globalcybernews.com -Menyetarakan Joko Widodo dengan Raja Jawa sungguh sangat gegabah. Setidaknya akan menjatuhkan Joko Widodo sendiri hingga membuat antipati masyarakat non Jawa serta bagi warga masyarakat Jawa sendiri jadi merasa sangat direndahkan. Akibat dari persepsi sosok Raja Jawa yang disetarakan dengan orang yang tidak ada titisan darah kebangsawanan. Sementara perilaku Joko Widodo sendiri tengah menjadi olok-olok banyak orang mulai dari masyarakat kampus — mahasiswa dan guru besar — hingga kaum buruh dan seniman seperti yang hadir dan mengungkapkan isi hatinya pada aksi besar berbagai elemen di Gedung DPR RI Senayan hingga merobohkan pintu pagar gedung parlemen pada 22 Agustus 2024 yang dianggap tidak lagi mewakili kepentingan rakyat.
Seloroh yang mengarah pada sosok Joko Widodo sebagai Raja Jawa yang tidak dianggap enteng itu justru merendahkan marwah Raja Jawa yang sesungguhnya mempunyai sikap dan luhur, ambek paramarta, semeleh, rendah hati dan tidak hendak menyakiti dan menzalimi rakyatnya. Gelar Raja Jawa pun mengisyaratkan sikap ugahari, melindungi dan menjaga tatanan masyarakat yang harmoni dan guyub, tidak membiarkan adanya kegaduhan, apalagi hasrat ingin mengadu domba sesama anak bangsa melalui perbedaan suku, agama maupun latar belakang lain yang beragam seperti yang diikat oleh kebhinekaan yang tunggal dari perbedaan yang tidak perlu dipertentangkan.
Pernyataan Bahlil Lahadala secara tidak langsung sangat mengesankan ditujukan kepada Joko Widodo yang dimaksud Raja Jawa itu, justru telah memposisikan Joko Widodo jadi menuai kebencian dari warga masyarakat non Jawa, ujar Sri Eko Sriyanto Galgendu sebagai putra Solo yang relatif dekat dengan Joko Widodo dan keluarganya. Sedangkan bagi warga masyarakat Jawa sendiri, pernyataan yang sangat sembrono dilontarkan itu untuk Presiden Joko Widodo sebagai sosok Raja Jawa, sesungguhnya, sangat tidak tepat. Karena sikap dan perilaku Raja Jawa yang sesungguhnya selalu merendahkan diri, dan tidak pernah akan merendahkan orang lain, apalagi untuk rakyat yang dicintainya.
Anggapan terhadap sosok Joko Widodo sebagai Raja Jawa telah mengundang silang pendapat banyak orang bahwa pernyataan seperti itu mempunyai tendensi untuk membenturkan masyarakat Jawa dengan Joko Widodo yang dianggap sudah melampaui batas. Karena itu, warga masyarakat Jawa umumnya yang ada di Jakarta merasa perlu untuk menahan diri, sebab menganggap ada masalah krusial politik yang meregang menjelang Pilkada 2024. Karena itu, warga masyarakat Jawa di Jakarta imbuh Joyo Yudhantono masih cukup bersabar untuk menunggu ending akhir dari perseteruan yang semakin meluas akibat kepanikan yang tidak lagi mampu dikendalikan untuk membangun dinasty kekuasaan.
Jadi, kondisi Indonesia hari ini merupakan imbas dari pertarungan politik yang panikan untuk memenangkan semua skenario penataan dinasty seperti yang diungkapkan Bahlil Lahadala untuk lebih meyakinkan adanya sosok Raja Jawa baru dalam negara yang sudah final disepakati menganut sistem dan model negara republik. Artinya, pernyataan itu pun mengisyaratkan tata pemerintahan sudah sedemikian rapuh sekaligus meyakinkan bahwa negeri ini sedang diambang kehancuran yang sangat gawat, imbuh Joyo Judhantoro pada diskusi rutin setiap Senin (26 Agustus 2024) di Sekretariat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) Jl. Ir. H. Juanda No. 4 A, Jakarta Pusat.
Lalu sungguhkah pernyataan Bahlil Lahadala itu sekedar retorik jebakan politik belaka untuk menambah jumlah musuh Joko Widodo lebih banyak pada penghujung kekuasaannya yang semakin rentan dan memprihatinkan ?
Pertanyaan serupa ini menurut aktivis Joyo Yudhantoro, merupakan bagian dari sejumlah spekulasi publik yang bisa muncul dalam setiap benak orang yang kritis dan merasa prihatin terhadap kondisi bangsa dan negara yang sedang diambang kehancuran. Karena itu, Sri Eko Sriyanto Galgendu berharap, Presiden terpilih Jendral Prabowo Subianto dapat mengatasi ancaman kerusakan ini secepat mungkin. Setidaknya, akan menjadi prioritas pertama setelah resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia berikutnya.
Itulah sejumlah spekulasi dari berbagai pendapat warga masyarakat yang serius menilik kegaduhan yang semakin meruncing ketika jalan pintas untuk meloloskan seorang pangeran justru membuat kegaduhan semakin meluas seperti aksi dan unjuk rasa yang dilakukan secara bersama dan kompak oleh beragam elemen masyarakat. Terutama seperti yang dimotori oleh mahasiswa dan perhimpunan guru besar dari berbagai universitas yang ada di Indonesia. Minimal, pernyataan Bahlil Lahadala tentang Raja Jawa semakin membuat keruh dan kegaduhan menjelang Pilkada serentak tahun 2024.
Pecenongan, 26 Agustus 2024
Red