globalcybernews.com -Impor beras dari masa ke masa sejak proklamasi kemerdekaan hingga masa akhir Soekarno berkuasa (1945-1966), mulai dilakukan pada tahun 1950 sebanyak 344.000 ton dan 800.000 ton pada tahun 1959. Hasil penelusuran Atlantika Institut Nusantara pada masa awal kemerdekaan itu pemerintahan Orde Lama sudah membuat program peningkatan produksi padi yang kemudian dilanjutkan pada tahun 1947 hingga baru terlaksana pada tahun 1950 lewat pendirian Badan Pendidikan 23 Masyarakat Desa (BPMD) yang bertugas sebagai badan penyuluhan pertanian. Akibat dana yang seret, program ini jadi mangkrak. Konsekuensinya produksi padi petani pun merosot, tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Harga beras pun meroket.
Krisis pangan ketika itu pun mulai melanda, hingga pemerintah mulai mengandalkan beras impor sampai tahun 1964 yang disebut oleh rakyat masa paceklik. Pengalaman rakyat pun ketika itu tidak cuma menikmati nasi jagung — seperti nyanyian yang populer bagi orang yang dipenjara — tetapi juga tak sedikit yang terpaksa makan nasi oyek dan bulgur yang konon di datangkan dari Australia.
Semasa Presiden Soeharto, kebijakan pertanian diarahkan pada mekanisme pasar bebas yang kondang dengan sebutan revolusi hijau sebagai gerakan pembangunan yang meluas dengan asumsi pertumbuhan ekonomi.
Kesadaran pemerintahan Soeharto betapa pentingnya beras sebagai bahan pangan pokok rakyat Indonesia, maka pada akhir tahun 1985-1986 Indonesia mampu terbebas dari impor beras. Bahkan saat swasembada beras ini terjadi, Indonesia bisa melakukan ekspor beras sebanyak 106 ribu ton pada tahun 1985 dan 231 ribu ton pada tahun 1986. Lalu puncak kejayaan impor beras yang dilakukan Indonesia bisa dilakukan pada tahun 1995 sebesar 1,3 juta ton dan 2 juta ton pada tahun 1996.
Lalu pada masa Presiden BJ. Habibie (1998-1999) memang belum banyak yang dapat dilakukan akibat usaha pemulihan krisis ekonomi yang gawat. Karena itu impor beras terpaksa dilakukan sebanyak 3 juta ton dari berbagai negara. Rekor jumlah impor sebanyak itu terus bertahan sampai tahun 2000 dengan jumlah impor sebesar 1,35 juta ton.
Kemudian, semasa pemerintahan Gus Dur, pemerintah pun belum bisa bebas dari beras impor hingga pergantian Presiden yang dijabat oleh Megawati Soekarnoputri (2001-2004) semakin tergantung pada impor beras. Lalu pada tahun 2002 pemerintahan Megawati Soekarnoputri melipatgandakan jumlah impor beras menjadi 1.805.379 ton dengan nilai US$ 342,5 juta, seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia.
Dari data tahun 2003, impor beras Indonesia agak sedikit menurun jumlahnya, 1.428.505 ton atau senilai US$ 291,4 juta. Hingga pada masa akhir jabatannya diganti oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, jumlah impor beras Indonesia kembali menurun menjadi sebesar 236.866 ton atau senilai US$ 61,7 juta.
Jadi impor beras pada semasa pemerintahan SBY, tercatat impor beras paling sedikit, hanya sebanyak 189.626 ton atau senilai US$ 51,4 juta. Pada tahun 2006 impor beras kembali naik jumlahnya sebesar 438.108 ton atau senilai US$ 132.6 juta. Lonjakan impor beras terjadi tahun 2007 sebesar 1.406.847 ton atau senilai US$ 467,7 juta. Pada tahun 2008 impor beras hanya sebesar 289.689 ton atau setara US$ 124,1 juta. Lalu pada tahun 2009 sebanyak 250.473 ton setara dengan US$ 108,2 juta.
Saat tahun pertama pada periode kedua Presiden SBY tahun 2010 mengimpor beras 687.581 ton atau senilai US$ 360,7 juta. Pada tahun 2011, impor beras Indonesia menjadi 2.750.476 ton atau setara US$ 1,5 milyar. Jumlah impor beras Indonesia pada tahun 2012. ini dicatat oleh CNBC Indonesia merupakan yang terbanyak dan termahal nilainya.
Impor beras Indonesia pada tahun 2012 bisa sedikit menurun menjadi 1.810.372 ton atau senilai US$ 945,6 juta. Dan pada tahun 2013 impor beras Indonesia kembali turun jumlahnya cuma sebesar 472.664 ton atau senilai US$ 246 juta. Hingga pada masa akhir Presiden SBY tahun 2014 impor beras Indonesia bisa dipatok 844.163 ton atau senilai US$ 388,1 juta.
Pada masa awal Presiden Joko Widodo , impor beras Indonesia sebanyak 861.601 ton setara US$ 351,6 juta. Tahun 2016 impor beras Indonesia menjadi 1.283.178 ton setara US$ 531,8 juta. Lalu tahun 2017 impor beras Indonesia 305.274 ton setara US$ 143,6 juta. Kemudian tahun 2018 sejumlah 2.253.824 ton setara US$ 1.037 juta. Hingga tahun 2019 impor beras Indonesia sebanyak 444.508 ton setara US$ 184,2 juta.
Catatan Badan Pusat Statistik, impor beras Indonesia periode Januari-Oktober 2021 sebanyak 301,700 ton. Dan hingga pada akhir tahun 2022 sebanyak 1,2 juta ton. Informasi yang disampaikan Menteri Perdagangan jumlah impor beras 500 ton seperti yang direncanakan sampai Februari 2023. Reaksi Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo ketika itu menegaskan produk beras dari Indonesia sendiri masih cukup. Lantas mengapa harus impor, selagi petani masih mampu menghasilkan beras sendiri mengapa harus impor, tandas semasa diakhir jabatannya, pada 16 Desember 2022 saat menjadi Nara sumber di INDEF Jakarta.
Kecuali itu data BPS mengungkapkan total produksi padi Indonesia tahun 2021 mencapai 54,42 juta ton dalam bentuk gabah kering giling (GKG), prediksi pada tahun 2022 bisa mencapai 55,36 juta ton GKG atau setara dengan beras 31.36 juta ton pada tahun 2021 dan 31,90 juta ton pada tahun 2022.
Lalu mengapa kegandrungan untuk mengimpor beras menjadi tuman dilakukan ? Lantas terkesan enggan untuk memberi fasilitas kemudahan bagi petani Indonesia sendiri sehingga kedaulatan dan ketahan pangan bangsa Indonesia bisa berjaya dan mandiri ?
Agaknya, memang beragam misteri yang perlu dibereskan, setidaknya untuk memberantas celah dan peluang korupsi dari selisih harga beras yang dibuat mulur mungkret itu harus dihentikan. Belum lagi dalam mekanisme bagi-bagi sembako yang juga terkesan bermuatan politik menjelang Pemilihan Umum 2024. Sebab bahan makanan pokok yang terus tergantung pada Semangat impor, jelas akan semakin melemahkan posisi ketahanan pangan yang tak mungkin mampu membuat ketahan pangan yang kuat.
Banten, 27 Juli 2024
Red