pernikahan beda agama (Bunga Kering Perpisahan).
Denny JA juga mengangkat hak warga negara untuk beropisisi dengan penguasa. Ia mengeritik keras penghilangan secara paksa aktivis demokrasi di Indonesia di tahun 1998 (Kutunggu di Setiap Kamisan).
Atas Nama Cinta (2012), Roti untuk Hati (2014), dan Kutunggu di Setiap Kamisan (2018), yang merupakan tiga buku sastra utama Denny JA—dia menulis lebih dari dua puluh buku sastra—banyak berkisah soal Hak Asasi Manusia itu.
Ketiga, dan ini sangat menarik, Denny JA bukan sekadar menyampaikan suara hak asasi manusia dalam sastra, melainkan Ia menyampaikannya dalam genre sastra baru yang Ia “ciptakan” sendiri: Puisi Esai.
Puisi Esai adalah puisi yang panjang dan berbabak, bentuk dan isinya mengingatkan kita pada epos klasik tapi menjadi baru akibat penggabungan syair, wiracita, dan makalah ilmiah.
Dalam puisi esai itu banyak tercantum catatan kaki baik berupa hasil riset, berbagai berita/informasi dari media massa, maupun kajian pustaka.
Denny JA tidak menempatkan catatan kaki hanya sebagai pendukung teks puisi. Ia menjadikan catatan kaki itu sama penting dengan puisi di atasnya.
Menurut Denny JA, justru catatan kaki itulah Ibu kandung sumber cerita dalam puisi.
Ini yang membuat Denny JA unik. Ia menyuarakan dengan lantang isu hak asasi manusia universal sebagai protes atas masyarakatnya dan itu semua ia sampaikan melalui genre puisi esai yang Ia ciptakan sendiri.
Atas inovasinya dalam dunia puisi, di tahun 2021 ini Denny JA menerima penghargaan sastra tingkat ASEAN dari Malaysia. Pemberi penghargaan adalah Badan Bahasa dan Sastra Sabah. Denny JA mendapatkan penghargaan utama: Sastra Kemanusiaan dan Diplomasi ASEAN.
Fenomena Denny JA cukup mewarnai dunia sastra Indonesia sepuluh tahun terakhir. Kini puisi esai juga meluas ke beberapa penyair Asia Tenggara.
Ini pula yang menyebabkan Jurnal Kritik menurunkan tema khusus seputar Denny JA dan puisi esai. Sengaja edisi ini dibuat dalam bahasa Inggris untuk bisa pula dinikmati pembaca manca negara.
-000-
Perubahan besar terjadi dalam politik Indonesia pada tahun 1998. Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya berakhir ketika krisis ekonomi melanda Indonesia dan mahasiswa berdemonstrasi di mana-mana.
Jatuhnya era Orde Baru disusul kemudian bergulirnya era reformasi di Indonesia mengubah banyak hal di Indonesia: kebebasan bersuara, pembatasan periode kepresidenan, dan tak lama kemudian pemilihan presiden (juga gubernur dan bupati/wali kota) secara langsung.
Dalam urusan pemilihan presiden secara langsung ini, Denny JA bisa dikatakan sebagai perintis survei opini publik dan pengemasan komunikasi politik. LSI yang didirikannya menjadi konsultan pertama dan bahkan lembaga survei terkuat di Indonesia sampai sekarang ini.
Empat presiden terpilih berkat tangan dinginnya. Inilah awal Indonesia mengenal seorang aktivis dan intelektual publik berubah menjadi seorang enterpreneur dengan menjadikan ilmu dan kepakarannya di bidang survei publik dan komunikasi politik sebagai lahan bisnis.
Kesuksesannya tersebut membuat segera bertumbuhan banyak lembaga survei di Indonesia.
Namun, reformasi dengan demokratisasi dan keterbukaannya tidak berjalan sebagaimana yang dibayangkan dan diharapkan banyak orang.
Bersama dengan demokrasi dan keterbukaan serta kebebasan bersuara, ternyata tidak butuh waktu lama berbagai suara-suara radikal, intoleran dan bahkan anti demokrasi dengan keras bergaung di Indonesia menggunakan wahana demokrasi.
Politik identitas yang selama ini tiarap selama rezim otoriter Orde Baru, mulai bangkit dan menyusup ke mana-mana. Bahkan, pada saat reformasi itu sendiri sejumlah tindakan intoleransi—sebagian menjadi rasisme—meledak di Indonesia.
