
Penulis : Andi Salim
Global Cyber News.Com|Pemerintah pusat dapat saja memberlakukan kebijakan yang lebih pro terhadap golongan wong cilik dalam hal akses pendidikan, oleh karena hanya dengan keterjangkauan pendidikkanlah mereka yang bodoh dapat menjadi pintar untuk selanjutnya dapat ikut berkontribusi pada pembangunan nasional secara merata di segala bidang. Sebab datangnya tunas bangsa itu bisa didapat dari berbagai macam cara dan dari mana saja tanpa memandang apakah berasal dari mereka golongan yang mampu, atau malah datang dari kaum papah yang terjerat dengan berbagai belenggu kesulitan. membangun bangsa dan negara ini sesungguhnya harus dilakukan oleh putra putri bangsanya sendiri, baik mereka yang berasal dari desa atau pun penduduk perkotaan.
Bahkan dalam hal pemberlakuan kebijakan di bidang kesehatan, pemerintah masih bisa dimaklumi sekalipun menerapkan sikapnya yang lebih mementingkan warga golongan miskin dengan menggelontorkan anggaran subsidinya guna memberikan peluang kesehatan bagi mereka. Walau pada sisi keadilan, setiap warga negara memiliki hak yang sama dimata hukum, akan tetapi persoalan kemampuan dan kesempatan serta pentingnya menyelamatkan nyawa mereka merupakan upaya yang tidak bisa ditawar-tawar dari minimnya anggaran yang harus dipikul negara, sehingga mereka layak untuk didahului melalui kebijakan subsidi tersebut agar memudahkan pelayanan bagi golongan lapisan paling bawah ini dalam memperoleh manfaatnya.
Termasuk dalam persoalan kesempatan kerja dan peluang kesejahteraan. Upaya mendapatkan sandang, pangan dan papan menjadi faktor tersendiri yang semestinya diberlakukan bagi kelayakan hidup bagi mereka yang berada pada garis kemiskinan. Bahkan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi mereka pun harus diupayakan sebisa mungkin agar mereka memperoleh manfaat pembangunan serta hidup secara layak di negerinya sendiri. Bagi mereka yang mampu, dapat saja dikeluarkan pada prioritas ini untuk ditunda, paling tidak menunggu adanya kelonggaran anggaran dan pendapatan belanja negara yang nantinya diharapkan meningkat. Disinilah skala prioritas itu diukur demi makna keadilan yang akan diberlakukan secara merata nantinya.
Bagaimana pun, penerapan keadilan memang harus meninjau pada berbagai persoalan untuk diberlakukan. Apalagi yang terkait dengan keadaan, waktu dan objektifitas serta unsur lain yang layak diperhitungkan. Sebab keadilan tidak selalu berujung pada angka yang sama meskipun pada sisi nilai yang diberlakukan dapat saja dirasakan menjadi sama. Sebab definisi keadilan ialah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Keadilan merupakan suatu ukuran keabsahan suatu tatanan kehidupan berbangsa bermasyarakat dan bernegara. Secara umum, keadilan adalah sebuah kondisi yang ideal serta benar secara moral dari cara menilai sesuatu hal. Maka dengan kata lain, keadilan merupakan kegiatan untuk menempatkan sesuatu yang tidak harus disamaratakan, akan tetapi harus disesuaikan dengan kondisi subjeknya.
Namun betapa terkejutnya masyarakat ketika mendengar pembangunan masjid Al Jabar yang menelan anggaran hingga 1 trilyun yang didanai melalui APBD pemprov Jabar dimana notabenenya dana tersebut adalah merupakan pajak rakyat yang tentu saja dirasakan tidak menerapkan azas keadilan, dimana kedudukan pemerintah yang semestinya netral dan memberlakukan keadilannya diatas semua golongan. Jika pun terhadap hal-hal diatas sebagaimana disebutkan harus dimaklumi oleh karena ketidakberdayaan rakyat kecil, bukan berarti segalanya bisa sama untuk diberlakukan. Sebab, bukankah golongan non muslim pun menjadi pembayar pajak yang baik serta berkontribusi pada PAD daerah, sehingga mereka pun layak mendapatkan kontribusi dari pajak-pajak yang mereka bayarkan pula.
Lalu dengan alasan apa pemprov Jabar menerapkan hal semacam itu, yang terkesan bersikap tidak bijak dalam melihat persoalan rakyat sesungguhnya. Sehingga harus mengesampingkan kebijakannya terhadap penganut agama lain yang berbeda. Kilah dari apa yang disampaikan oleh Ridwan Kamil sebagai alasan pembangunan masjid tersebut tentu semakin disayangkan, dimana melalui akun instagram pribadinya tertanggal 4 Januari 2023, beliau menyebutkan bahwa diwilayah mayoritas umat kristiani APBD mereka untuk membangun Gereja, sedangkan diwilayah Bali untuk membangun kawasan ibadah Pura. Hal ini menampakkan bahwa pembangunan rumah ibadah semata-mata bukan disebabkan kebutuhan masyarakat melainkan skenario kebijakan dari berlakunya fakta mayoritas dan minoritas dari skala jumlah penganutnya saja.
Dibalik ungkapannya yang bersandar pada pembangunan masjid istiqlal yang dibangun oleh Soekarno, mengapa hal yang sama tidak berani dilakukannya sebagaimana pendirian Gereja Katedral yang berdampingan dengan masjid Nasional tersebut. Apalagi sulitnya memperoleh ijin pendirian rumah ibadah agama lain hampir di setiap pemerintah daerah, terkesan para kepala daerah begitu khawatir akan timbulnya aksi penolakan oleh oknum-oknum atau kelompok masyarakat yang melabelkan dirinya sebagai golongan mayoritas tersebut demi menghalang-halangi masyarakat agama lain dalam membangun sarana ibadah mereka. Hal ini tentu menjadi keprihatinan bagi semua pihak, bahwa sarana ibadah adalah tempat bagi para umatnya untuk mendoakan diri dan keluarganya, termasuk mendoakan bagi kebaikan bangsa dan negara melalui tatacara peribadatannya masing-masing.
Jika ustadz Adi Hidayat menyebutkan bahwa seorang muslim akan lebih dekat kepada hukum haramnya seorang muslim dalam membantu pembangunan rumah ibadah agama lain, bahkan menurut UAS bahwa pejabat yang menyetujui pemberian ijin pembangunan rumah ibadah agama lain tersebut akan mendapat dosa jariyah yang akan mengalir terus sampai hari kiamat. Namun tidakkah hal itu terkesan aneh dan menjadi berbeda manakala KH Quraish Shihab yang menyampaikan dalam videonya ceramahnya atas wawancara Najwa Shihab beberapa waktu silam. Dimana beliau menyebutkan bahwa perjanjian Najran adalah dokumen jaminan melalui surat perjanjian yang ditandatangani Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh sahabatnya.
Pada isi Perjanjian Najran tersebut, menyebutkan agar umat Islam melindungi peribadatan bagi golongan umat Kristiani dalam beribadah, sekaligus membantu mereka dengan tidak membebankannya sebagai hutang mereka. Bahkan Rasulullah pernah mengizinkan para penganut agama Kristen untuk melakukan kebaktian di Masjid Nabawi. Peristiwa tersebut tercatat dalam kitab sejarah seperti Târîkh al-Umam wa al-Muluk, Sîrah Ibn Hisyam, (Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, II/158) kutipan dari tarbiyahislamiyah.id tertanggal 24 Jan 2022. Dari fakta tersebut, kita tentu bertanya, kemana pijakan pemerintah daerah tersebut dalam merespon keadilan bagi netralitas negara dalam kedudukannya, serta sikap toleransi bagaimana yang akan berlaku terhadap penganut agama lain sesungguhnya, tentu saja semua itu membutuhkan keberanian dan ketegasan dalam menyikapinya.
Red.