
globalcybernews.com-Wilayah Sumatera Timur yang saat ini masuk dalam Provinsi Sumatera Utara pada era kolonial Belanda terbagi ke dalam 4 afdeeling:
- Afdeeling Langkat
- Afdeeling Deli en Serdang
- Afdeeling Simeloengoen en Karolanden
- Afdeeling Asahan
Keempat wilayah ini berada di Pantai Timur Sumatera, setelah takluk pada pemerintah Hindia Belanda dinamakan Keresidenan Pantai Timur (Residentie Sumatera’s Ooskust). Keresidenan ini berdiri tahun 1873 beribukota di Bengkalis. Melihat pesatnya pembangunan kebun-kebun (onderneming) di Deli, Simalungun, Asahan, dan sekitarnya. Pada tahun 1887 ibukota Keresidenan Pantai Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Labuhan Deli dan pada 1889 dipindahkan lagi ke Medan oleh Residen G.A. Scherer.
Kedatangan kuli asal Jawa ke Sumatera Timur di mulai sejak tahun 1880, pemerintah Tiongkok semakin mempersulit masuknya buruh Cina ke Deli. Sementara itu, pemerintah Inggris di India juga mengajukan berbagai persyaratan bagi pekerja Tamil yang hendak ke Deli. Namun, calo buruh kebun di Penang dan Singapura tetap memasok tenaga ke Deli, dengan tipuan hendak memperkerjakan mereka ke Johor. Oleh karena itu, tahun 1880 didatangkanlah buruh Jawa ke Deli, gelombang pertama 150 orang datang dari Bagelen. Kampung Bagelen sampai saat ini diabadikan di Kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.
Jumlah ini mengalir terus, sampai akhirnya mengalahkan jumlah buruh kebun asal Cina dan Tamil. Selain itu, upah para buruh Jawa lebih rendah daripada buruh Cina yang pada waktu itu juga merupakan kuli kontrak. Mereka (orang Cina) datang lebih dulu ke Sumatera Timur. Sehingga Pemerintah kolonial mendorong kedatangan perempuan dari Jawa dan mengizinkan majikan mengerahkan mereka sebagai tenaga kerja penuh. Pada tahun 1905, diantara 33.961 orang kuli kontrak Jawa terdapat 6.290 orang perempuan.
Istilah “koeli” berasal dari Bahasa Belanda “koelie” yang artinya orang yang bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya. Menjadi kuli kontrak adalah sebutan bagi mereka yang hidup sengsara di Jawa, kemudian mengikatkan diri pada perjanjian kerja yang akhirnya tetap membuat mereka sengsara di negeri seberang, yakni Sumatera. Perkelahian, pemberontakan sampai dengan pembunuhan, merupakan cerita sehari-hari di perkebunan.
Pada tahun 1900-an, liberalisasi ekonomi dipandang sebagai kunci menuju
kemakmuran di negeri jajahan Belanda. Di mana konsentrasi terbesar terletak
di Sumatera Timur, saat terjadi ledakan ekspansi kapital swasta di berbagai jenis
perkebunan seperti tembakau, teh, sawit, dan karet. Saat itulah, pertumbuhan kuli kontrak
dari Jawa mengalami ledakan. Ribuan kuli kontrak didatangkan guna menyulap
hutan belantara menjadi perkebunan.
Mereka tinggal di barak-barak perkebunan dengan kondisi mengenaskan, nyaris tanpa kemajuan selain sekedar bisa makan. Malah berbagai kesenian yang mereka bawa dari tanah leluhur porak-poranda. Di Sumatera Timur, kuli kontrak akhirnya menjadi suatu istilah yang menunjukkan betapa parahnya kehidupan manusia. Hubungan seks sangat
longgar, kawin cerai merupakan hal yang biasa. Setiap kali para kuli menerima gaji, pengusaha kolonial menggelar perhelatan besar, berbagai tarian-tarian digelar, alkohol, seks, dan judi dihalalkan. Para bandar dari kota datang untuk menguras isi kantong kuli kontrak. Hal ini memang dirancang untuk terus memiskinkan mereka, sehingga terus memperpanjang kontrak, karena gaji yang mereka terima tidak pernah tersimpan.