Bermunculan pula berbagai kelompok kepentingan yang tidak hanya bermain dalam ranah politik akan tetapi mengarah kepada isu-isu etnik, agama, ras, dan antargolongan yang berujung pada konflik dan kekerasan.
Situasi ini kiranya membuat gelisah Denny JA. Padahal ia boleh dibilang mendapat keuntungan finansial dari reformasi, demokrasi, dan keterbukaan politik dengan pemilihan langsungnya.
Namun, berbeda dengan berbagai lembaga survei tumbuh di mana-mana dan sebagian mencoba meraih sukses sebagaimana diraih Denny JA, Denny JA sendiri justru dicemaskan oleh ekses-ekses dari keterbukaan dan demokrasi itu.
Ia mulai menginisiasi gerakan Indonesia Anti Diskriminasi. Jelas pilihan pada gerakan Indonesia tanpa Diskriminasi adalah pilihan Denny JA sebagai seorang mantan aktivis.
Tetap saja, kegelisahannya sebagai seorang intelektual publik tidak terpuaskan dengan gerakan itu semata. Ia telah menulis sejumlah esai, makalah, hasil penelitian yang terbit di media massa maupun terbit sebagai buku.
Namun, semua itu tidak membuatnya puas. Ia merasa perlawanan atas maraknya wacana intoleransi dan berbagai tindakan diskriminatif membutuhkan bentuk tulisan yang baru.
Sebuah tulisan yang bukan hanya menyajikan fakta-fakta keras tetapi juga mampu menggugah emosi pembacanya. Sebuah tulisan bisa dibaca dan difahami dengan mudah oleh sebanyak-banyaknya pembaca dari berbagai kalangan yang berbeda namun tidak kehilangan estetika.
Tulisan yang menyentuh hati pembaca dan membuai emosi mereka namun sekaligus menghantamnya dengan fakta-fakta.
Lahirlah dari kegelisahannya apa yang dia sebut sebagai Puisi Esai. Sebuah bentuk tulisan sastra/fiksi yang dipersenjatai dengan catatan kaki berupa fakta.
Percobaannya di bidang sastra yang diberi nama Puisi Esai itupun terbit dengan judul Atas Nama Cinta, berisi lima buah puisi esai panjang, yakni: “Sapu Tangan Fang Yin”, “Romi dan Yuli dari Cikeusik”, “Minah Tetap Dipancung “, “Cinta Terlarang Batman dan Robin”, dan “Bunga Kering Perpisahan”.
Kelima puisi esai panjang itu mengangkat korban-korban diskriminasi baik diskriminasi ras, suku, kelas sosial, agama, maupun gender.
Dalam “Sapu Tangan Fang Yin”, Denny JA berkisah tentang Fang Yin, seorang perempuan Tionghoa menjadi korban keganasan sekelompok orang yang membajak “kaum reformis” dalam kerusuhan Mei 1998.
Krisis moneter telah memicu aksi menumbangkan rezim orde baru, dan Soeharto sebagai pimpinan negara dipaksa mundur dari kursi kepresidenan. Aksi itu menjadi gerakan yang brutal, anarkis, dan diskriminatif.
Terjadi penjarahan dan pembakaran terhadap toko-toko milik Tionghoa, bahkan juga pemerkosaan. Fang Yin merupakan korban pemerkosaan pada Peristiwa Mei 1998 tersebut.
Puisi esai panjang ini mengangkat trauma yang dialami Fang Yin dengan sangat menyentuh.
“Romi dan Yuli dari Cikeusik” mengangkat kisah asmara pasangan cinta Romi seorang pemuda Ahmadiyah dengan Yuli, putri seorang pemuka agama anti Ahmadiyah.
Pasangan cinta itu diperhadapkan dengan persekusi yang dialami warga Ahmadiyah di Cikeusik. Romi yang dilahirkan pada lingkungan Ahmadiyah pada dasarnya bukanlah seorang fanatik Ahmadiyah.
Demikian pula dengan Yuli. Namun, Yuli terlahir di lingkungan Islam garis keras dan ayahnya seorang anti Ahmadiyah yang vokal. Maka hubungan asmara ini menjadi sesuatu yang tragik.
“Minah Tetap Dipancung”, berkisah tentang rakyat miskin Indonesia yang terpaksa harus bekerja di Saudi Arabia untuk dapat bertahan hidup dan membiayai keluarganya.
