Thursday, December 26, 2024
HomeNasionalNOMINASI NOBEL SASTRA DENNY JA DAN INVESTASI KULTURAL
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

NOMINASI NOBEL SASTRA DENNY JA DAN INVESTASI KULTURAL

Oleh Gunoto Saparie

Global Cyber News.Com| Membaca berita yang viral di akhir desember 2021, mengenai The Swedish Academy, panitia nobel, yang mengundang komunitas puisi esai untuk mencalonkan sastrawan Indonesia, saya teringat Unesco.

Badan di bawah PBB ini membuat program yang berjudul “Investasi untuk infrastruktur budaya. (Investment in Cultural Infrastructure).”

Unesco menggaris bawahi pentingnya pemerintah dan swasta melakukan investasi di bidang kebudayaan untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi kreativitas masyarakat.

Salah satu caranya adalah membangun kantong- kantong budaya dan komunitas sastra dan seni pada umumnya. Kantong dan pusat seni ini perlu ditata dan ditumbuhkan secara sengaja sebagai infrastruktur yang mensimulasi masyarakat kreatif bertemu dan bersinerji.

Memang Unesco membuat program ini untuk kasus Palestina dan Timur Tengah. Tapi prinsip investasi kultural itu bisa diterapkan untuk negara mana saja.

Komunitas puisi esai pada dasarnya adalah produk dari investasi kultural. Bedanya, pelaku utama investasi kulturalnya bukan pemerintah, bukan pula organisasi internasional. Pelakunya adalah swasta bahkan individu bernama Denny JA.

Dalam berbagai kesempatan ketika tatap muka dengan Denny JA, dengan gaya seorang orator dan aktivis, Denny JA acapkali menggerakkan pendengar dengan ucapan itu.

“Kita hidup di zaman yang paling besar yang pernah ada. Zaman ini jauh lebih besar dibandingkan zaman yang melahirkan Sutan Takdir Alisjahnana, Chairil Anwar, Rendra atau Pramoedya Ananta Toer.”

“Tapi mana inovasi sastra di zaman ini? Dunia politik, bisnis, teknologi di zaman ini melahirkan banyak inovasi. Mana inovasi dunia sastra? Apakah kita tak merasa kecil hati di jika di zaman terbesar ini hanya menjadi pengikut sastrawan besar zaman dulu?”

Ujar Denny lagi, “puisi esai adalah ikhtiar inovasi di zaman ini. Ia adalah ijtihad budaya. Kita bisa berhasil atau gagal mengembangkannya.

Tapi spirit kita sudah benar. Ini spirit para kreator yang ingin ikut memperkaya sastra. Yaitu mereka yang ingin terlibat dalam investasi kultural.”

Saya dan banyak teman acapkali terpesona mendengar orasi Denny JA. Ia bukan saja kuat dalam menjelaskan “WHY”, mengapa kita mengerjakan investasi kultural dalam bentuk puisi esai. Tapi Denny JA juga tak sungkan mengeluarkan dana dari koceknya sendiri.

Kata Denny, “Saya bisa saja menghabiskan dana saya untuk menikmati hidup pribadi. Tapi saya memilih menyalurkannya untuk investasi budaya. Tak ada dana dari pemerintah, dari pabrik rokok atau dari lembaga internasional untuk investasi kultural puisi esai. Ini asli dana saya sendiri.”

Denny pun membuat program spektakuler. Local wisdom di 34 provinsi Indonesia dipotret oleh penulis di provinsi itu dalam bentuk puisi esai. Lalu nanti puisi esai itu dibuatkan filmnya.

Kebetulan saya terlibat dalam kepanitiaan penerbitan 34 buku antologi puisi esai dari 34 provinsi di Indonesia. Tiap provinsi rata-rata diwakili oleh lima penulis, yang dengan puisi esainya akan memotret batin masyarakat di masing-masing provinsinya.

Ini berarti, kekayaan budaya Nusantara, kearifan lokal, jeritan batin, peristiwa sosial-politik, sejarah, tergambar dalam 175 puisi esai yang direkam dalam 34 buku antologi tersebut.

