Monday, October 7, 2024
HomeOpiniJacob Ereste :Kisah Amangkurat I dan Louis XVI serta Ratu Marie Antoinette...
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Jacob Ereste :Kisah Amangkurat I dan Louis XVI serta Ratu Marie Antoinette Yang Sangat Tragis

globalcybernews.com  -Sejarah pahit masa silam di jaman Raja Amangkurat I ditandai dengan nafsu birahinya sendiri untuk memindahkan pusat kerajaan dari Karta ke Plered yang mulai dilanda beragam bencana. Ia buat tembok yang angkuh untuk memagari kekuasaannya agar tak jemah oleh seorang pun. Sebagai Raja Mataram penerus Sultan Agung ia menguasai banyak negeri yang dia posisikan menjadi sumber pemerasan seperti yang terjadi pada perusahaan tambang yang menguras seluruh isi perut bumi yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat.

Tragika yang dialami Raja Amangkurat I, bukan hanya negerinya hancur lebur berantakan, tapi dia pun melarikan untuk tidak bertanggung jawab atas kebijakan serta perbuatannya yang degil dan culas. Kisah sejarah modern Indonesia yang ditulis M.C. Ricklefs, jelas menyebutkan tabiat Amangkurat I sungguh sangat buruk. Dia membantai sejumlah tokoh utamanya para ulama dengan memindahkan keraton dengan bentuk bangunan yang lebih megah dengan menguras duit rakyat.

Sejak itulah sifat buruk Amangkurat I semakin menjadi-jadi dan kesewenangan dilakukannya secara terbuka, tiada malu apalagi hendak mengindahkan etika, moral dan akhlak kemuliaan manusia yang dimilikinya.

Kesaksian teman-teman Sultan Agung yang masih hidup ketika itu, Amangkurat I membunuh banyak tokoh dan pemuka agama ketika itu dengan alasan untuk memberi jalan bagi generasi muda berperan dalam pemerintahannya. Termasuk ayah mertuanya Pangeran Pekik dari Surabaya. Ia tidak membuka konsensus dengan para tokoh dan pemuka agama.

Sikap pongah dan sombong Amangkurat I inilah yang memicu perlawanan rakyat yang tidak lagi mampu menahan rasa sabar yang telah menembus ubun-ubun kepala. Sebab semua cara yang baik dan santun sudah tidak punya arti apa-apa baginya, meski aksi dan unjuk rasa sudah dilakukan. Sehingga perlawan rakyat menemukan aliansi strategis dan teknis dengan Pangeran Tarunajaya, dari Madura yang gagah dan berani menumpas kezaliman. Aliansi perlawanan rakyat pun semakin kuat dengan peran serta orang-orang Makassar yang melihat penjajahan Raja Jawa terhadap orang Jawa yang tidak pantas dan tidak patut dilakukan Amangkurat I.

Jadi aliansi — kebersamaan warga masyarakat Mataram (Jawa), Madura dan Makassar — memberi pelajaran yang baik dan bagus, bila sesuatu dapat dilakukan secara bersama, maka penguasa yang paling hebat pun dapat ditumbangkan. Hingga akhirnya, kemunafikan Amangkurat I, tiada malu-malu meminta bantuan kepada bangsa asing sebagai penjajah di negeri nenek moyangnya sendiri.

Toh, pada akhirnya Amangkurat I terus lari terbirit-birit hingga pada bulan Juni 1677 ia wafat dalam pelarian yang melelahkan itu dan dimakamkan di Tegal Wangi, kota Tegal, Jawa Tengah dengan kesedihan dan nestapa yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kisah tragika Raja Louis XVI baru saja terjadi seabad kemudian tak pernah belajar dari peristiwa tragis yang sudah dialami Raja Jawa sebelumnya. Dia harus mengakhiri riwayat kezalimannya lebih tragis dan mengerikan, meski Louis XVI sempat menyanggah pada saat menyampaikan pesan terakhirnya dihadapan algojo yang sudah siap untuk memenggal lehernya. Belum genap setahun dari pemenggalan kepala Louis XVI, pada 16 Oktober 1793 giliran sang permaisuri Ratu Marie Antoinette dipancung juga dengan cara yang sama atas perbuatan dan keculasannya.

“Aku mati dalam keadaan tak bersalah atas kesalahan yang dituduhkan padaku. Aku memaafkan mereka yang telah menyebabkan kematian ku; dan berdo’a pada Tuhan semoga darah yang akan kalian tumpahkan tak akan menodai Perancis”, kata Louis XVI saat menghadapi ajalnya. Lantas, mungkinkah pesan serupa itu akan diucapkan oleh raja baru di Nusantara yang mengklaim memiliki hak atas nama raja karena telah membangun dinasti kekuasaan yang kuat ?

Jakarta, 26 Agustus 2024

Red

Latest Posts