globalcybernews.com -Sejumlah aktivis dari Greenpeace Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Jatam (Jaringan Aktivis Tambang) menggelar aksi saat peringatan HUT RI ke-79 di Penajam, Kalimantan Timur, pada 17 Agustus 2024. Buntutnya sejumlah wartawan dari berbagai media dan aktivis lainnya dihadang oleh aparat saat hendak meliput aksi yang membentangkan spanduk bertulisan yang menyolok “Indonesia Not For Sale” itu di Jembatan Pulau Balang, Penajam.
Rombongan jurnalis dan aktivis yang menggunakan kapal itu tiba di lokasi Pantai Lango, pulau Kwangan pukul 07.50 WITA, ungkap rilis pers yang terlambat diterima, baru redaksi pada 20 Agustus 2024.
Di lokasi unjuk rasa ini telah berkumpul warga masyarakat setempat yang juga merasa kecewa terhadap keberadaan serta kegiatan di IKN (Ibu Kota Nusantara) di Penajam, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Agenda aksinya pun dirangkai dengan arak-arakan 14 kapal menuju Jembatan Pulau Balang dengan beragam spanduk bertulis kapital besar yang dibentangkan di masing-masing kapal kesemuanya mengkritik keras pemerintah.
Puncaknya acara aksi pada pukul 12.05 WITA menanti saat pembentangan spanduk raksasa berwarna merah (marah) tak kurang dari 50 meter di atas jembatan Pulau Balang. Saat itulah Polairud Penajam Paser Utara datang menghalau pengunjuk rasa. Bersama dua pasukan perahu karet dari Sektor Penajam juga datang ikut membubarkan aksi unjuk rasa itu.
Setelah acara aksi selesai, para jurnalis dan aktivis lingkungan hendak menuju Maridan, arah balik dari Balikpapan. Para jurnalis dan aktivis itu lantas dihadang oleh pihak aparat sekitar pukul 13.00 WITA kemudian digelandang ke daratan.
Ketegangan pun terjadi karena jurnalis dan aktivis menolak untuk turun dari kapal dan tak mau naik ke daratan. Karena terus dipaksa, jurnalis dan sejumlah aktivis itu mengikuti kehendak pihak keamanan untuk menghindar tekanan fisik yang bisa terjadi bila tidak kehendak pihak aparat itu tidak merela ikuti.
Para jurnalis dan aktivis yang meliput acara aksi tersebut langsung digiring menuju gedung PUPR yang berada tidak jauh dari lokasi jembatan Pulau Balang. Sejumlah jurnalis yang telah diminta dan didata identitas mereka masing-masing,
memang terus diperbolehkan pulang, tatapi sejumlah aktivis masih harus berurusan dengan pihak ke Kepolisian Penajam, Paser Utara untuk diminta keterangan lebih jauh. Begitulah jika informasi dan komunikasi serta publikasi tersumbat, berita yang diperoleh pun jadi terlambat setelah tiga hari berlalu dari waktu kejadian. Lalu bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu yang lebih gawat, bisa jadi banyak telah hilang, hingga nyawa yang akan menjadi taruhan dari sejumlah orang.
Setidaknya kecaman AJI ( Aliansi Jurnalis Independen) dari Jakarta pun, jadi terkesan setengah basi karena baru dirilis pada secara meluas pada 20 Agustus 2024, setelah tiga hari kejadian itu berlalu. Padahal, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers jelas memberi jaminan bagi jurnalis menjalankan tugas dan fungsi profesinya dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tersebut. Realitasnya aparat tetap melakukan intimidasi dan pembatasan atas fungsi dan tugas mulia para jurnalis Indonesia untuk menginformasikan, mempublikasikan dan mengkomunikasikan hal-hal yang perlu diketahui dan dipahami untuk kemudian disikapi oleh siapa saja orang yang berkepentingan dengan kejadian tersebut.
Jadi, pemahaman terhadap makna kemerdekaan pers, bahwa jurnalis itu memiliki hak untuk mencari, mendapatkan dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, belum dipahami oleh banyak orang utamanya aparat penegak hukum. Setidaknya, itulah yang terkesan selama ini pada kebebasan pers di Indonesia yang diklaim terbilang negeri demokratis di dunia.
Banten, 21 Agustus 2024
Red