Namun, di Saudi Arabia, Minah yang berkerja sebagai pembantu rumah tangga terancam hukuman gantung karena ia telah membunuh majikannya yang telah memperkosanya berulang kali. Negara tidak berbuat apa-apa untuk membelanya, dan Minah tetap digantung jauh dari tanah airnya.
“Cinta Terlarang Batman dan Robin” berkisah tentang kisah cinta Amir dan Bambang, pasangan gay yang justru ada dalam lingkungan pesantren. Di Indonesia kasus LGBT belum terbuka, artinya secara hukum maupun perundang-undangan belumlah diatur.
Akan tetapi hak-hak mereka untuk mengekspresikan segala bentuk orientasi seksualnya, diizinkan bahkan untuk kasus khusus sampai merubah gender melalui operasi ganti kelamin.
Hal lain yang juga menjadi menarik adalah dua watak yang berbeda antara Amir dan Bambang. Dua watak yang masing-masing “merepresentasikan” kebiasaan tertutup Amir yang berbasis budaya Timur dan kebiasaan terbuka Bambang yang berorientasi budaya Barat.
Sementara puisi esai terakhir dalam buku ini adalah “Bunga Kering Perpisahan” yang berkisah tentang pasangan cinta berbeda agama. Pernikahan beda agama antara Dewi yang Muslim dengan Albert yang Kristen tidak mendapat izin dari orang tua sang perempuan. Ia dipaksa menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya hanya karena ia sesama Muslim.
Kehidupan berumahtangganya dengan Joko berjalan seperti bunga tanda cinta pemberian Albert: mengering dan merana.
Inilah tema-tema yang diangkat dalam karyanya Atas Nama Cinta dalam bentuk lima buah puisi esai. Buku itu terbit dengan ulasan tiga tokoh terkemuka: Penyair Sapardi Djoko Damono, penyair Sutardi Calzoum Bachri, dan sosiolog serta intelektual terkemuka Ignas Kleden.
Ketiga tulisan mereka dihadirkan dalam Jurnal Kritik edisi khusus berbahasa Inggris ini, agar kita beroleh gambaran penerimaan awal atas puisi esai Denny JA.
Ketiga sosok ini bukanlah nama sembarangan dalam dunia sastra dan intelektual Indonesia. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa penerimaan atas bentuk puisi esai yang digagas Denny JA cukup meyakinkan.
Memang tak lama kemudian setelah buku itu terbit dan gerakan puisi esai dicanangkan, muncul pro dan kontra di mana-mana, khususnya dari kalangan sastrawan muda.
Tulisan-tulisan berikuthya adalah reaksi susulan atas bentuk puisi esai yang dipelopori Denny JA.
Di antaranya adalah tulisan penyair Jamal D. Rahman, penyair Leon Agusta, dan novelis Ashadi Siregar.
Dalam Jurnal Kritik edisi khusus ini, dimuat pula tulisan Agus R. Sarjono berisi penjelasan tentang karangan sastra, karangan ilmiah, dan karangan esai sebagai pijakan awal pemahaman atas puisi esai sebagai gerakan di Jurnal Sajak edisi 3.
Puisi esai kemudian berkembang menjadi kontroversi besar di Indonesia, namun kontroversi itu tidak sanggup menghalangi puisi esai untuk berkembang ke manca negara.
Tulisan Datuk Jasni dari Malaysia dan Phaosan dari Thailand merupakan contoh dari bagaimana puisi esai merambah ke Asia Tenggara yang berbahasa Melayu.
Dari buku puisi esainya yang pertama itu dapat dilihat apa yang menjadi concern utama Denny JA. Bentuk literer baru–yakni puisi esai—yang ditemukannya adalah sampingan, semacam by product, sementara concern utamanya adalah mewacanakan gerakan anti diskriminasi serta menanamkan ke jantung emosi pembaca akan bahaya rasisme, stigmatisasi, intoleransi, dan radikalisme dalam pemahaman agama.
Belakangan, Denny JA lebih memfokuskan diri pada isu-isu agama, khususnya Islam, menyusul berkembang lumayan cepatnya wacana radikalisme agama dan kekerasan tafsir agama di berbagai komunitas, khususnya kampus, di Indonesia.
Terlihat dalam karya-karya berikutnya Denny JA ingin melawan radikalisme agama dan mewacanakan demokrasi, inklusivitas, dan toleransi di kalangan Islam Indonesia.
