Saturday, July 27, 2024
spot_img
HomeOpini"Kolonialisme Era Soeharto dan Jokowi, Kembalinya Permainan Sirkus Amerika"
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

“Kolonialisme Era Soeharto dan Jokowi, Kembalinya Permainan Sirkus Amerika”

Penulis : Dahono Prasetyo.

globalcybernews.com  -Visi manifesto berdikari di bidang Politik, Ekonomi dan Kebudayaan yang dicetuskan Bung Karno menjadi ancaman besar bagi negara-negara kolonialis. Tri-sila Bung Karno yang tercantum Sosio-Nasionalis, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan merangkum prinsip dasar kemandirian bangsa tanpa melupakan nilai-nilai Ketuhanan.

Sosio Nasionalis yang diterjemahkan sebagai nasionalisme masyarakat -rasa kecintaan pada bangsa dan negara- untuk mencari keselamatan sesuai aturan-aturan yang telah disepakati bersama.

Sosio Nasionalis bukan nasionalis dalam hati, lamunan imajinasi, tetapi dilaksanakan secara aktif dalam sikap perbuatan.

Ketakutan kaum kolonialis penjajah akan bangkitnya rasa kebangsaan masyarakat mengharuskan mereka melakukan tindakan represif dengan berbagai cara.

Dalam catatan sejarah, selama 350 tahun kita dikuasai kolonialisme, menjadi sapi perah kepentingan ekonomi.

Rakyat cukup diberi makan, tapi tidak untuk pendidikan apalagi berpikir untuk melawan.

Hingga pada suatu masa kaum pribumi terpelajar yang mendapat kesempatan pendidikan berhasil menyulutkan keinginan merdeka seutuhnya tidak hanya sebatas diberi makan.

Soekarno, Hatta, Syahrir, Ki Hajar Dewantoro, Budi Utomo dan banyak tokoh intelektual lain menyadari bahwa bangsa ini butuh kemerdekaan yang harus diperjuangkan bersama atas dasar nasionalisme.

Pada era yang bersamaan, Perang Dunia II menjadi simpul perebutan negara jajahan oleh negara-negara maju pada masanya.

Sekutu memenangkan perang besar, namun tanpa diduga, Soekarno mencuri di tikungan dengan memproklamsikan kemerdekaan agar tidak kembali dikuasai oleh sekutu. Keinginan merdeka yang didasari nasionalisme dalam laku aktif, bukan imajinasi.

Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno menjadi ancaman terbesar negara-negara pemenang PD II yang kembali menguasai negara jajahannya.

Indonesia harus kembali dijadikan negara jajahan dalam wujud penguasaan politik, ekonomi dan kebudayaan.

Soekarno digulingkan dari dalam atas bantuan negara Sekutu yang kemudian membentuk pemerintahan boneka bernama Orde Baru bersama Soeharto.

Di era itulah kemandirian Poleksosbud dipangkas habis ditukar dengan hutang yang berujud investasi.

Selama 3 dasawarsa Amerika dan sekutu mengakui negara pemerintahan Soeharto, namun tidak dengan SDA yang harus dikelola oleh mereka.

Hingga geopolitik global berubah dengan cepat. Persaingan antar negara eropa dan sekutu mengharuskan Soeharto lengser.

Peran besar negara kolonialis yang mendesain krisis moneter berdampak sistemik pada rezim Orba. Indonesia yang sudah tidak mandiri sejak dikudeta 65, tak bisa berbuat banyak menghadapi kontraksi ekonomi dunia.

IMF menawarkan penyelamatan fiskal dengan barter amandemen UUD.

Beberapa pasal ekonomi, politik dan sosial yang dirumuskan era orde lama harus dirubah. Amandemen UUD tak bisa ditolak karena tingginya. ketergantungan kita pada Amerika dan sekutunya.

Dan dampak kekacauan UUD hasil amandemen terasa hingga detik ini, utamanya pasal 33 UUD 45 yang menjamin kekayaan SDA yang seharusnya untuk kemakmuran bangsa dirubah agar bisa dikapitalisasi.

Siapapun Presidennya, sepanjang tidak bisa mengembalikan pasal UUD 45 yang asli, maka bangsa ini akan tetap dikuras habis SDA secara konstitusional.

Sementara sumber daya manusianya yang terlanjur berbisnis selamanya akan tetap bermental kapitalis, pedagang dan rente.

Jokowi dan Prabowo yang kini sedang di puncak kekuasaan sedang mendesain bangsa ini kembali ke pangkuan kolonialis dan kapitalis.

Keduanya sama seperti Soeharto yang cenderung absolut “menguasai” masyarakat pada berbagai elemen.

Bansos dan aneka subsidi telah menidurkan kemandirian bangsa yang perlahan mulai siuman.

Dan makan siang gratis disambut suka cita mereka yang menolak sekolah gratis, menjadi siklus Neo Kolonialisme dalam wujud sosial ekonomi.

Sebagaimana seorang Julius Caesar, Raja Diktator Romawi pernah mengatakan : Jika ingin rakyat tenang berilah mereka roti dan sirkus.

Roti gratis sudah disajikan tinggal menunggu hiburan sirkusnya. Joget gemoy dan akrobat politik, itulah sirkus yang membuat rakyat tenang dan bertepuk tangan.

Jangan pernah berhenti bermain sirkus meskipun lelah, karena sedetik berhenti rakyat akan marah.

(***)

Red

Latest Posts