Thursday, June 19, 2025
HomeOpiniJacob Ereste :Diskusi Ala Kampung Kami di Warung Bakso Mas Khamid
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Jacob Ereste :
Diskusi Ala Kampung Kami di Warung Bakso Mas Khamid

Global Cyber News.Com|Pernyataan Megawati Siekarnoputri menarik perhatian banyak pihak, utamanya “wong cilik” yang merupakan bagian dari perhatian parta politik yang dipimpinnya. Pernyataan Mega yang menyatakan ogah mempunyai menantu Tukang Bakso itu menjadi lebih marak dan vulgar mendapat tanggapan dibanding dengan saran yang dilontarkan kepada rakyat ketika minyak goreng mahal dan langka di pasar agar rakyat bisa lebih bijak menyikapi harga dan kelangkaan minyak goreng itu dengan mengkonsumsi ubi rebus, misalnya bukan ubi yang harus digoreng seperti tempe dan tahu. Demikian juga saran bijak beliau ketika bahan pangan menteror masyarakat dengan harga yang selangit, dia mengusulkan agar rakyat mau mengkonsumsi eceng gondok.

Saran jenis ini tentu saja tidak perlu disikapi terlalu kritis, karena cuma sebatas saran seorang Profesor yang lebih mumpuni dan matang memimpin puluhan tahun partai politik, hingga mungkin sekarang boleh disebut melampaui reputasi Jendral Besar H. Muhamad Suharto memimpin negeri ini. Setidaknya, telah melampaui masa panjang Soekarno memimpin Indonesia hingga ditumbangkan oleh Orde Baru.

Atad dasar topik seluas dan sepenting itulah, Mas Sastro dan Karto Gelinding yang meminta penulis untuk mampir menikmati bakso bersama mereka yang tengah bercengakrama di warung Bakso Pak Khamid. Mereka ingin mendapat pandangan dari perspektif yang lebih luas ikhwal pernyataan Ibu Megawati Soekarnoputri tentang keogahannya memiliki menantu Tukang Bakso.

Jadi Mas Sastro dan Karto Gelinding sedang berdiskusi serius tentang pernyataan politik Ibu Mega itu tadi. Setidaknya, RMOL, 27 Juni 2022 yang mempublish pernyataan itu memang telah diteruskan oleh sejumlah media lain, sehingga saya pun semakin percaya bahwa topik yang sedang dibicarakan kedua sohib tadi — Mas Satro dan Karto Gelinding yang dimideratori oleh Kang Khamid memang berhasil menarik perhatian banyak orang.

Saya pun lantas diminta pendapat tentang topik ogahnya Ibu Mega punya menantu Tukang Bakso itu. Yang pasti menurut saya, pernyataan politik wajar dilontarkan sebagaimana biasa menyambut pesta demokrasi agar suasana bisa menghargai, meski risikonya akan menimbulkan beragam arti dan maksudnya yang jauh membias.

Adapun arti dan maksud dari pernyataan dari habitat politik itu pun, boleh saya diintip dari perspektif yang berbeda. Misalnya dari budaya dan sastra, pasti kurang berkenan, sebab dapat jadi cermin betapa muskinnya perbendaharaan kata ungkap yang langsung menghantam hatinya wong cilik itu.

Maka itu, saran saya pernyataan yang terasa mengiris hati rakyat kecil itu– utamanya bagi para penjual bakso — harus lebih bijak disukai dari perspektif politik juga. Sebab boleh jadi dengan bahasa ucap yang sangat politik itu, justru memberi kesan bahwa dalam khazanah politik wong cilik itu sangat menjadi perhatian, karena suara dan dukungan yang dapat diberikan kepada pantai paling tulus dan paling setia.

Jadi sangat mungkin pernyataan yang dianggap tidak punya primasastra yang memadai itu memang untuk menghentak perhatian wong cilik yang dulu sangat fanatik dam takhlit pada partai yang dipimpinnya, tapi kini mulai punya cara pandang lain termasuk untuk menyalurkan suaranya kelak pada Pilkada maupun Pilpres yang akan segera berlangsung.

Sebab menurut Karto Gelinding, sangat khawatir sengan ucapan Ibu Mega itu, karena bisa ditafsirkan negatif oleh pendukung fanatismenya, utamanya bagi penjual bakso yang ratusan ribu jumlahnya di Indonesia, kata Karto Gelinding serius.

Jadi bahasa ucap politik Ibu Mega yang kini sudah bergelar Profesor itu pun, pasti sulit untuk diterima oleh logika sosial yang jauh berada dari habitat politik. Karena memang harus dibaca dari perspektif politik yang tidak boleh dipolitisir. Apalagi hendak dinerasikan dalam bahasa Pancasila yang santun, sekalipun Ibu Mega sendiri pejabat Ketua Dewan Pembina Badan Pelaksana Ideoligi Pancasila hingga untuk kedua kalinya sepanjang sejarah sejak BPIP dilahirkan.

