Global Cyber News.Com|Penulis : Andi Salim
Berbagai spekulasi bertebaran di seantero jagad politik saat ini. Apalagi tudingan terhadap Jokowi yang disinyalir memerankan politik dua kaki pasca pertemuan antara Gibran Rakabuming Raka dengan Prabowo Subianto. Sontak saja masyarakat terheran-heran mengapa bukan saja Kaesang yang mendukung Prabowo, namun kali ini Walikota Solo itu pun ikut-ikutan menjalin hubungannya dengan sosok capres yang akan menjadi rivalitas PDIP pada pilpres 2024 semenjak telah dideklarasikannya Ganjar Pranowo sebagai capres partai berlambang banteng ini. Lantas dimana posisi politik Jokowi sesungguhnya, serta apakah beliau akan mengkhianati PDIP selaku kader yang telah diusung sebanyak dua kali dari pencalonannya sebagai Presiden, bahkan sejak dirinya pertama kali didukung sebagai Walikota Surakarta hingga Gubernur DKI Jakarta pada 2012 silam.
Jika dua dari keluarganya saat ini telah berhasil menjabat Walikota, dimana kedua-duanya didukung oleh PDIP, akan tetapi putra bungsu Jokowi bernama Kaesang Pangarep justru lebih memilih partai Gerindra sebagai saluran aspirasi politik dirinya yang sekaligus di dapuk menjadi calon Walikota Depok untuk dimenangkan oleh partai ini dalam konteks memenangkan pilwalkot kota Depok yang telah lama di cengkram oleh Partai Keadilan Sejahtera sejak pertama kalinya di menangkan oleh Nur Mahmudi dari masa jabatannya 2006 – 2016 yang duduk sebagai Walikota di kota ini dari unsur partai yang berazaskan syariah islam tersebut. Masyarakat Depok pun kini di pimpin oleh Dr. K. H. Mohammad Idris, Lc., MA. Atau dikenal dengan nama lain Idris Abdul Shomad sebagai estafet atas kelanjutan unsur kader PKS dalam mempertahankan dominasi mereka selaku Wali Kota Depok yang telah diembannya sejak 2016 lalu.
Masuknya Kaesang di kubu Gerindra tentu menjadi kecermatan berpikir bagi kalangan pengamat politik serta petinggi partai-partai besar yang saat ini ikut didalam koalisi pemerintahannya. Sebab tudingan strategi politik Jokowi yang cenderung mendorong kemenangan bagi kubu kelompok nasionalisme kebangsaan saat ini bukan tanpa alasan. Bahwa Indonesia memang berazaskan pada ideologi negaranya yang tidak boleh digeser kearah politik identitas yang dituding sebagai pemecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa ini. Bahkan Pancasila yang dianggap sebagai ideologi bangsa serta menjadi harga final agar tidak boleh ditoleransikan kepada pihak manapun untuk ditawar-tawar, apalagi dirubah dengan berbagai kepentingan apapun. Pada pemikiran inilah Jokowi menentukan sikapnya agar tidak ada yang bermain-main dari pola politik pragmatisme yang sering mendatangkan animo kemelut bagi bangsa ini ke depan.
Tentu masyarakat masih ingat betapa amandemen UUD45 yang terjadi sejak era Reformasi semasa Amin Rais sebagai Ketua MPR begitu mendatangkan switch opportunity cost yang tidak sedikit. Dimana biaya pergeseran kesempatan atas perubahan politik yang timbul dari akibat keinginan yang berlebihan pasca jatuhnya rezim Soeharto mendatangkan kejanggalan terhadap perubahan-perubahan lain yang begitu konstruktif dan sistematis dibalik terlaksananya amandemen UUD 45 tersebut, atau pun keperluan serta keinginan-keinginan rakyat yang lain yang sebenarnya bukan kemurnian dari kehendak dorongan situasi reformasi yang tak terbatas. Sehingga menjadi peluang bagi kelompok-kelompok yang datangnya dari pihak tertentu dengan tujuan merusak bangsa dan negara ini. Inilah sisi rawan yang semestinya dipahami masyarakat guna mengupayakan proteksi bagi ketahanan dan pengamanan politik, ekonomi, sosial serta hal-hal lain demi keutuhan NKRI sesungguhnya.
Bagaimana pun, gangguan terhadap sisi internal dan eksternal akan selalu datang serta silih berganti guna mempengaruhi situasi perpolitikan tanah air kita. Namun demikian, Segregasi sebagai upaya saling memisahkan diri atau saling menghindar di antara pihak-pihak yang bertentangan dalam rangka mengurangi ketegangan harus di kedepankan dalam konteks kerangka persatuan seutuhnya. Harapan masyarakat agar pemerintah melakukan transparansi dalam politik dan anggaran semestinya menjadi lokomotif yang ideal, apalagi ditengah era digitalisasi saat ini agar segalanya dapat diakses secara mudah dan sekaligus menjadi informasi yang update. Sebab bagaimana pun politik pemerintah adalah upaya bagi hadirnya sebuah kolektifitas perencanaan yang muncul dari keinginan mayoritas rakyat sehingga perlunya penerapan yang berlaku secara umum bagi kemajuan pembangunan demi tujuan kemakmuran bangsa ini, serta informasi anggaran yang transparan adalah agar bagaimana rakyat mengetahui terjadinya suatu proses pembiayaan yang efisien terhadap apa yang di kerjakan oleh pemerintah baik di tingkat pusat mau pun daerah.
