Monday, October 7, 2024
HomeSejarahTUMPU LAU (PERBURUAN KEPALA MANUSIA) OLEH 'SUKU RONGKONG'
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

TUMPU LAU (PERBURUAN KEPALA MANUSIA) OLEH ‘SUKU RONGKONG’

globalcybernewscom  -TUMPU LAU adalah Pemimpin dalam perburuan kepala manusia (Pengayauan) untuk digunakan sebagai riktual adat dalam pesta upacara adat Suku Rongkong. Dikisahkan ketika nenek moyang Suku Rongkong bernama Lalo-Lalo masih tinggal di Tana Marante (wilayah dataran rendah), saat itu perburuan yang dilakukan oleh Suku Rongkong berpusat di Pantilang untuk mendapatkan kepala manusia yang diperlukan. Pantilang ini terletak di jalan kira-kira terdapat batas antara daerah bahasa “Tae” dan daerah bahasa “Bae’e” (are’e, ae’e, iba). Oleh karena itu, Suku To Rongkong pernah menarik perhatian suku To Lewonu, yang termasuk dalam penutur Bare’e. Namun, setelah Lalo-Lao ini pindah ke Tiroan Rongkong (Wilayah Pararra), masyarakat Suku Rongkong melanjutkan perjalanan ke Mamuju dan pergi berburu kepala didaerah sekitar Tana Lotong. Kadang-kadang juga diperoleh di Riu di daerah Sa’dan (toraja), namun hal ini hanya terjadi ketika Suku Rongkong berselisih dengan penduduk Riu karena kedua suku tersebut mempunyai hubungan kekerabatan. Biasanya para Tumpu Lau berangkat dengan pasukan kecil yang terdiri dari sekitar sepuluh orang, pemimpinnya bernama TUMPU LAU “Ahli Perjalanan”. Dalam upaya tersebut, perhatian khusus diberikan pada kicauan seke, seekor burung yang disebut di Posose kere-kere, dari suara yang dihasilkannya. Jika burung mendengar kere-kere ini, berarti tidak ada keberuntungan dalam perburuan, tetapi jika ia berteriak seke-seke berarti ada harapan. selama satu kelompok sedang berburu, pasangan (istri) pasukan pemburu tidak diperkenankan tidur pada siang hari, tidak boleh mencuci pakaian, tidak boleh memukul dengan apa pun, tidak boleh menenun, tidak boleh mengendurkan rambut kepala, tidak boleh memanggang hewan, dan tidak boleh untuk duduk dengan kaki terentang (Pemali) larangan ini disebut MUSU. Api tidak boleh padam di rumah seseorang pemburu, alas tidur harus digulung terlebih dahulu pada pagi hari agar tidak ada yang menginjaknya. Tidak seorang pun diperbolehkan duduk di Paladan (teras rumah) atau didepan pintu rumah, tidak ada satupun isi dari rumah yang boleh diberikan kepada orang lain, bahkan api pun tidak boleh. Jika salah satu peraturan ini dilanggar, para pemburu akan menderita. Untuk mengetahui apakah salah satu dari mereka yang pergi itu terluka atau terbunuh, digunakan metode ramalan berikut: pecahan besar panci masak yang pecah dibakar, saat panci ini sudah cukup panas, sejumlah butir beras yang belum dicap diambil di sela-sela ujung jari. Saat butiran ini dijatuhkan ke pecahan, mereka berkata: ini untuk N.N. (menyebut nama sipemburu) Jika semua butir keluar dari pecahannya ketika pecah, ini bukti bahwa orang yang disebutkan namanya sehat. Kemudian percobaan diulangi dengan menyebutkan nama yang lain. Jika ada butiran yang tersisa di pecahan, orang yang namanya disebutkan akan terluka atau terbunuh namun hal ini jarang terjadi kepada pemburu.
Ketika pasukan kembali, kepala yang mereka bawa harus ditinggalkan di luar kampung, sebagian prajurit diutus masuk untuk menyampaikan kepada Tokoh dan masyarakat, dan masyarakat bersiap untuk menyambut kedatangan para pasukan Tumpu Lau, seekor anjing dan seekor babi disiapkan. Hewan-hewan ini kemudian disembelih untuk disajikan dan dimakan. Setelah itu potongan kepala manusia dibawa ke dalam kampung dan diletakkan di Laso Batu. Ini ditutupi dengan nasi juga bersentuhan dengan kepala, kemudian kepalanya digantung di sebuah rumah kecil yang didirikan di dekat Laso Batu. Para pemburu menerima upah dua ekor
kerbau yang satu diperuntukkan bagi pemimpin dan satu lagi diperuntukkan bagi pengikutnya.
Dan saat itu juga dilakukan acara Ma’belo, Laso batu dihias dengan daun jagung muda, sebuah drum gendang digantung di sana, yang ditabuh pada waktu yang berbeda dalam sehari. Pada saat itu sejumlah besar orang bersukacita dengan hewan yang akan disembelih. Di kampung Lena setiap keluarga menyumbangkan seekor kerbau, tiga ekor babi, dan seekor anjing untuk pesta ini.
Kepala manusia digantung di gubuk kecil sampai kering, setelah itu disimpan di Alang Pare (lumbung padi). Kulit kepala yang sebelumnya sudah dikupas, ditaburi jeruk nipis lalu dikeringkan, kemudian dipotong-potong menjadi kecil dan dibagi ke masyarakat, potongan kulit kepala manusia juga disimpan di dalam tas sirihnya. Potongan lainnya ditempelkan pada enam helai daun Arenga muda (disebut balaba), dan diikatkan pada tiang bambu, kemudian diikatkan pada ujung punggung bukit, sedemikian rupa hingga potongan kulit kepala berada di luar atap di tempat terbuka. Semua itu dianggap bermanfaat: (agar tidak sakit dan memungkinkan tanaman tumbuh subur).
Ma’belo yang berlangsung selama tiga hari. Tarian dengan nyanyian yang disebut Sumengo, dibawakan di rumah adat (Banua Katongkoan) dan diulang-ulang di rumah bersamaan. Ada juga tarian di halaman dekat Laso Batu dan sekitarnya dihias dengan daun Arenga muda. Saat pemerintah Hindia Belanda, tidak lagi memperbolehkan perburuan kepala manusia, upacara adat dilakukan dengan kepala yang sudah ada sebelumnya.

Red

Latest Posts