-000-

Kami para editor 34 buku dari 34 provinis Indonesia kadang terpana. Begitu kayanya budaya Indonesia. Membaca 176 puisi esai mengenai 176 kisah di 34 provinsi itu seperti menyelami batin Indonesia.

Saya sertakan di sini, cuplikan tulisan Denny JA sendiri yang mencoba mengeskpresikan beberapa pesan puisi esai dari Aceh hingga Papua.

Puisi esai dari Aceh karya D.Kemalawati: Setelah Salju Berguguran di Helsinski. Dikisahkan di sini hal yang unik dalam sejarah Aceh sendiri: fenomena Gerakan Aceh Merdeka.

Tahun 2005 Aceh memasuki sejarah baru. Ditanda tangani perjanjian Helsinki, yang menjadi judul puisi esai Kemalawati. Saat itu Gerakan Aceh Merdeka akhirnya kembali dalam pangkuan Negara Indonesia.

Namun drama baru justru dimulai. Perpecahan antara para eks elit dan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka itu sendiri.

Sebagian dari mereka menjadi penguasa lokal. Ada yang terpilih menjadi gubernur, walikota dan bupati. Tapi sebagian yang dianggap garis keras, bahkan teroris, tetap mendekam di penjara.

Mereka yang moderat dan garis keras dalam Gerakan Aceh Merdeka dulu berada di satu front. Kini mereka berhadapan, minimal tak sejalan.

Drama dieksplorasi dari kacamata satu elit GAM yang masih di penjara. Ia, tokoh bernama Muda Balia, merasa di khianati oleh teman seperjuangannya sendiri.

Dari Provinsi Sumatra Selatan, ada puisi esai karangan Linny Oktavianny: Lagu Seorang Duta.

Ini puisi mengkisahkan budaya unik yang tumbuh di Sumatra Selatan, khususnya Kayu Agung. Hidup dan dihormati penduduknya saat itu: Kultur Robin Hood.

Ini kisah bandit tapi dihormati oleh komunitasnya. Ia mencuri dari orang kaya. Dan membagikan sebagian hasil curiannya kepada rakyat kecil dan kegiatan agama: termasuk sumbangan membangun mesjid.

Bandit ini juga mengembangkan etika. Mereka tidak boleh mencuri di kampung halaman sendiri: Kayu Agung. Dan mereka bekerja dalam tim.

Bandit ini berlaku semacam duta masyarakat. Mereka yang legenda mencuri di negara tetangga. Yang lebih rendah: mencuri di provinsi lain.

Komunitas mengetahui kerja bandit ini. Tapi mereka juga menyaksikan ketika para bandit itu berhasil mencuri di dunia luar sana, sebagian dana mereka gunakan untuk menyantuni anak yatim piatu. Atau dana diberikan untuk renovasi masjid.

Pulang mencuri, mereka kembali ke kampung halaman, sholat di mesjid, menjadi pengurus organisasi pengajian dan sebagainya.

Namun di era modern, tradisi Robin Hood ini mulai ditinggalkan. Puisi esai ini mengkisahkan tokoh bernama Wahid karena terdesak ekonomi kembali menjalani hidup sebagai Robin Hood itu.

Dari Provinsi Jakarta ada puisi esai karya Elza Peldi Taher: Manusia Gerobak.

Puisi esai ini menggambarkan realitas yang masih hidup di Jakarta: kaum gelandangan. Ia bahkan tak punya tempat tinggal, dan hidup di atas gerobak saja.

Atmo seorang pekerja keras di desa. Karena ia tak lagi punya sumber penghasilan di sana, Ia pun nekad pergi mencari penghasilan ke Ibu kota: Jakarta.

Ia terusir dari sana dan sini. Akhirnya bersama istri dan anak, Ia memilih berumah di atas gerobaknya sendiri. Dengan gerobak itu, Atmo membawa keluarganya ke aneka area yang aman.

Istrinya tak tahan. Suatu hari sang istri pergi entah kemana.

Bencana pun datang. Anak Atmo wafat. Ia tak mempunyai uang untuk membayar tanah kuburan. Tapi Ia ingin memakamkan anaknya dengan hormat.

