Global Cyber News.Com|Istilah Zaman Edan yang ditulis Raden Ngabehi Ronggowarsito pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. (14 Maret 1802–24 Desember 1873) diperkenalkan pertama melalui Serat Kalatida. Tembang Sinom ini terdiri dari 12 baik dalam Bahasa Jawa halus seperti ini;
amenangi zaman édan/ éwuhaya ing pambudi/ mélu ngédan nora tahan/ yén tan mélu anglakoni/ boya keduman mélik/ kaliren wekasanipun/ ndilalah kersa Allah/ begja-begjaning kang lali/ luwih begja kang éling klawan waspada.
Jika diterjemahan secara bebasnya artinya kurang lebih demikian; menyaksikan zaman gila/ serba susah dalam bertindak/ ikut gila tidak akan tahan/ tapi kalau tidak mengikuti (gila)/ tidak akan mendapat bagian/ kelaparan pada akhirnya/ namun telah menjadi kehendak Allah/ sebahagia-bahagianya orang yang lalai/ akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Menurut analisis Ki Sumidi Adisasmito syair ini merupakan ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Sehingga makna yang melakat pada penguasa tidak lagi dimaksudkan tahta untuk rakyat. Apalagi arti dari Senapati Ing Ngalaga Abdulrachman Sayidin Panata Gama Kalifatullah.
Rasanya memang syair Tembang Sino mini semakin relevan pada zaman sekarang ini. Karena banyak pejabat yang semakin birahi mencari keuntungan pribadi tanpa memedulikan kerugian yang mendera rakyat. Meskipun kritik sudah bertubi-tubi disampaikan, toh etika, moral dan akhlak mereka tidak tergetar juga mendengarkannya.
Bahkan lebih dominan untuk membrangus mereka yang dianggap bising dan usil itu. Seperti kericuhan yang sangat memprihatinkan terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Akibat rakyat bersikeras menolak penambangan batu andesit di tanah kelahiran mereka. Sebab penambangan itu akan mengancam keberadaan 27 mata air sebagai sumber kehidupan yang menjadi andalan warga masyarakat setempat. Meskpun pasokan batuan andesit yang akan ditambang itu akan digunakan sebagai material pembangunan Bendungan Bener yang merupakan salah satu proyek di daerah itu juga.
Jadi sungguh terkesan benar apa yang dikatakan Raden Ngabehi Ronggowarsito bila menyaksikan zaman gila seperti yang terjadi selama ini, rasanya menjadi serba susah dalam bertindak. Apalagi kemudian ditimpali oleh musim pagebluk – pandemi– yang berkepanjangan dan berkelanjutan dalam episode yang baru dengan sebutan Umicron. Padahal menurut para ahli, sejak 11 Januari 2022, hanya tujuh minggu setelah varian Omicron pertama kali dilaporkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan “gelombang pasang” infeksi yang akan menyapu dari barat ke timur di seluruh dunia.
Sungguh jadi serba susah dalam bertindak, seperti diungkapkan oleh sang pujangga Jaw aini. Sedangkan untuk ikut gila, tidak akan mungkin tahan. Tapi kalau tidak mengikuti (gila), resikonya memang tidak akan mendapat bagian. Begitulah kelaparan pada akhirnya yang mendera. Dan sebagai pelaku spiritual yang baik, semua itu dapat dipahami sebagai bagian dari kehendak Allah.
Meski toh, kita pun harus kukuh bersikap seperti yang dirumuskan Raden Ngabehi Ronggowarsita bahwa sebahagia-bahagianya orang yang lalai, tetap akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada. Ini artinya, tak perlu nekat seperti mereka yang harus mengakhiri karier dan reputasinya di KPK (Komisi Oemberantasan Korupsi) karena lali dan abai pada etika, moral dan akhlak seperti yang sudah banyak diwariskan para leluhur dalam konsepsi siri, pamali dan kepatutan menjaga martabat dan harga diri agar tidak sampai ternoda atau tercela.
Apalagi hanya sekedar legacy imitasi, sekedar untuk menutupi kebusukan atau kebrengsekan yang terlanjut telah merugikan rakyat. Padahal, hakekatnya sebagai pengambil kebijakan tetap harus dikembalikan kepada mandate dan amanat rakyat. Sebab jabatan yang diberikan oleh rakyat itu berada di bawah sumpah untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab – tak hanya kepada masyarakat – tetapi juga kepada Allah SWT yang sudah disebut-sebut saat melakukan sumpah sebelum menerima jabatan apapun di negeri ini.
Kalau pun yang tak mau ikut menggila di jaman edan ni memang konsekuensinya tidak kebagian, itu juga resiko dari suatu pilihan. Sebagaimana mereka yang menggila di jaman edan ini, memiliki konsekuensi dan resikonya sendiri. Agaknya, karena itulah orang banyak merumuskan bahwa hidup itu adalah sikap dalam menentukan sebuah pilihan.
Jakarta, 11 Februari 2022
Red.