Menyadari akan hal itu, adanya kritik dan saran baik terhadap hal-hal yang bersifat global mau pun pada detail pelaksanaannya, termasuk dari apa yang belum ter-agendakan tentu saja menjadi evaluasi serta kecermatan khusus bagi pemerintah. Apakah keadaan itu perlu direspon oleh karena sebuah kelalaian pemerintah dalam konsep aktualisasi program, atau pemaksaan kehendak dari segelintir kelompok yang mengatasnamakan rakyat semata sehingga perlu di abaikan. Sehingga, bila pemaksaan terhadap hal itu terjadi hingga menimbulkan keresahan serta benturan kepentingan yang merusak koridor keutuhan bangsa ini, dapat saja pemerintah melakukan upaya paksa atau hal-hal yang bersifat administrasi dan lain sebagainya, terhadap komponen tersebut untuk ditertibkan, dibekukan atau bahkan dibubarkan sekalipun. Inilah cara-cara yang adaptif dari sebuah proses tranparancy yang semestinya menjadi pijakan pemerintah ini ke depan. Termasuk membubarkan ormas-ormas yang dianggap merongrong kewibawaan bangsa dan negara ini tentunya.
Begitu banyak yang telah dibubarkan oleh pemerintah semasa Jokowi berkuasa. Termasuk perampasan aset-aset swasta serta pengambilalihan dari tangan-tangan pejabat era orde baru yang selama ini merugikan negara. Lantas, bagaimana kondisi Jokowi pasca berakhirnya masa kekuasaannya yang akan berakhir pada tahun 2024 mendatang. Adakah serangan balik terhadap dirinya akan terjadi, lantas sejauh mana proteksi negara untuk menjamin mengenai apa yang layak untuk dipertahankan serta berkelanjutan dari program-program apa yang menjadi sasaran kemajuan Indonesia khususnya posisi tanding negara ini dalam kancah internasional nantinya. Lantas bagaimana aktifitas dirinya pasca turun dari kekuasaan kursi Presiden, akankah ada pihak-pihak yang berpikir untuk mengamankan diri dan keluarganya dari situasi politik yang belum tentu kepastian keadaannya dari apa yang nanti akan terjadi.
Siapa yang akan menjawab hal ini, serta bagaimana menjawab persoalan itu secara komprehensif dan terukur. Disamping itu, harus dipahami bahwa Jokowi bukanlah kader senior atau pendiri partai PDIP yang saat ini menjadi tempatnya bernaung. Kedekatannya terhadap Megawati tentu tidak diragukan lagi. Namun akankah Megawati tetap menjabat sebagai ketua umum PDIP dari usianya yang sudah terlalu sepuh apalagi pergantian kekuasaan masih hampir 2 tahun ke depan. Apalagi Jokowi diketahui tidak terlalu dekat dengan tokoh-tokoh teras PDIP, termasuk jaringan daerahnya secara personal. Bagaimana pun, hal ini akan menjadi persoalan bahwa bergantung pada ketidakpastian menjadi tanda tanya besar bagi siapa saja, termasuk pribadi-pribadi diantara pembaca saat ini. Merangkul banyak pihak guna mengamankan agenda nasional sekaligus mengikatkan diri pada pergaulan yang sehat tentu saja menjadi landasan bagi Jokowi bahwa komponen apa saja tetap akan menjadi sahabat bagi kemajuan bangsa dan negara ini.
Terlepas dari kebersamaan sekarang hingga pergantian pasca dirinya turun dari kursi kekuasaannya. Oleh karenanya, tudingan atas politik dua kaki yang diperankannya bukanlah kata yang tepat dalam konteks merajut kebersamaan dari haluan politik besar untuk mendorong berbagai komponen agar memiliki pandangan yang sama sekaligus melakukannya secara bersama-sama pula, tanpa memandang siapa yang memimpin dan siapa yang dipimpin demi tercapainya tujuan kemakmuran bangsa Indonesia seutuhnya. Maka tak heran, jika di PDIP beliau tidak meragukan komitmen Megawati pada eksistensi NKRI ke depan, namun pada partai lain, tentu harus ada uluran tangan guna mengajak, merangkul, mendekatkan diri pada konteks yang tak terbatas, demi menghindari kecurigaan antara sesama warga bangsa dalam mencapai tujuan itu. Disinilah langkah politik Jokowi itu harus dilihat secara arif dan bijaksana.
Red.