globalcybernews.com -I La Galigo Menolak Lupa Spiritualitas Sebagai Akar Budaya Bangsa”, menjadi topik Seminar terbuka di Perpustakaan Nasional Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta, 23 September 2024. I La Galigo merupakan kitab upaya adat yang sakral bagi suku bangsa Bugis karena memiliki muatan nilai spiritual yang sakral.
Tari Padupa sebagai penghormatan dalam menyambut par tamu undangan menjadi suguhan yang diperankan tiga putri berpakaian khas Bugis yang ditingkahi alat musik tradisional seruling dan gendang yang sangat cukup ritmis dengan nada khas yang jarang terdengar.
Rais Rahman, mewakili masyarakat penghubungan Sulawesi Selatan, mengungkapkan program kegiatan budaya ini sangat erat kaitannya dengan usaha perluasan dari program Badan Perwakilan Masyarakat Sulawesi Selatan yang ada di Jakarta, ungkapnya. Selaku Kepala Badan Penghubung Masyarakat Sulawesi Selatan, Rais Rahman menyambut acara seminar ini dengan penuh suka cita, karena memang selaras dengan apa yang ingin dilakukan oleh lembaga yang dipimpinnya.
Ketua KKSS (Keluarga Kerukunan Sulawesi Selatan) Syamsul Zakaria mengakui tidak banyak orang yang tahu bahwa I La Galigo sebagai kitab pandangan hidup bagi suku bangsa Bugis. Kitab I La Galigo jauh lebih luas jangkauannya serta sangat tebal dibanding kitab Mahabarata. Sehingga kitab I La Galigo dapat menjadi tuntunan bagi seluruh warga bangsa yang ada di dunia. Karena naskah I La Galigo memuat asal muasal kehidupan manusia serta meliputi seluruh tata cara kehidupan yang komplit dan luas jangkauannya.
I La Galigo berasal dari tanah Bugis, imbuh Erick Sutisna memuat cara hidup yang sangat lengkap dan rinci meliputi tata kehidupan manusia. Sehingga kitab yang ditulis dalam aksara Lontaran Bugis ini yang terdiri dari 12 jilid dan terdiri dari 300.000 baris ini melampaui epos Mahabarata yang cuma sekitar 160.000 dan tidak lebih dari 200.000 baris mendapat pengakuan dari UNESCO pada tahun 2011. Jumlah halaman Kitab I La Galigo ini pun diperkirakan hanya terdokumentasikan sepertiganya saja. Selebihnya masih perlu ditelusuri oleh para pecinta dan peminat kekayaan suku bangsa Nusantara yang tidak ternilai harganya.
Muatan syairnya terkesan seperti majas atau seloka menjadi bagian dari sajian I La Galigo yang cerita tentang Batara Guru dengan asal muasal yang menurunkannya. Dan mendapat jodoh dari dalam air. Dan kisah Sawerigading yang dilahirkan di atas pohon bambu dan We Tanri Abeng (adiknya) dikisahkan berlayar menuju negeri China yang ada di pulau Sulawesi juga, bukan negeri China seperti yang kita kenal sekarang.
Sri Eko Sriyanto Galgendu yang menjadi pembahas utama dari seminar sehari I La Galigo mengawali dari istilah gajah di pelupuk mata tak tampak sedangkan semut di seberang sana bisa terlihat. Inilah ungkapan untuk kitab I La Galigo yang dilupakan bangsa Indonesia sendiri, termasuk suku bangsa Bugis sendiri.
Jadi akar kebudayaan suku bangsa Bugis sungguh kuat, seperti dapat dibaca dan dicermati melalui naskah I La Galigo yang sungguh dahsyat bernilai sejarah, sastra dan budaya suku bangsa Nusantara hingga dapat menjadi sumber pengetahuan hingga mendapat pengakuan sebagai warisan dunia dari UNESCO — lembaga bergengsi internasional — pada tahun 2011 sebagai naskah terpanjang, terlengkap dan terluas jangkauan muatannya yang sangat bernilai bagi peradaban manusia.
Andi Syahri hadir mewakili masyarakat adat serta Ketua Asosiasi Raja dan Sultan Nusantara menegaskan, epik I La Galigo memiliki hubungan yang erat dengan Suku Bangsa Bugis yang berkisah tentang Batara Guru. Jika diusut asal muasalnya jelas memiliki hubungan yang erat dengan karuhun dari Pasundan.
Semua Raja di Sulawesi (Goa, Bone maupun Luwuk) mempunyai hubungan saudara, seperti yang dapat dicermati dari naskah I La Galigo, imbuh Andi Syahri, Ketua Asosiasi Kerabat Kerajaan dan Kesultanan Nusantara, menutup pengantar diskusinya. Pertanyaan yang sempat dilontarkan oleh peserta karena waktunya sangat terbatas — hanya satu sesi pertanyaan — adalah, mengapa naskah I La Galigo yang begitu dahsyat kandungan nilainya ini tidak menjadi perhatian banyak orang ? Sungguhkah ini hanya bagian dari kelemahan publikasi dan informasi yang harus disampaikan secara lebih meluas hingga ke seantero jagat. Sementara UNUSCO telah memberi pengakuan pada naskah I La Galigo sebagai warisan dunia bagi umat manusia di bumi.
Setidaknya, kajian serius dan mendalam untuk naskah I La Galigo perlu dilakukan secara komprehensif, meliputi nilai-nilai sejarah, sastra, religius hingga spiritualitas yang terkandung di dalamnya, patut dan perlu dicermati dan dipahami agar bisa menambah bobot dan kualitas budaya bangsa Indonesia untuk tampil dengan kepribadian yang teguh dan disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
Merdeka Selatan, 25 September 2024
Red