Islam adalah agama yang dianut mayoritas orang Indonesia dan dengan demikian, umat Islam Islam Indonesia adalah umat Islam terbesar di dunia mengalahkan sejumlah negara Arab digabung menjadi satu.
Dilihat dari segi sejarahnya, umat Islam Indonesia adalah umat Islam paling terbuka, rileks, dan demokratis. Ini dapat dilihat pada performa Ormas Islam besar seperti NU, juga Muhamadiyah.
Namun, selepas reformasi bermunculan faham dan kelompok-kelompok yang eksklusif dan bahkan radikal.
Meskipun jumlahnya sedikit, namun mereka aktif di media sosial dan dengan demikian pewacanaan Islam yang cenderung radikal ini berkembang sangat pesat.
Fenomena ini membuat cemas Ormas-ormas Islam besar. Pesatnya pewacanaan Islam radikal di antaranya terlihat pada makin populernya wacana negara syariah untuk menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Fenomena ini sampai membuat Denny JA membuat tulisan pancingan berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?”. Tulisan itu direspon berbagai pakar, akademisi, dan intelektual Islam.
Pergulatan Denny JA untuk melawan radikalisme Islam makin mendominasi puisi karya-karyanya yang terbit belakangan seperti Roti untuk Hati (2016) dan Jiwa yang Berdzikir (2018).
Dalam Roti untuk Hati, misalnya, Denny JA bergulat dengan isu agama dan sengketa-sengketa yang lahir dari keberbagaian tafsir atasnya. Di tulis dalam semangat seorang pluralis, Roti untuk Hati mencoba menggambarkan bagaimana nonsense-nya sengketa tafsir itu, apalagi ketika agama dan tafsir atasnya digunakan sebagai alat politik, sitgmatisasi kelompok lain, apalagi persekusi.
Sementara karyanya yang keempat adalah kumpulan puisi esai Jiwa yang Berdzikir (2018). Puisi esai yang ia tulis setiap sahur sepanjang Ramadhan ini memperhadapkan agama dengan berbagai fenomena sosial politik ekonomi baik yang terjadi di Indonesia maupun di mancanegara.
Dengan renungan-renungannya dalam puisi esai di buku ini, Denny JA kelihatan berusaha keras untuk mengajak umat beragama—khususnya Islam—untuk memperluas rambahan pengalamannya agar tidak terjebak dalam kesempitan dan radikalisme agama.
Menjadi jelas di sini, bahwa karya-karya Denny JA belakangan ini lebih banyak berurusan dan mengangkat tema-tema keagamaan, khususnya Islam.
Sebagai seorang Muslin dari sebuah negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, Denny JA nampaknya menyadari bahwa Islam di Indonesia akan memainkan peranan penting dalam konstelasi dunia Islam di dunia.
Jika Islam Indonesia gagal menjadi Islam yang terbuka pada berbagai kemajuan sains, demokratis, dan toleran, maka Islam di dunia akan menjadi Islam yang radikal akibat tafsir keagamaan yang sempit dan tertutup oleh sejumlah kelompok yang diwacanakan secara masif dan intoleran ke seluruh dunia.
Ia mencoba menyuarakan Islam yang demokratis, terbuka, dan toleran, karena hanya dengan itulah Islam Indonesia dapat menjadi imbangan wacana Islam dunia dan bukan menjadi satelit berbagai wacana dan pemikiran Islam radikal yang makin menyebar di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Berbagai tulisan dalam Jurnal Kritik edisi khusus berbahasa Inggris ini tidak kelewat mengangkat karya-karya puisi esai Denny JA yang kemudian, melainkan lebih mengacu pada karyanya yang pertama, yakni Atas Nama Cinta serta fenomena puisi esai yang dia proklamasikan sebagai bentuk puisi baru.
Dengan bentuk puisi barunya ini, Denny JA seperti ingin menjawab—bisa juga dianggap melengkapi—statemen Chairil Anwar, penyair modernis terkemuka Indonesia, yang berbunyi: “Yang bukan penyair tidak ambil bagian.”
Puisi esai, berbeda dengan statemen Chairil, justru dimunculkan dengan statemen; “Yang bukan penyair boleh ambil bagian”.
Bagaimanapun, luka eksistensial seorang penyair adalah luka eksistensial pribadi, yang bukan penyair tidak ambil bagian. Namun, luka sosial bukanlah kesakitan orang perorang. Dalam menghadapi dan mengurus luka sosial, setiap orang sebaiknya ambil bagian.
