Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpiniJacob Ereste :Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW Dalam Epistemologi Spiritual
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Jacob Ereste :
Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW Dalam Epistemologi Spiritual

Global Cyber News.Com|Peringatan Isra’Mi’raj Nabi Muhammad SAW 27 Rajab 1443 Hijriyah yang bertepatan pada 28 Februari 2022 Masehi, artinya adalah mengenang perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Mekkah menuju Yerusalem pada malam hari. Sedangkan Mi’rad adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW menuju Sidratul Muntaha atau langit ketujuh. Anda bisa saja tidak percaya, tapi realitasnya begitulah adanya, sebagaimana upaya untuk memahami realitas spiritualitas lainnya. Namun untuk dicerna dengan akal sehat – pasti tak pernah mampu melampaui spiritualitas – sebab perjalanan di bumi saja pada malam hari dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha di Yerussalem, Palestina, sungguh luar biasa dalam arti jarak tempuh maupun waktunya. Apalagi peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha atau langit ketujuh.

Namun atas kusaan dan kebesaran Allah SWT tiada sesuatu yang mustahil bagi-Nya, sebab diri kita sendiri sesungguhnya dapat menjadi bukti kongrit terhadap banyak hal yang tidak mustahil dilakukan oleh Allah SWT itu.

Pemahaman terhadap Isra Mi’raj dalam dimensi tauhid dan kearifan budaya bangsa-bangsa Timur khususnya Nusantara – yang telah meng-Indonesia – jelad dan terang tercatat dalam Al Qur’an pada 1.401 tahun yang silam, tepatnya pada tanggal 27 Rajab 1443 H yang bertepatan pada 28 Februari 2022.

“Maha suci Alloh yang telah memperjalankan hambanya (Muhammad) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami tunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami. Sesungguhnya dialah (Alloh) maha mendegar lagi maha mengetahui” (Q.S. Al Isra’).

Bayangkan, peristiwa itu terjadi terhadap seorang anak manusia yang sedang dalam kedukaan, karena ditinggalkan oleh orang-orang tercintanya. Dia tidak bisa tidur karena sedih, hingga kemudian datanglah dua malaikat membawanya dalam suatu perjalanan spiritual (transenden) sebagai dasar dari tauhid, serta hubungan sosial.

Dalam biografi Nabi Muhammad SAW ini, menurut Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja yang merujuk pada Amstrong bahwa peristriwa Isra Mi’raj terjadi ketika Nabi Besar Muhammad SAW berada dalam kondisi yang sangat terdesak, sehingga melampaui batas ketahanan fisik maupun mental sebagai manusia biasa.

Kisah perjalanan Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (Palestina) lalu naik (mi’raj) ke langit Sidratul Muntaha, pada masa itu pun sempat menimbulkan gejolak. Tidak sedikit diantaranya yang mengejek bahkan menyebut Muhammad – ketika itu belum menapat pengakuan Nabi dari masyarakat sekitarnya — mereks beranggapan dia sudah gila. Karena memang secara rasional seorang manusia tidak mungkin mampu melakukan perjalanan ke Yerussalem-Palestina dalam waktu satu malam. Bahkan kemudian, naik ke langit untuk bertemu dengan Tuhan.

Perbedaan pandangan dan pendapat mengenai Isra Mi’raj ini pada hakikatnya bermuara dari interpretasi masing-masing individu terhadap ayat maupun hadist yang membicarakan mengenai Isra Mi’raj. Hanya saja perdebatan seputar Isra Mi’raj ini, apakah dilakukan Nabi secara jasmani atau rohani, pada akhir hanya akan mengaburkan essensi dari makna di balik peristiwa Isra Mi’raj itu sendiri, kata Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja.

