globalcybernews.com -Abu Sufyan marah
“Itu hanya semangat jahiliyah. Tetapi sekarang, setelah kebenaran itu bagiku sudah jelas, demi Allah, aku mengikut agama Islam!”, kata Khalid bin Walid.
Abu Sufyan kemudian memanggil Khalid, “Benarkah apa yang kudengar tentang engkau?”
Ketika Khalid membenarkan, Abu Sufyan memerah wajahnya,
“Demi Latta dan Uzza, kalau itu benar, niscaya engkaulah yang akan kuhadapi sebelum Muhammad!”
“Dan memang itulah yang benar dan apa pun yang akan terjadi,”
Kemarahan Abu Sufyan meledak. Ia maju hendak menyerang Khalid. Namun lkrimah menahannya seraya berkata, “Sabar Abu Sufyan, seperti engkau, aku juga khawatir kelak akan mengatakan sesuatu seperti kata-kata Khalid itu dan ikut ke dalam agamanya. Kamu akan membunuh Khalid karena pandangan hidupnya itu, padahal mungkin kelak seluruh Quraisy sependapat dengan dia. Sungguh aku khawatir jangan-jangan sebelum bertemu Muhammad lagi tahun depan, seluruh Mekkah sudah menjadi pengikutnya!”
Sejak menjadi seorang muslim, sejarah hampir tidak pernah mencatat kekalahan pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Ketika menghadapi 240.000 pasukan Romawi, pasukan muslim yang jauh lebih kecil jumlahnya menjadi ragu.
Khalifah Abu Bakar berkata, “Demi Allah, semua kekhawatiran keraguan mereka akan hilang dengan kedatangan Khalid!”
Perang Mut’ah
Khalid bin Walid segera pergi ke Madinah dan menggabungkan diri dengan kaum muslimin. Tidak lama kemudian menyusul pula dua orang pembesar Quraisy Amru bin Ash dan Utsman bin Tolkhah, mereka diikuti juga oleh banyak penduduk Mekah.
Kemenangan Rasulullah ﷺ terhadap Mekah tampaknya tinggal menunggu waktu. Namun sebelum itu terjadi, 15 orang yang dikirim ke perbatasan Syam dibunuh oleh pihak Romawi.
Maka pada bulan Jumadil Awal tahun ke-8 Hijriyah atau 629 masehi Rasulullah ﷺ memanggil tiga ribu prajurit pilihan. Beliau menyerahkan tampuk kepemimpinan pasukan kepada Zaid bin Haritsah sambil bersabda, “Kalau Zaid gugur maka Ja’far bin Abu Tholib yang memegang tampuk kepemimpinan, dan jika Ja’far gugur maka Abdullah bin Rawahah yang memegang tampuk kepemimpinan.
Pasukan berangkat diiringi doa dan ucapan selamat dari masyarakat ramai. Rasulullah ﷺ turut mengantar sampai ke luar kota dan berpesan,
“Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta dan anak-anak. Jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pepohonan. Allah menyertai dan melindungi kalian. Semoga kalian kembali dengan selamat.”
Zaid bin Haritsah merencanakan untuk menyergap musuh dengan tiba-tiba. Namun ketika tiba di Ma’an mereka amat terkejut.
Syuhrabil gubernur Heraklius telah menghimpun pasukan yang terdiri atas orang-orang Yunani dan orang-orang Arab. Heraklius sendiri mengerahkan pasukan Romawi untuk membantu pasukan lawan yang tengah menanti pasukan muslimin yang berjumlah 200.000 orang!”
Para pemimpin tentara muslimin agak ragu. Apakah mereka harus maju atau meminta bala bantuan dari Madinah. Namun, Abdullah bin Rawahah yang terkenal sebagai seorang ksatria dan pemberani berkata, “Saudara-saudara apa yang tidak kita sukai justru itu yang kita cari sekarang ini yaitu mati syahid.
Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan juga bukan karena jumlah orang yang banyak, melainkan kita memerangi mereka hanyalah karena agama, juga yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini menang atau mati syahid.”
Kata-kata Abdullah bin Rawahah ini melambungkan semangat pasukan.
“Ibnu Rawahah memang benar!”
Abdullah bin Rawahah ini adalah seorang penulis dan penyair yang untaian syair-syairnya meluncur dari lidah yang kuat dan indah didengar. Semenjak memeluk Islam dibuktikannya kemampuan bersyair itu untuk Islam.
Rasulullah ﷺ menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering beliau minta Abdullah untuk lebih tekun lagi membuat syair.
Gugurnya Tiga Pahlawan
Di desa Masyarief kedua pasukan bertemu. Namun dengan cerdik, pasukan muslim membelok ke Mu’tah. Tempat itu dianggap jauh lebih baik sebagai tempat bertahan. Di mu’tah inilah terjadi pertempuran dahsyat yang jarang disaksikan sejarah karena jumlah kedua pasukan berbeda begitu jauh.
Zaid bin Haritsah bertempur dengan gagah berani. Saat itu hampir tidak ada satu pahlawan pun yang bisa menyaingi kehebatannya. Ia bertempur dan bertempur sampai akhirnya sepucuk tombak menghantamnya dengan telak. Zaid bin Haritsah jatuh ke tanah dan gugur sebagai syuhada.
Sesuai dengan pesan Rasulullah ﷺ, Ja’far bin Abu Tholib mengambil bendera Zaid dan maju memimpin pasukan. Usia Kakak Ali bin Abi Tholib ini baru 33 tahun. Ja’far benar-benar pemuda tampan cerdas dan berani. Ia maju dan bertempur dengan semangat menyala bagai api yang mengamuk. Ketika tangan kanannya ditebas hingga putus Ja’far meraih bendera dengan tangan kiri namun tidak lama kemudian tangan kiri ini juga lepas karena sabetan pedang.
Dengan kekuatan yang tersisa Ja’far mempertahankan bendera dengan kedua pangkal lengannya sampai seorang prajurit Romawi membelah tubuh Ja’far. Pemuda tampan ini gugur. Ibnu Umar yang saat itu bertempur di sampingnya mengatakan,
“Kuhitung ada 50 luka di tubuhnya, namun tidak satu pun yang terdapat di bagian punggung.”
Kedua lengan Ja’far yang putus diganti Allah dengan sepasang sayap sehingga Ja’far dapat terbang kemana pun ia mau. Karena itulah Ja’far dijuluki Ath Thayar atau penerbang atau Dzuljanahain atau orang yang memiliki dua sayap.
Kini giliran Abdullah bin Rawahah yang menjadi panglima. Ia yang mengibarkan bendera, tetapi hatinya ragu sejenak sambil berkata,“Oh diriku! Mengapa engkau masih ragu atau terpaksa? Jika pertempuran telah dimulai dan genderang bertalu-talu, mengapa kulihat engkau masih membenci surga?”
Kemudian Abdullah bin Rawahah maju dengan gagah sampai akhirnya juga gugur.
آللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيّدنَآ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيّدنَآ مُحَمَّد
Allaahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammad.
Bersambung….
Red