
Global Cyber News.Com|Ketika upah yang diberikan atas penghargaan tenaga dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan itu sungguh tidak manusiawi.
Sebab di dalam proses suatu pekerjaan itu memiliki nilai perhatian yang serius, ilmu dan pengetahuan serta kesetiaan dan rasa cinta, yang luput dari perhitungan sekedar dari tenaga yang sudah diberikan dengan sepenuh hati.
Karena itu apapun bentuk pekerjaan yang telah dilakukan seseorang untuk orang lain tanpa perduli pada kepentingan dirinya sendiri, idealnya bisa diberi apresiasi, penghargaan serta rasa syukur tidak sekedar dalam bentuk upah secara fisik semata. Karena jika begitu perlakuan yang dilakukan, maka budaya kerja tidak pernah meningkat kualitas nilainya selama upah itu sendiri tidak ditingkatkan.
Jadi akan lebih konyol lagi bila upah yang diberikan itu sebagai balas jasa atas suatu pekerjaan yang telah dilakukan hanya sebatas upah — dengan cuma berhitung tentang untung semata — maka budaya kerja yang berlangsung tidak terlalu beda dengan budaya perbudakan. Karena semua bentuk dari pekerjaan itu selalu dinilai dari kalkulasi untung dan rugi. Apalagi kemudian masih ada hasrat untuk memberi upah semurah-murah mungkin agar bisa mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya, supaya dapat memiliki kekayaan dari yang telah ditargetkan.
Pertimbangan yang abai pada kepentingan dan tingkat kesejahteraan bagi mereka yang mencurahkan segenap tenaga, pikiran, serta gagasan termasuk inisiatif dan kreatifitasnya secara maksimal itu, akan memberi makna dan nilai spiritual lebih maksimal bagi pemberi maupun penerimanya.
Dari perspektif inilah pengertian bahwa semua bentuk pekerjaan itu — tentu saja yang baik-baik manfaatnya — dalam ajaran agama disebut juga sebagai ibadhah. Hingga makna dari ibadhah itu sendiri tidak cuma sebatas ritual dalam keagamaan semata, tapi juga dalam semua bentuk yang dapat memberikan manfaat bagi dirinya sendiri serta bagi orang lain.
Memang kecenderungan yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Banyak orang ingin mendapat untung sendiri, tanpa perduli pada keuntungan orang lain. Bahkan, tidak sedikit yang abai pada akibat dari apa yang dilakukannya itu bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Sikap egoistik dan ambisius ini memang akibat langsung dari budaya materialisme sebagai anak turunan dari kapitalisme yang kini di Indonesia telah tampil dengan gelarnya yang baru, yaitu neolib.
Jadi pandemi yang telah membuat busuk hati dan nurani bangsa Indonesia pada hari ini adalah egoistik yang berlebih hingga mengabaikan kepentingan orang lain. Bahkan sanak dan keluarga sendiri acap tega pula dijadikan korban.
Agaknya, dalam konteks ini pula cukup relefan merenung sejenak tentang ketaqwaan, keikhlasan serta kerelaan Nabi Ibrahim yang tercermin dalam makna Aidul Qurban bersama anaknya yang paling dicintai, yaitu Nabi Isnail.
Banten, 4 Juni 2022
Red.