
Global Cyber News.Com|Penjor adalah seni dekorasi yang sudah lama ada di tengah-tengah masyarakat kita sejak ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka, khususnya di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Pada masa-masa kerajaan Hindhu- Buddha di Indonesia beberapa abad yang lalu, seni dekorasi penjor sudah berkembang pesat yang dikerjakan oleh para seniman untuk menghias tempat-tempat yang sedang digunakan untuk perhelatan besar, seperti upacara pernikahan agung, pesta desa, orang punya kerja, atau upacara-upacara keagamaan. Selain bertujuan untuk menunjukkan kepada khalayak ramai bahwa di tempat itu akan atau sedang berlangsung kegiatan besar, juga untuk menciptakan suasana indah, meriah, khidmat, sakral,dan resmi.
Sebagian masyarakat Jawa menyebutnya ‘janur mlengkung’ , ‘padhe-padhe’ atau sebutan lain. Bahan utama untuk membuat penjor adalah ‘janur’, yaitu daun pohon kelapa yang masih muda yang diambil sebelum daun itu keluar dari tangkupnya, sehingga warnanya kuning pucat dengan sedikit nuansa hijau. Seni dekorasi penjor memiliki nilai artistik yang tinggi dan melekat di dalamnya ada pesan-pesan filosofi yang harus diterjemahkan dan diurai maknanya.
Seni penjor terus berkembang karena para seniman penjor terus menerus berkreasi dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penjor telah menjadi dekorasi ikonik masyarakat Bali dan Jawa. Dimana ada warga punya kerja, seperti khitanan, perkawinan, atau pesta-pesta lain, hampir selalu di sekitar itu ada penjor walaupun sekedar janur melengkung yang dihias sederhana. Paling tidak di pintu gerbang masuk kampung atau gang, penjor dipasang sebagai petunjuk tempat bagi tamu yang datang. Tetapi sayangnya, di Jawa pecinta seni penjor hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Kalau di Jawa, seniman dekorasi penjor biasanya terbatas pada pelaku usaha rias pengantin.
Di luar pulau Bali, seni penjor makin lama terasa makin ditinggalkan oleh masyarakat. Padahal seni dekorasi adi luhung ini hanya bisa ditemukan di Nusantara. Pohon nyiur sebagai sumber bahan baku karya seni ini hanya bisa tumbuh di negara tropis basah seperti Indonesia. Sehingga penjor menjadi karya seni khas Indonesia. Oleh karena itu terasa penting sekali karya seni yang menggunakan bahan-bahan baku alami lokal ini kembali dihidup-hidupkan dan dipromosikan melalui berbagai kegiatan. Salah satunya melalui festival yang dirangkai dengan kegiatan peringatan hari jadi desa, yang sebagian besar masyarakat Suku Jawa mengemasnya dalam acara ‘Sedekah Bumi’.
Dalam konteks sekarang, ‘sedekah bumi’ tentu saja tidak lagi dihayati oleh masyarakat dan jangan dianggap sebagai bentuk pemujaan kepada berhala yang menguasai langit dan bumi, melainkan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta yang dikreasikan dalam serangkaian ‘ritual’. Jadi ini semata tradisi yang menjadi bagian dari budaya yang dianggap memiliki nilai-nilai luhur warisan nenek moyang. Tradisi ini semakin beradab dan bernilai karena di tengah-tengah rangkaian kegiatan itu masyarakat memanjatkan doa memohon keselamatan, kesejahteraan, dan berkah kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang mereka anut. Agama memang diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Saya mengapresiasi tinggi kepada Desa Bangsri Kabupaten Jepara yang akan menggelar Festival Penjor dalam rangka ‘Sedekah Bumi’ untuk memperingati hari jadi desa awal bulan Juli 2022 yang akan datang. Semoga perhelatan itu sukses dan bisa mengkalender setiap tahun dan bisa menjadi tambahan destinasi pariwisata budaya di Kabupaten Jepara.
Red.