Pada tahun 1920 jumlah orang Jawa di Sumatera Timur mencapai 353.551 jiwa, melebihi orang Melayu yang tercatat 285.553 jiwa. Jumlah orang Melayu ini terhitung dari Langkat, Deli, Serdang, Bedagai, Padang, Batubara, Asahan hingga Labuhan Batu. Kemudian tahun 1926, kuli kontrak laki-laki Jawa berjumlah 142.000 jiwa, sedangkan buruh wanita Jawa 52.400 orang. Jumlah ini menurun sebab sebagian dari mereka mengalami kematian akibat kelaparan dan pekerjaan kasar. Sampai menjelang Perang Dunia II, 3/5 penduduk Sumatera Timur adalah orang Jawa.
Sedangkan jumlah orang Simalungun di Sumatera Timur menurut sensus (volkstelling) yang dilakukan pemerintah Belanda pada akhir tahun 1920, jumlah seluruh penduduk di Onderafdeeling Simalungun pada akhir November tahun 1920 mencapai 175.757 jiwa dengan komposisi sebagai berikut:
- Orang Simalungun = 69.852 jiwa
- Imigran Batak Toba = 26.531 jiwa
- Imigran lain = 23.653 jiwa
- Kuli Kontrak = 44.040 jiwa
- Timur Asing = 10.865 jiwa
– Eropa = 816 jiwa
- Jumlah = 175.757 jiwa
Dalam Sinalsal No.90/September 1938/Tahun VIII hlm. 28-29 saya kutip dari tulisan Pdt. Juandaha Raya Purba jumlah suku Simalungun di Onderafdeeling Simalungun tahun 1938 meningkat menjadi 87.696 jiwa, Pada tahun yang sama Pendeta Jaulung Wismar Saragih lalu menghitung orang Simalungun yang berada di Onderafdeeling Serdang, Padang, dan Bedagai maka didapati seluruhnya berjumlah 103.387 jiwa. Jumlah ini belum termasuk orang Simalungun yang berada di Deli, Batubara, Asahan, dan Labuhan Batu yang hidup di era tahun 1938.
- Onderafdeeling Simalungun = 87.696 jiwa
- Onderafdeeling Serdang = 10.016 jiwa
– Onderafdeeling Padang en Bedagai = 5.675 jiwa
- Jumlah = 103.387 jiwa orang Simalungun
Pada masa Orde Lama, kondisi para kuli ini tidak banyak berubah. Baru pada tahun 1980-an era Orde Baru, ketika ekonomi Indonesia mulai memasuki era industri dan jasa keadaan mulai berubah. Pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara mencapai delapan persen per tahun, telah mendorong peningkatan belanja masyarakat. Sektor jasa, perdagangan, dan industri melaju sesuai laju permintaan. Karenanya, para kuli kontrak dan keluarganya sebagian mulai bergerak ke kota, untuk bekerja sebagai buruh pabrik, pelayan toko, kuli bangunan, sampai penjual pecal dan juga pembantu rumah tangga.
Perkembangan tersebut menghasilkan banyak perubahan. Dalam tempo dua puluh tahun. Bedeng-bedeng (batas tanah) warisan generasi silam nyaris tak kelihatan lagi. Kebanyakan telah berubah menjadi rumah permanen atau semi permanen, berbarengan dengan itu, secara kultural mereka telah menjadi bagian
dari kota.
- Tahun 1905 = 33.961 jiwa kuli kontrak Jawa
- Tahun 1920 = 353.551 jiwa kuli kontrak Jawa
- Tahun 1926 = 194.400 jiwa kuli kontrak Jawa
- Tahun 2010 = 4.309.719 jiwa orang Jawa
- Tahun 1926 = 285.553 jiwa orang Melayu.
- Tahun 1938 = 103.387 jiwa orang Simalungun
Perkembangan suku Jawa dari tahun 1905, 1920, dan 1926. Pada sensus penduduk di Sumatera Utara tahun 2010 jumlah suku Jawa meningkat sangat tajam menjadi 4.309.719 jiwa.
Sumber:
- Simeloengoen karya AsIsten Residen Afdeeling Simeloengoen en Karolanden J. Tideman 1921.
- Sinalsal No. 90/September 1938/Tahun VIII hlm. 28-29.
- Situs Pemprov Sumatera Utara.
Red.