Atmo berkehendak membawa mayat anaknya ke desa. Ia pun naik kereta api membawa mayat anaknya yang mulai membusuk.

Tentu saja Atmo ditolak pekerja kereta api. Kembali Ia gagal menguburkan anaknya.

Untunglah solidaritas kawan kawannya akhirnya mencari solusi. Mereka bersama menguburkan anak Atmo dengan hormat, memandikannya, dan melakukan ritus agama bagi pemakaman.

Dari Jawa Barat ada puisi esai Jojo Raharjo: Kawin Kontrak. Ini juga khas fenomena di Cisarua, Jawa Barat. Orang asing mengkontrak seorang wanita untuk menjadi istri, tapi istri hanya untuk jangka pendek saja.

Selesai jangka pendek itu, selesai pula perkawinan. Sama persis seperti seseorang mengkontrak sebuah ruko, atau mobil, atau perkakas mesin.

Layla nama gadis itu. Ia dari keluarga miskin. Pada bulan tertentu, setiap tahun, Cisarua dipenuhi wisatawan asing, terutama dari Timur Tengah.

Mereka ingin juga wisata seks. Namun mereka tak ingin zinah yang dilarang agama. Solusinya: menikah tapi hanya untuk jangka waktu tertentu saja. Seminggu. Atau Sebulan. Atau tiga bulan.

Hal yang biasa di Cisarua. Ayah sendiri “menyerahkan” anaknya untuk kawin kontrak. Sang Ayah mendapat imbalan tertentu.

Tapi apakah sang Ayah menyadari derita psikologis anaknya? Apakah sang turis asing peduli rasa nyaman istri kontraknya.

Aneh tapi nyata.

Dari Bali kita membaca puisi esai karangan I Nyoman Agus Sudipta: “Kasta, Antara Cipta dan Cinta.”

Masyarakat Bali saat itu, juga sekarang, masih diwarnai oleh budaya kasta. Sebagian terlahir dari kasa tinggi Triwangsa (Brahmana, Ksatri dan Waisya). Sebagian lagi dari kasta yang dianggap rendah: Sudra.

Masalahnya di dunia modern, hubungan pribadi antara kasta terjadi dengan intens. Tokoh “Aku” dalam puisi esai ini, mengalami sendiri.

Ayahnya dari kasta Brahmana. Ibunya kasta Sudra. Betapa Ia, “Aku,” tak berada dalam posisi dihormati.

Apalagi jika yang menikah, wanitanya yang lebih tinggi. Maka sang wanita dianggap tergelincir. Suami yang datang dari kasta lebih rendah dianggap seperti hewan yang ingin naik status dengan dipangku oleh wanita yang kasta lebih tinggi.

Bahkan Adat Bali juga memiliki ritual melepas kasta. Bagi yang menikah dengan kasta yang lebih rendah beresiko Ia tak hanya kehilangan status kastanya.

Ia juga terancam kehilangan hak waris.

Bali kini tetap menjadi pusat parawisata dunia yang eksotis. Namun sistem kasta semakin dirasakan tak lagi adil bagi mereka terlahir dar kasta rendahan.

-000-

Dari Kalimantan Barat, kita tercekam membaca puisi esai Pradono: Jelaga Parit Setia.

Ini rekaman konflik berdarah yang terjadi berkali- kali. Yang berhadapan: rakyat etnis asli: Dayak, melawan suku pendatang Madura.

Lihat di Kabupaten Sambas. Lihatlah korban dan kerugian yang disebabkannya.

Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari 1.189 orang tewas. Sebanyak 168 orang luka berat. Juga 34 orang luka ringan.

Soal properti: 3.833 rumah dibakar dan dirusak. Sebanyak 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak. Tak ketinggalan 8 masjid/madrasah dirusak/dibakar.
Juga 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak.

Lebih dari itu sebanyak 29.823 warga Madura mengungsi. Wahai, apa yang terjadi.

Parit setia yang menjadi judul puisi esai Pradono itu nama sebuah desa. Saat itu, tahun 1999, baru saja selesai sholat Idul Adha.

Karena konflik yang terakumulasi lama, suku Madura menyerang perkampungan etnik asli. Korban banyak jatuh di kalangan suku Dayak, etnik asli.

Asal konflik selalu komponen ekonomi. Suku pendatang, Madura, dianggap lebih berhasil. Namun penduduk pendatang dianggap kurang mengajak, dan bersosialisasi dengan suku asli.

Padahal, menurut suku Dayak, “Tanah ini tanah kami. Dari leluhur kami. Dibalas oleh suku Madura: Tidak! Ini tanah Tuhan. Kami juga berhak mengolahnya.

Namun suku Dayak terkenal dengan gelora primitifnya. Balas dendam terjadi. Dengan parang di tangan dan alat pembunuh kejam lainnya, mereka balik menyerang suku Madura.

Kekejaman luar biasa terjadi. Seorang anak terdiam dan terpana kaku. Ia melihat kepala Ayahnya terlepas dari badan, dibawa kesana kemari oleh mereka yang menyerang.

Dari Provinsi Sulawesi Tenggara, simaklah
puisi esai La Ode Gusman Nasiru “Kesaksian di Negeri Butuni.”

Di Sulawesi Tenggara, hadir kerajaan Buton atau Butuni sejak tahun 1365. Jejak kerajaan ini masih bergema dalam budaya masyarakat Buton.

Mereka yang lahir sebagai keturunan bangsawan, diberikan gelar La Ode, untuk pria. Dan gelar Wa Ode untuk wanita.

Ini bukan sekedar gelar yang dilekatkan dalam nama seseorang. Tapi terkait dengan gelar itu sebuah prestise kelompok.

Puisi esai Gusman Nasiru mengkisahkannya. Seorang pemuda bernama Hamid datang dari perantauan.

Iapun jatuh cinta pada seorang wanita. Sang wanita pun membalas. Masalahnya, wanita itu seorang Ma Ode. Ia berdarah bangsawan. Namanya tak hanya Widarni. Tapi Ma Ode Widarni.

Ayah Widarni tak bisa menerima Hamid. Seorang rakyat jelata hanya membuat prestise keluarga Wa Ode merosot.

Maka sang Ayah membawa anaknya ke luar negeri. Widarni bersekolah di Paris. Ia mendalami bisnis. Widarnipun menikah dengan pria asing.

Tapi hati Widarni selalu teringat Hamid, kekasih hati. Demikian pula Hamid. Namun cinta terhalang oleh gelar kebangsawanan.

Dari Papua; ada puisi esai yang ditulis oleh Alfonsina Samber. Judulnya: Prahara Tolikara.”

Hanya membaca judulnya saja, bagi yang memperhatikan, pastilah teringat peristiwa di Tolikara, Papua pada 17 Juli 2015.

Alfonsina mengurai peristiwa itu dalam puisi esainya. Awalnya miskomunikasi. Di hari yang sama, di lokasi yang sama, dua komunitas dari agama yang berbeda melakukan ritus agama.

Himpunan gereja di sana, saat itu membuat semacam surat edaran. Karena wilayah itu sedang digunakan untuk pertemuan komunitas gereja, maka dihimbau umat Muslim untuk tidak Sholat Idul Fitri di sana. Dan tidak lalu lalang di area itu menggunakan jilbab.

Tapi siapa yang kuat menghalangi umat menjalankan perintah agamanya untk sholat Idul Fitri. Dan mereka merasa bebas pula sholat di mesjid yang ada, dimanapun lokasi mesjid itu.

Polisi setempat mencari jalan tengah. Sholat Idul Fitri dibolehkan namun paling lambat sampai jam 8.00.

Kemarahan akibat sentimen agama sudah keburu tersulut. Pecahlah itu kerusuhan saling membakar dan melakukan kekerasan.

Namun insiden hari itu sebenarnya tak menggambarkan realitas Tolikara yang toleran.

Itu terbukti dengan peristiwa sesudahnya. Pemimpin kristen membantu Ustad Ali membangun kembali rumahnya yang dibakar. Mesjid juga dipugar kembali.

Menghadapi Idul Adha, hari raya setelahnya, pemimpin kristen mengirimkan beberapa kambing untuk ikut ritus agama Islam.

Demikianlah ragam puisi esai dari Aceh hingga Papua. Saya hanya menceritakan beberapa saja dari total 176 puisi esai itu.

-000-

Sekali lagi, narasi panjang contoh pesan puisi esai dari Aceh hingga Papua di atas adalah cuplikan dari pengantar Denny JA untuk 34 buku puisi esai dari 34 provinsi.

Memang tidak berlebihan kalau 34 buku antologi puisi esai dari 34 provinsi di Indonesia tersebut kita sebut sebagai karya spektakuler.

Berdasarkan pembacaan pada 34 buku antologi puisi esai itu, masyarakat dapat belajar berbagai kearifan lokal ragam budaya Nusantara.

Mereka akan mendapatkan banyak hal dari berbagai tema yang menjadi persoalan di masing-masing provinsi dengan mudah. Hal ini karena puisi esai disampaikan dengan bahasa yang komunikatif.

Ketika ada keluhan mengenai kurang bervariasinya tema puisi-puisi Indonesia modern, maka puisi esai menjadi jawabannya. Puisi esai juga menjawab keluhan tentang banyaknya puisi gelap dan samar yang sulit dipahami masyarakat.

Buku-buku antologi puisi esai dari 34 provinsi itu bisa diakses oleh siapapun, kapanpun, di manapun sepanjang ada jaringan internet. Sebanyak 34 buku itu abadi dipublikasi di Facebook Perpustakan Puisi Esai.

Memang harus diakui, belum pernah terjadi sebelumnya pula sebuah genre baru sastra bisa diakses dan dibaca begitu mudah di sosial media.

Ketika kemudian ada pengamat sastra mendeklarasikan kelahiran Angkatan Puisi Esai, saya kira hal itu wajar dan memenuhi syarat.

Hal ini bisa dilihat dari berbagai pembaruan dalam bentuk dan isi puisi, cara penulisan,  media penyebaran, komunitas dan kuantitas karya.

Menurut saya, apa yang dilakukan Denny JA dengan menggerakkan para penulis dari seluruh provinsi di Indonesia untuk menulis puisi esai tersebut, patut kita apresiasi.

Bukan hal mudah untuk melakukan hal tersebut. Para penulis di 34 provinsi itu, dengan puisi esai mereka, telah melakukan gerakan kultural, merekam batin Indonesia.

Akibat investasi kultural yang dilakukan Denny, wajar saja jika Panitia Nobel, the Swedish Academy, meliriknya.

Lirikan yang sangat bermakna, karena belum pernah ada, selain Denny JA dan Pramoedya, yang mendapatkannya di Indonesia.

Bahkan kemungkinan investasi kultural Denny ini akan menjadi pertimbangan atau menjadi suatu hal yang diperhitungkan dalam melakukan penilaian bagi calon penerima Hadiah Nobel untuk sastra.

Denny JA belum tentu mendapatkan Hadiah Nobel untuk sastra itu. Persaingan untuk mendapatkannya sangat ketat.

Daftar nominasi atau kandidat penerima Nobel terkumpul di bulan Februari. Panitia Nobel kemudian mengaji ulang nama-nama yang terkumpul, lalu membuat rekomendasi kepada badan pemberi hadiah.

Tahap selanjutnya, anggota panitia Nobel dan konsultan akan bertemu untuk mengevaluasi kualifikasi calon. Pada seleksi akhir, setelah merundingkan berbagai opini dan rekomendasi, badan pemberi hadiah melakukan pemungutan suara. Pada bulan Oktober nama pemenang biasanya telah diumumkan ke publik.

Puncaknya, pada 10 Desember 2022, panitia akan mengundang secara khusus para pemenang Nobel di setiap bidangnya. Disaksikan ratusan tamu, undangan khusus ini, semoga termasuk Denny JA, akan menerima Mahkota Nobel untuk sastra.*

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah

Red.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts