Thursday, June 19, 2025
HomeOpiniBERAPA TUHAN YANG KALIAN PUNYA?
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

BERAPA TUHAN YANG KALIAN PUNYA?

  • 80 Tahun Sutardji Calzoum Bachri, Puisi Pintar dan Lukisan Pablo Picasso.

Global Cyber News.Com| Denny JA

𝘉𝘦𝘳𝘢𝘱𝘢 𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢?
𝘉𝘦𝘳𝘪 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘢𝘵𝘶, 𝘴𝘦𝘬𝘦𝘥𝘢𝘳 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘢𝘴 𝘬𝘶𝘤𝘪𝘯𝘨𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪

Itulah cuplikan puisi Sutardji Calzoum Bachri. Puisi berjudul Kucing yang ia tulis di tahun 1973, 48 tahun yang lalu.

𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘬𝘢,
𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘈𝘮𝘢𝘻𝘰𝘯,
𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘙𝘪𝘢𝘶,
𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘥𝘪 𝘬𝘰𝘵𝘢-𝘬𝘰𝘵𝘢,
𝘚𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘵𝘢𝘩𝘶 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘦𝘯𝘢
𝘓𝘶𝘮𝘢𝘺𝘢𝘯,
𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘣𝘢𝘨𝘪
𝘚𝘦𝘬𝘦𝘳𝘢𝘵 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘬𝘢𝘶,
𝘚𝘦𝘬𝘦𝘳𝘢𝘵 untuk aku.

Bagaimana kita memahami ekspresi tak biasa dari Sutardji ini? Kita menangkap ada kedalaman dalam menghayati Tuhan. Kita menangkap ada jiwa yang lapar mencari Tuhan. Namun ini diekspresikan dalam ungkapan yang sungguh berbeda.

Menghormati Sutardji yang tahun ini berusia 80 tahun, komunitas puisi esai ASEAN mendiskusikan karyanya. Jamal D Rahman sebagai pembicara utama.

-000-

Tahun 2012, sembilan tahun lalu, Sutardji berkunjung ke kantor saya. Itu era ketika saya segera menerbitkan buku puisi esai saya yang pertama: Atas Nama Cinta.

Sutardji bercerita soal Ia menyimpan puisi barunya di handphone. Namun karena handphonenya bermasalah, puisi barunya pun menguap.

Saya bertanya, “Mengapa tak menuliskan ulang puisi itu? Kan Pak Sutardji masih bisa mengingatnya?” Singkat saja Ia menjawab: “momennya sudah berbeda.”

Saya mengundang Sutardji datang berkunjung. Akan saya serahkan naskah buku puisi esai. Ini bukan saja buku puisi saya yang pertama. Ini juga buku puisi esai pertama di dunia sastra.

Lima kisah diskriminasi yang memang terjadi di Indonesia saya fiksikan. Diskriminasi agama, ras, gender, hingga orientasi seksual.

Saya ekspresikan kisah itu dalam puisi yang sangat panjang, berbabak-babak. Tak lupa ada catatan kaki yang merujuk pada peristiwa.

Misalnya dalam puisi “Saputangan Fang Yin.” Saya menggambarkan huru hara tahun 1998. Ia menjadi amuk massa.

Warga Tionghoa diburu. Toko mereka dibakar. Rumah mereka dijarah. Bahkan ada yang mengalami kekerasan seksual.

Memfiksikan kisah itu dalam puisi esai, catatan kaki soal amum massa atas kaum Tionghoa dalam sejarah Indonesia, sangatlah panjang. Bahkan catatan kaki itu harus dipecah- pecah ke dalam beberapa halaman.

Sutardji saya undang untuk memberi kata pengantar buku puisi esai itu. Di samping Sutardji, ikut pula memberi kata pengatar Sapardi Djoko Damono dan Ignes Kleden.

Saat itu, baik saya ataupun Sutardji, tak menduga jika buku puisi pertama saya ini akan memulai gerakan jenis puisi yang berbeda.

Sembilan tahun setelah kunjungan Sutardji itu, puisi esai sudah ditulis oleh lebih dari 200 penyair karir ataupun penulis biasa. Ia sudah dituliskan dalam lebih 200 buku. Ia sudah merambah ke Asia Tenggara.

Di tahun 2020, bahkan puisi esai resmi masuk dalam kamus bahasa Indonesia KBBI. Puisi esai diartikan di kamus sebagai “Ragam sastra berisi pesan sosial dan moral melalui kata sederhana dengan pola berbait-bait, berupa fakta, fiksi dan catatan kaki.”

Sutardji meminta waktu mempelajarinya dulu. Setelah itu, Ia akan kabarkan. Mungkin Ia bisa atau tak bisa memberikan kata pengantar itu.

Tak lama kemudian, Sutardji mengirimkan kata pengantarnya, dengan judul: “Satu Tulisan Pendek Atas Lima Puisi Panjang.”

Sutardji menyebut puisi esai sebagai puisi pintar. Saya cuplik sebagian pengantarnya itu:

“Bagi saya, puisi esai adalah puisi pintar. Yang dengan berbagai data, fakta, argumentasi, bisa memberikan kepintaran bagi pembacanya untuk memahami dan menghayati persoalan- personal yang terkait dengan masalah atau konflik sosial.”

“Kalau ada puisi pintar tentu ada puisi bodoh. Puisi bodoh adalah puisi yang meng-elaborate ekspresi primitif bahkan animalistik untuk mendapat sisi manusia yang bebas intens. Bila puisi pintar dengan “seribu data” memberikan pemahaman tentang kasus-kasus konflik sosial, puisi bodoh dengan ekspresi “kebi­natangan-jalang”nya ingin mengajak pembaca hidup sepadat seribu tahun.”

“Bagi saya, baik puisi pintar maupun puisi bodoh adalah berkah yang bisa memberikan kecerdasan kreatif dalam dedikasinya pada khazanah perpuisian Indonesia.”

-000-

Fatin Hamama mengusulkan agar Sutardji menjadi topik diskusi komunitas puisi esai ASEAN berikutnya. Datuk Jasni Matlani, selaku Presiden Komunitas Puisi Esai ASEAN menyetujui. Dihidangkanlah webinar itu, di bulan September 2021.

Saya diminta memberikan pandangan soal Sutardji. Segera saya menyetujuinya. Sutardji pernah mempelajari puisi esai saya untuk diberikan pengantar. Kini, sembilan tahun kemudian, giliran saya mempelajari lagi puisi Sutardji untuk memberikan sambutan.

Saya membaca kembali puisi Kucing yang Ia tulis. Saya menonton kembali ekspresinya, ketika Ia sendiri yang membacakan puisi itu.

Menyelami puisi Sutardji ini, Kucing, saya justru ingat lukisan Pablo Picasso.

Picasso membuat lukisan di tahun 1907 yang sama menggemparkannya. Ia mengekspresikan dengan cara tak biasa. Lukisan Picasso itu diberi judul Ladies of Avignon (Les Demoiselles d’Avignon).

Di lukisan itu terdapat 5 wanita. Namun jika kita zoom terlihat tegas di sana: mata yang tak biasa. Hidung yang tak biasa. Wajah wanita yang tak biasa di tangan Picasso.

Saat itu para seniman dan wartawan bertanya “Mengapa kau melukis wanita dengan cara yang demikian?” Jawaban Picasso ini juga relevan dengan kasus puisi Sutardji.

“Saya seorang pelukis. Saya bukan juru kamera. Saya juga bukan cermin kaca yang hanya memantulkan wajah wanita.”

“Apa itu wajah manusia sebenarnya? Juru kamera dan cermin hanya menangkap potongan wajah apa adanya.”

“Tapi seorang pelukis menangkap apa yang ada di balik wajah. Apa yang ada di dalam wajah. Pelukis menangkap jiwanya dan diekspresikan dalam kanvas.”

Tersaji satu lukisan yang berbeda dibanding lukisan lain pada zamannya. Bukan hanya letak mata, hidung, mulut yang tak proporsional.Tapi juga badan yang kotak-kotak dengan berbagai varian bentuk.

Bagi yang punya satu pengalaman estetik lukisan yang panjang, mereka akan segera memahami. Walau ia tak melihat wajah wanita biasa, namun bisa mereka tangkap ada gelora di lukisan wajah itu.

Ada ekspresi batin di sana tentang wanita yang unik. Justru batin wanita tersebut lebih bergejolak dibanding jika wanita itu dipotret atau dilukis secara biasa saja.

Saya membandingkan ekspresi tak biasa dalam lukisan Picasso itu dengan ekpresi tak biasa dari Sutardji mengenai kecintaannya pada Tuhan.

Jika dua hal ini kita letakkan dalam sejarah yang panjang, maka kita sampai pada apa yang disebut 𝘙𝘢𝘥𝘪𝘤𝘢𝘭 𝘉𝘳𝘦𝘢𝘬 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘛𝘳𝘢𝘥𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯. Penyimpangan radikal dari tradisi.

Bahwa setiap zaman, setiap periode waktu selalu lahir para kreator, para fisuf, sastrawan, pemikir, ilmuwan, politisi, dan penemu. Mereka kemudian melakukan penyimpangan radikal dari tradisi sebelumnya. Penyimpangan radikal dari konvensi.

Pelukis menyimpang dari tradisi melukis. Penyair menyimpang dari tradisi bahasa. Filsuf menyimpang tradisi pikiran. Ilmuwan menyimpang dari pengetahuan umum.

-000-

Saya beri contoh misalnya yang menyimpang secara radikal dari tradisi berpikir. Ini dibawa oleh neuroscience.

Sebagai ilmu baru, neuroscience menelaah cara berpikir manusia dengan mengeksplor sistem syaraf melalui teknolog terbaru dan tertinggi. Apa hasil dari neuroscience?

Dulu kita memahami bahwa manusia itu digerakkan oleh free will, oleh kehendak bebas. Manusia adalah individu yang otonom, bermartabat, dan berkehendak bebas.

Mereka bebas memilih A atau anti A. Karena itulah lahir moralitas. Hanya ada moralitas jika manusia bisa memilih antara A atau anti A. Jika Ia tak bisa memilih, itu di luar jurisdiksi moral.

Neoroscience membantah itu. Ilmu ini membangkan secara radikal temuan baru. Tak ada itu free will itu! Tak ada itu kehendak bebas dari cara berpikir manusia!

Apa yang manusia kerjakan hanyalah buah dari sinerji jutaan data yang ada di dalam syaraf manusia. Dan sinerji itu telah ada ribuan tahun sejak Homo Sapien pertama lahir.

Informasi diturunkan dari generasi ke generasi. Perhitungan untuk survive itulah yang menjadi engine mekanisme dasar untuk bertindak.

Orang modern menyebutnya free will. Padahal itu hanyalah hasil kemungkinan dari sinerji data-data yang ada. Manusia dengan data yang berbeda walaupun dengan free will yang sama bisa menghasilkan tindakan yang berbeda.

-000-

Dalam sejarah peradaban, selalu terjadi radical break from tradition.

Sutardji melakukan radical break from tradition dalam ungkapan bahasa, dalam kata-kata, dalam cara bertutur.

Jika kita baca tradisi Sufi sejak Rabi’ah Adawiyyah sampai pada Muhammad Iqbal dan Rumi, umumnya mereka mengekspresikan cinta pada Tuhan dengan kata-kata yang konvensional. Itu sama dengan bahasa-bahasa agama.

Namun Sutardji dalam puisi Kucing mengekspresikannya dengan cara-cara urakan.

“Berapa Tuhan yang kalian punya?
Beri aku satu.”

“Aku pasang perangkap di Afrika.
Siapa tahu ada satu Tuhan yang kena.”

Ekspresi tak biasa ini meninggalkan satu kedalaman dan orisinalitas.

Penggalan urakan ini tak bisa kita artikan secara tekstual. Misalnya: Sutardji mengatakan Tuhan itu banyak. Beri aku satu Tuhan. Sisa lainnya buat kalin.

Ekspresi ini harus dimengerti secara metafor, dengan pemahaman yang imajinatif.

Saya sungguh menikmati puisi Sutardji ini. Sudah 48 tahun lalu Ia menulis puisi ini.

Sekarang Sutardji sudah berumur 80 tahun. Kita rindukan kembali karya-karyanya yang baru.

Dalam usianya kini, pastilah ia memiliki kedalaman yang lebih gurih. Pastilah Ia memiliki kesunyian yang lebih hening.

Sungguh kita ingin tahu. Bagaimana bentuk ekspresi radical break from tradition itu ketika Sutardji berusia 80 tahun.

Selamat berusia 80 tahun, senior. Panjang umur Sutardji. Kata orang Perancis, usia membawa kedalaman. l’âge apporte de la profondeur.

Red.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts