SOERABAIA
globalcybernews.com -Kapal “Mataram” yang kami tumpangi akan segera memasuki pangkalan laut di luar Surabaya; dari kejauhan nampak sesuatu yang mirip dengan Bahtera Nuh di tengah-tengah gundukan pasir.
Sang Kapten memberitahu kami bahwa itu adalah sebuah mercusuar dan laut menutupi pasir saat gelombang tinggi.
Kedatangan pilot di kapal memperingatkan kami bahwa perjalanan kami hampir berakhir, dan kami harus menyiapkan barang bawaan.
Kapal besar seperti yang kami tumpangi harus berlabuh dengan jarak tertentu dari tempat pendaratan dan berpindah ke perahu-perahu penduduk yang kecil yang beratap untuk melindungi dari panas dan hujan.
RRedTerdapat kerumunan kuli dan orang-orang Melayu yang di pintu keluar kapal dan berteriak-teriak dengan bahasa yang tidak kami mengerti, sehingga sangat sulit bagi kami untuk bisa didengar atau dimengerti. Beberapa penumpang berhasil mendapatkan sampan dan segera pergi.
Kami beruntung, ketika salah satu agen perusahaan Burns Philp yang berbahasa Inggris mendatangi kami dan menawari kami sebuah sampan untuk ke darat.
Kami membawa barang bawaan kami melewati Pabean tanpa ada satu masalah apa pun; Otoritas di Kantor Pabean Surabaya sangat sopan, dan mudah
Ketika kami keluar dari rumah Pabean, kami melihat sebuah kendaraan yang aneh, seperti bendi yang ditarik seekor kuda dan pada bagian atasnya terdapat semacam atap, akan tetapi tempat duduk dan bagian bawahnya hampir sejajar sehingga seseorang yang menumpang harus melipat kaki.
Dua penumpang dapat duduk di belakang dengan menyandarkan punggung mereka ke punggung pengemudi, oleh karena itulah diberi nama sados, yang berasal dari kata dos a dos.
Seluruh kursi bagian depan digunakan oleh pengemudi, untuk menjalankan kendaraan dengan cambuk.
Dermaga di Surabaya berada di tempat yang paling tidak aristokrat seperti pelabuhan-pelabuhan pada umumnya, dan kami harus berkendara cukup jauh sebelum mencapai wilayah perumahan Belanda, dimana hotel yang paling baik dapat ditemui, juga rumah-rumah yang bagus. Pertama-tama kami melewati kanal, kemudian rumah besar milik pelabuhan yang berjejer di tepi jalan, dan beberapa yang berukuran lebih kecil dan jelek. Perahu-perahu yang ada di kanal terlihat menarik dengan atap-atap kayu yang dicat dengan berbagai warna, layar-layar bergaris dan haluan yang berwarna terang; membuatnya terlihat cantik.
Pada belokan berikutnya kami berada di jalanan sempit yang dipenuhi dengan nuansa oriental, dengan toko-toko Cina dan Jawa atau pasar di kedua sisi. Jalan raya dipenuhi oleh kerumunan dari berbagai macam bangsa, dari Melayu, Jawa, Cina, Negro bahkan orang Arab dengan pakaian putih dan panjang; faktanya ada berbagai macam pria dan wanita dengan pakaian dari negara masing-masing, menciptakan adegan kaleidoskopik yang indah.
Dari jalanan sempit kami keluar menuju alun-alun, melihat sekilas pasar dan kemudian memasuki jalan raya lebar, Jalan Simpang, dinaungi di kedua sisi oleh pohon cemara. Di sini kami menemu beberapa toko yang bagus dan salah satu kafe terbaik di Hindai Belanda Timur – Restoran Grimm. Kami melanjutkan perjalanan kami dengan kecepatan tinggi, melewati pohonpohon yang indah dan beberapa bangunan publik, sampai pada akhirnya, setelah satu jam perjalanan, kami sampai di depan Hotel Simpang.[]
Red