Dari sejumlah literatur klasik yang memaparkan peristiwa Isra dan Mi’raj Muhammad SAW, adalah semacam proses pelantikan bagi Muhammad menjadi Rasulullah (Utusan Allah) dan sekaligus merupakan ujian bagi Muhammad SAW dan para pengikutnya yang percaya dan yang tidak. Sehingga dapat menjadi terang dan jelas bagi mereka yang beriman dan bagi mereka yang tidak beriman terhadap misi kenabian Muhammad SAW.

Dan yang sangat menarik dari peristiwa tersebut adalah kisah pertemuan dua tokoh yang memiliki perspektif berbeda, yakni Nabi Musa yang saat itu masih cenderung menggunakan epistemologi keilmuan logika (knowledge by intellect) sedangkan Nabi Khidhir lebih cenderung menggunakan epistemologi keilmuan spiritual (know¬ledge by present). Dari peristiwa ini jelas mengisyaratkan kepada kita bahwa akumulasi ilmu pengetahuan tidak pernah final.

Setidaknya, sehebat apapun sebuah produk rasional tidak pernah terbebas dari kepentingan dan suasana subjektif. Itulah sebabnya kosmologi Islam tidak pernah berhenti di level manusia, tetapi semuanya dikembalikan kepada Yang Maha Tahu.

Selain itu, peristiwa Isra Mi’raj tak lain merupakan simbol perjalanan manusia menuju “Yang Tak Terbatas”. Atau dalam istilah yang acap digunakan Eko Sriyanto Galgendu sebagai laku spiritual, sebagaimana essensi dari perspektif Nabi Musa dan Nabi Khidir. Oleh karena itu, mereka yang tekun menjalankan laku spiritual dapatlah dikatakan tidak jauh keberadaan dari para Nabi, Wali atau kaum sufi yang selalu melantunkan ayat-ayat suci – ayat-ayat bumi atau ayat-ayat diri – yang tidak terbaca oleh orang awam. Karena langit dan bumi –sesungguhnya — bagi kaum sufi atau pelaku spiritual selalu menyapa dengan cara dan bahasanya sendiri atas Kuasa Allah SWT sebagai penciptanya. Karena itu, isyarat dan aba-aba dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Esa itu – seperti yang diyakini oleh segenap warga bangsa Indonesia yang tertera dalam sila pertama Pancasil – bukan cuma pencipta, tetapi juga pemilik tunggal hidup dan kehidupan kita sebagai makhluk-Nya yang paling mulia di muka bumi.

Jadi essensi dari Isra dan Mi’raj merupakan anak kunci dari pembuka kesadaran manusia yang membimbing atau menjadi petunjuk arah untuk memasuki gerbang keyakinan bahwa hidup dan kehidupan manusia pada hakikatnya merupakan perjalanan spiritual yang dibimbing oleh “Yang Transenden” sehingga dapat memberi ketangguhan diri untuk tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan kebenaran dan keyakinan yang telah menjadi pegangan dan pedoman.

Dalam versi Dr. H. Heri Solehudin Atmawidjaja, spirit dari perjalanan Nabi Muhammad yang mampu menembus ruang dan waktu, harus dan dapat menjadi spririt bagi setiap orang menghadapi kompleksitas persoalan bangsa dan negara Indonesia saat ini, setidaknya agar tidak jumawa atau harus memiliki sikap dan sifat ugahari spiritual sebagaimana yang sudah digaungkan PGI (Persekutian Gereja Indonesia), dan memperoleh dukungan sepenuhnya dari Kardinal Prof. Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo bahi GMRI untuk mempelopori gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual bagi bangsa Indonesia guna menyambut peradaban baru manusia di muka bumi dalam siklus perubahan setiap tujuh abad babak keempat sekarang ini. Sehingga hakikat Isra Mi’raj Nabi Besar Muhammad SAW dalam epistemologi (keilmuan) spiritual dapat dijadikan acuan bagi srluruh umat manusia di bumi, sebagaimana makna dari anugrah Allah SWT dalam kandung makna rachmatan lil alamin itu.

Jakarta, 29 Februari 2022

Red.

Latest Posts