
Global Cyber News.Com|Ada kawan yang mengaku makin mantap menekuni profesi sebagai penulis karena dalam berbagai kesemparan pertemuan, diskusi atau bahkan seminar — termasuk saat ngobrol santai — selalu merasa tidak pernah mendapat kesempatan bicara. Bahkan, menurut dia, setelah cukup mengulur kesabaran untuk mengambil jatah giliran atau lebih pas disebut haknya untuk berbicara, masih saja terus direbut oleh berbagai pihak.
Itulah sebabnya, sikap iseng dia semula untuk menulis mulai ditekuninya dengan serius. Dan pelajaran menarik yang kemudian diperolehnya setelah sekian lama menjadi penulis bahkan memiliki jam terbang di atas rata-rata, dia pun mampu menyimpulkan bahwa pada dasarnya banyak orang itu adalah egoistik. Bayangkan saja, pekerjaan mereka yang sangat jauh dari profesi tulis menulis, justru merasa lebih mumpuni dan memahami seluk beluk sebagai penulis, termasuk resiko dan tantangan serta peranan sosial dari seorang penulis, bukan saja karyanya yang dianggap tak memberi pengaruh atau kontribusi apa-apa bagi kehidupan dan lingkungannya.
Itulah sebabnya, kata seorang kawan penulis senior, pilihan untuk menjadi penulis di Indonesia belum menjadi idola yang membanggakan. Kecuali itu, profesi seorang penulis bukan saja tidak dihargai, tapi belum bisa menjanjikan kecerahan masa depan yang membanggakan. Karena, nilai jasa dari seorang penulis masih dominan disepelekan. Keciali bago mereka yang pernah ketanggor saja, sehingga harus menanggung dampaknya yang sangat membekas.
Dampak dari sentakan tulisan yang sangat membekas itu, bisa positif dan bisa juga negatif jika mau dilihat dari perspektif manapun.
Kalau yang bersangkutan kapok atas suatu tulisan yang berpaut dengan dirinya, boleh jadi orang yang bersangkutan jadi sangat phobi — atau sebaliknya jadi tergila-gila untuk kembali mendapatkan rasa sensasi yang lebih dakhsyat dari yang pernah dia rasakan luar biasa itu.
Yang menarik, kini kedua kawan saya itu sekarang justru bisa menemukan kesimpulan yang sama, bahwa untuk menjadi seorang penulis yang tangguh itu tak perlu hirau terhadap psda pengakuan dan penghargaan, karena semua itu tidak lebih penting untuk melakukan saja lagi apa yang diyakini, sebagaimana layaknya seorang penyair yang tidak perlu untuk memahami secara persis sesungguhnya untuk apa karya puisinya harus dibuat. Begitu juga untuk siapa karya sastranya akan dia persembahkan. Sebab proses dari melakukan pekerjaan itu sendiri boleh saja sama dengan apa yang dilakukan oleh para kaum sufi untuk terus berjalan menuju rumah Tuhan. Padahal dia pun tahu, rumah Tuhan itu tak jelas di mana alamat. Karena semua sudut ruang dan waktu pun sangat mungkin dapat menjadi tempat Tuhan bersemayam. Seperti banyak orang percaya, bila kedekatan Tuhan itu bagi diri setiap orang seperti jarak antara dirinya dengan urat lehernya sendiri.
Jadi dalam logika pikiran yang waras, Tuhan itu sesungguhnya ada pada setiap diri manusia. Hanya saja masalahnya, apakah yang bersangkutan paham atau memang tak ingin memahami lebih jauh tentang Tuhan yang ada di dalam dirinya. Karena mungkin saja dia memang lebih percaya pada dirinya sendiri tentang banyak hal yang sesungguhnya tidak mungkin sebanding dengan pengetahuan dan kekuasaan Tuhan.
Begitulah kesombongan, keangkuhan yang tak ugahari untuk mematut diri untuk dapat meredakan keyakinan berlebihan dari egosentrisitas yang tidak bijak menghargai keberadaan, kebaikan dan kemampuan serta jasa dari orang lain. Karena selalu percaya bahwa keberhasilan yang bisa digapai adalah hasil usaha sendiri. Hingga fungsi serta peran orang lain, tidak pernah diperhitungkan, apalagi mau dihargai.
Karawang. 11 Juni 2022
Red.