Puisi esai Denny JA, baik Atas Nama Cinta yang pertama terbit , maupun buku terbarunya Jiwa yang Berdzikir serta puisi esai-puisi esai yang dia tulis belakangan dan belum diterbitkan sebagai buku, semuanya berurusan dengan luka sosial masyarakat, bukan luka eksistensial orang-perorang.
Fokus pada buku puisi pertama dan fenomena puisi esai memang disengaja, karena tak lama setelah dilahirkan, Puisi esai memancing banyak pro dan kontra.
Kontroversi puisi esai yang disusul dengan kontroversi terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia paling Berpengaruh, termasuk kontroversi paling lama dalam sejarah pro dan kontra di Indonesia.
Nyaris dua tahun penuh kontroversi ini meramaikan dan bahkan membisingkan perbincangan sastra baik di media massa maupun terutama di media sosial.
Meskipun banyak tulisan dalam Jurnal Kritik Edisi Khusus berbahasa Inggris ini menyoroti fenomena puisi esai dan buku puisi esai Denny JA Atas Nama Cinta yang merupakan buku puisi esai pertama, namun sekali lagi menjadi jelas dalam berbagai tulisan tersebut bahwa yang menjadi concern utama Denny JA adalah tema demokratisasi dan keterbukaan berwacana.
Denny JA percaya bahwa tak ada tafsir tunggal tentang segala sesuatu. Tak ada yang mutlak dalam hubungan antar manusia dan dalam kebudayaan manusia.
Ketika isu-isu rasisme makin dikalahkan oleh isu-isu radikalisme agama—apalagi jika mengarah pada terorisme—ke sana pulalah Denny JA mengarahkan penanya, tidak lain tidak bukan untuk berkonfrontasi dengan ekslusivitas tafsir agama menuju inklusivitas.
Untuk itu, Denny JA tidak segan-segan mengambil contoh dari berbagai fenomena di mancanegara sebagaimana dia tunjukan dalam Buku puisi esainya Jiwa yang Berdzikir.
Di sana, Dharta, sang tokoh utama berhadapan dengan berbagai fenomena mulai dari sengketa politik dan agama di Indonesia hingga fenomena Nelson Mandela, Bunda Theresa, dan tragik suku Aborigin di Australia.
Dengan melebarkan dunia pengembaraan Dharta, Denny JA seperti ingin mengajak pembacanya untuk melihat betapa luasnya dunia dan betapa beragamnya kemungkinan kemanusiaan sehingga segala bentuk tafsir sempit akan selalu membahayakan bukan hanya bagi pemeluk tafsir sempit itu tapi juga bagi manusia lain di sekitarnya, bahkan bagi masyarakat umumnya.
Upaya perluasan itu belakangan dilakukan Denny JA bukan hanya lewat puisi esai melainkan juga lewat tayangan-tayangan pendek di youtube dalam bentuk Kuliah tujuh menit 30 Para Sufi + Kutipan Para Filsuf.
Dalam tayangan pendek berdurasi 7 menit itu, Denny JA setiap episodenya menyajikan salah satu tokoh besar sufi, filsuf, atau pemikir Islam klasik mulai dari Rabiah Al Adawiyah, Jalaluddin Rumi, Hafixz, Ibn Khaldun, Ibn Sina, Al Ghazali, hingga yang mutakhir yakni Nawal El Saadawi.
Hampir semua kutipan yang dipilihnya menunjukkan bahwa keterbukaan, luasnya ilmu pengetahuan, dan kecintaan pada kemanusiaan merupakan wisdom utama semua tokoh ulama dan pemikir Islam besar.
Dengan 30 tayangannya, Denny JA seperti ingin menunjukan bahwa khasanah dan tradisi Islam jauh lebih kaya, demokratis, jauh lebih bijak dan manusiawi dibanding khasanah kerdil yang dikembangkan kaum radikal.
Membaca karya-karya Denny JA di tengah isu radikalisme Islam yang berkembang di dunia membuat kita memiliki harapan atas umat Islam Indonesia sebagai umat Islam terbesar di dunia, karena kita mendengar suara lain dari tangannya.
Suara Islam yang esensial sebagaimana dicontohkan para ulama dan filsuf Islam klasik, yakni Islam yang toleran, demokratis, plural, dan menghargai akal pikiran.
Red.