Karena bahasa ucap politik, memang bisa sekejap berubah, jauh lebih cepat dari proses permentasi kacang kedelai yang besok baru bisa disebut tempe.

Mas Sastro dan Karto Gelinding lumayan terpesona dengan penjelasan saya dari perspektif politik yang sangat minimal itu. Tapi intinya, mereka bisa memahami bahwa statemen politik bisa saja luasnya tidak sebatas politik semata, tapi juga sangat mungkin dimaksudkan untuk memberi pelajaran yang lebih bersifat khusus untuk menantunya, kalau pun sergahan itu benar untuk menantunya yang kini mulai loyo tak bergairah seperti politikus yang hebat atau sebagai pengusaha yang tidak lagi memiliki kaliber yang patut di banggakan, boleh saja bahasa ucap dalam nada kemarahan itu dilontarkan, hanya saja waktu dan tempatnya mungkin yang kurang pas, mengapa harus dibuka umum.

Dan sebagai Ibu yang bijak serta memimpin partai politik besar untuk sekian periode itu, tentu saja dapat segera dipahami betapa lelahnya untuk ditanggung dalam usia yang sudah merunduk senja, namun belum juga bisa membanggakan adanya kader yang tangguh, setidaknya bisa meneruskan estafeta ideologi Bung Karno yang sangat diidolakan oleh banyak orang ini.

Ketika dialog santai di warung Bakso Mas Khamid itu mau usai, semangkok Baksa panas yang sedang mengepulkan aromanya yang merangsang itu, langsung disuguhkan bersama segelas kopi panas yang tak kalah menggoda untuk lebih lama bercengkrama bersama mereka. Sebab perhatian kedua sohib ini pada topik Bakso menjadi terkesan tidak kalah menarik dari kelangkaan dam mahalnya harga minyak goreng, meski sudah ditangani khusus oleh seorang Menteri dan dibacking langsung oleh Sang Menko yang serba bisa untuk mengurus semua perkara.

Padahal, sejatinya kata Kang Khamid — kalau boleh jujur — sebagai tukang bakso dia pun enggan punya menantu orang politik. Sebab dia khawatir nalar sehatnya tidak mampu menggapai atau mengimbangi akrobatik politik yang juga harus diimbangi oleh seorang mertua. Maka itu Kang Khamid setuju menikahkan anak kesayangannya dengan juragan tempe yang osetnya telah menguasai seluruh pasar tradisional di Jakarta dan Tangerang.

Alasan Kang Khamid, hasil dari usaha seperti itu lebih jelas dan nyata adal usulnya. Berbeda dengan pekerjaan politik yang tidak jelas atsu lebih tepat diterima akal mulai dari proses hingga asal- usulnya. Apalagi kemudian, bisa menghasilkan duit yang tidak terkira jumlah nominalnya.

Jadi pernyataan Ibu Mega tentang keogahannya mempunyai menantu tukang bakso hendaknya bisa disikapi lebih bijak dari pernyataan itu sendiri yang bisa terkesan tidak bijak dan juga tidak bestari. Karena toh tidak ada salahnya kalau mau memahami statemen itu tidak dalam nuansa politik, tetapi dalam suasana kekeluargaan, sehingga statemen tadi bisa diterima sebagai nasihat seorang Ibu yang mulai merasa gundar terhadap banyak hal yang belum bisa digapai hingga usia menjelang senja.

Jadi bisa saja pernyataan yang murni tidak ada unsur politik atau sebaliknya itu, ditanggapi saja dengan enteng dan santai. Toh, ketegangan hidup akibat beban yang terlalu banyak, sudah membuat kita pun nyaris kehilangan akal sehat. Maka itu yang penting, saat menikmati bakso dan kopi panas gratisan — seperti yang jadi suguhan Gibernur Jakarta dan mendapat Komentar khusus dari Sekjen PDIP — cukuplah dapat dijadikan pereda ketegangan dalam diskusi gaya kaki lima di warung Bakso Kang Khamid yang sudah nyaris rutin dilakukan dengan caya konvensional tanpa formalitas utau protokoler yang ribet. Pokoknya, rakyat kecil seperti kami perlu juga mengasah dan terus menjaga akal sehat. Meski cuma melalui cara diskusi ala kampung yang cuma bisa dilakukan di warung Bakso Mas Khamid. Katena tidak mampu — jadi bukan tidak mau — ingin menikmati juga hotel bintang lima yang ada di kota. Meski kami orang kampung, toh perlu juga variasi dan warna hidup agar tidak membosankan.

Banten, 28 Juni 2022

Red.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts