
Penulis : Andi Salim
Global Cyber News.Com|Kebaikan adalah sebuah wujud dari perbuatan, sedangkan kebenaran adalah cara untuk menilai kebaikan itu sendiri. Maka setiap pendapat tentu terdapat sisi baiknya namun tidak berarti pandangan seseorang itu bisa diterima oleh banyak pihak sebagai sesuatu pijakan kebaikan yang tunggal terhadap pendapat kebaikan lainnya. Sebab kebaikan apapun akan disandingkan dengan waktu, tempat dan keadaan yang meliputi munculnya inisiatif kebaikan itu untuk diterapkan. Walau kebaikan tetaplah merupakan sebuah nilai, namun esensi kebaikan memiliki syarat-syarat pada cara dan bobot untuk apa dan kemana tujuan kebaikan itu untuk diarahkan. Tanpa melihat hal itu, maka jangan menjadi salah pengertian jika kebaikan itu menjadi sebuah kesia-siaan belaka.
Esensi kebaikan adalah arti yang paling dasar dari sebuah fakta kebaikan, sedangkan nilai kebaikan adalah arti dari sebuah nilai yang mengacu pada sikap yang baik untuk dapat ditunjukkan melalui cara atau sikap dari kebaikan itu disampaikan, seperti keramahan, kemurahan hati, dan perhatian kepada orang lain dan atau kepada diri sendiri. Sebab banyak yang melakukan perbuatan yang baik, namun kehilangan esensi kebaikannya. Hal itu disebabkan dari motivasi apa yang ingin diraihnya untuk mendapatkan side efek dibalik kebaikan apa yang dilakukannya. Sehingga sering orang menilai, bagaimana dan untuk apa kebaikan dari seseorang itu diwujudkannya. Maka menjadi wajar jika apa yang dilakukan seseorang akan dilihat oleh orang lain pada motivasi apa yang menyelimuti perbuatan baiknya.
Melakukan kebaikan tidak selamanya dipahami sebagai sesuatu cara yang lemah lembut sebagai upaya dalam menyampaikannya. Sikap tegas bahkan menampakkan kemarahan terhadap penindasan atau kepada mereka yang sengaja melakukan kesalahan yang fatal dari seorang pemimpin pun bisa dianggap sebagai sebuah kebaikan. Oleh karenanya, kebaikan acapkali disandingkan dengan kebenaran. Manakala kebaikan tersebut dirujuk pada suatu keadaan untuk apa dan bagaimana mempertahankan sikap yang baik itu agar tetap terjaga. Sebab dipahami bahwa tanpa menjaga nilai kebaikan, akan mustahil kita hidup hanya sebatas membelah persoalan dari sisi benar dan salah untuk merespon berbagai keadaan.
Sering orang menilai bahwa kebenaran bersifat vertikal oleh karena datangnya dari Tuhan sebagai pemaknaan pada pengertian kebenaran yang absolut. Walau banyak teori-teori kebenaran dalam aspek ilmu pengetahuan yang menyampaikan kebenaran pada perspektif yang berbeda. Seperti teori kebenaran yang bersifat korespondensi dimana pada teori ini seseorang akan menemukan dua realitas yang berada dihadapan manusia. Sehingga pada teori ini kebenaran yang dimaksudkan adalah kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataannya. Lain lagi dengan teori kebenaran koherensi / konsistensi yang menyebutkan bahwa suatu kebenaran harus sesuai dengan jaringan komprehensif dari berbagai pernyataan yang berhubungan secara logis.
Adapun teori lain yang tak kalah pentingnya untuk disimak yaitu teori kebenaran pragmatis yang mengungkapkan pandangannya tentang konsekuensi ilmiah. Sehingga benar tidaknya suatu dalil tergantung kepada seberapa berfaedah dalil tersebut bagi manusia, maka teori ini lebih bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Dan yang terakhir adalah sebagaimana yang penulis sampaikan diatas, yaitu teori Kebenaran yang berlandaskan agama. Dimana agama memiliki caranya sendiri dalam memberikan jawaban atas segala persoalan yang dipertanyakan manusia. Baik tentang alam semesta, manusia, maupun tentang keberadaan itu Tuhan. sandaran teori ini bersumber dari wahyu yang berasal dari Tuhan untuk disampaikan kepada utusannya.
Sedangkan kebaikan lebih kepada sifat horizontal yang dilakukan dari dan untuk antar sesama manusia, sekalipun kebaikan juga dapat berlaku kepada segenap mahluk dan alam semesta ini. Sehingga persesuaian antara kebaikan dan kebenaran itulah yang disebut sebagai perbuatan yang bijak atau bijaksana. Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian bijaksana adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek yang terkait dengan sesuatu hal, tidak berfokus pada diri sendiri melainkan pada tujuan bersama, serta mampu mempertimbangkan dampak yang terjadi baik jangka pendek, menengah, maupun panjang sehingga berakibat kepada dampak positif bukan saja bagi pelakunya melainkan juga apapun disekitarnya, termasuk kepada masyarakat secara umum.
Ketentuan akan aturan kebenaran semata-mata untuk memilah mana kebaikan yang benar dan mana yang tidak benar. Sebab tidak semua kebaikan itu menjadi benar pada derajat aturan kebenaran itu sendiri. Apalagi aturan kebenaran pun memiliki teorinya masing-masing sebagaimana penulis sebutkan diatas. Perbedaan persepsi kebenaran harus dipahami bahwa setiap manusia dapat saja bersandar pada sumber kebenaran yang berbeda seperti agama dan keyakinan lainnya. termasuk pengakuan akan Tuhannya pun dapat saja berbeda pula. Sehingga tak heran jika kebenaran yang dimilikinya akan berbeda antara satu dengan lainnya. Oleh karena perintah Tuhan dan utusannya pun memang berbeda pula. Demikian pula terhadap Tuhan yang sama, dalam kurun waktu yang panjang dan berjarak hingga ratusan tahun lamanya, bisa saja perbedaan itu terjadi.
Kebenaran tidak akan dapat diaktualisasikan tanpa adanya tindakan kebaikan, begitu pula sebaliknya, kebaikan akan bersifat bebas dan tak terkendali manakala hanya mewujudkannya pada sikap melonggarkan segala aturan untuk menolak kebenaran itu sendiri. Kebenaran adalah sebuah penegasan dan sekaligus menjadi pembatas bagi setiap kebaikan. Maka menahan suatu kebaikan pun bisa dianggap sebagai sebuah kebenaran pada akhirnya. Jika ada yang beranggapan bahwa kebenaran menghalangi suatu kebaikan, hal itu tentu saja bisa dipahami dan dimaklumi sepenuhnya, oleh karena aturan-aturan yang merujuk syarat-syarat kebenaran adalah merupakan syarat mutlak yang semestinya dipijak bagi munculnya kesesuaian antara kebaikan terikat pada aturan dan kebenaran itu sendiri.
Sehingga kebaikan yang ditolak atau tertolak oleh aturan kebenaran bukanlah kebaikan yang semestinya dapat digunakan sebagai bentuk tindakkan sosial dari manusia kepada antar sesama manusia bahkan dapat saja bagi para mahluk disekitarnya. Memaknai hal itu, maka subjektifitas toleransi adalah bentuk fleksibilitas sebuah norma. Sebab pada sisi toleransi, suatu kebenaran bisa saja disesuikan derajatnya demi kebaikan atau suatu kebaikan yang disesuaikan demi munculnya suatu kebenaran. Sebab toleransi adalah Arde penangkal yang netral demi melonggarkan kekakuan sebuah norma, baik yang datangnya dari kebaikan, maupun terhadap kebenaran itu sendiri. Walau tidak keseluruhannya sikap toleransi itu merefleksikan kelenturannya, namun setidaknya sikap toleransi itu mampu menawarkan sebuah solusi jalan tengah bagi perspektif kebaikan dan kebenaran agar tetap tegak dan terjaga pada akhirnya.
Red.








