globalcybdrnews.com -Di tahun 1585 Masehi, di tanah Sunda yang penuh pesona dan intrik, dua kerajaan besar, Cirebon dan Sumedang Larang, terlibat dalam sebuah konflik yang dipicu oleh kisah cinta yang rumit. Di tengah pusaran politik dan kekuasaan, ada seorang wanita cantik bernama Harisbaya, yang menjadi pusat dari semua perseteruan. Kecantikannya yang memikat dan pesona yang memancar dari matanya mampu mengguncang dua kerajaan dan memicu peperangan yang tak terlupakan.
Harisbaya adalah putri Madura yang pada masa mudanya mengabdikan diri di Kerajaan Pajang, tempat ia bertemu dengan dua pemuda tampan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Yang pertama adalah Geusun Ulun, seorang pangeran tampan dari Kerajaan Sumedang Larang yang datang ke Pajang untuk menuntut ilmu ketatanegaraan. Wajah tampan dan pembawaannya yang menawan segera menarik perhatian Harisbaya. Keduanya jatuh cinta, terlibat dalam kisah asmara penuh gairah dan rahasia.
Namun, cinta mereka harus terhenti ketika Geusun Ulun dipanggil kembali ke Sumedang Larang untuk menggantikan ayahandanya yang telah mangkat. Dengan berat hati, ia meninggalkan Harisbaya, meninggalkan kisah cinta mereka menggantung tanpa kepastian. Harisbaya, meski patah hati, tetap menanti dengan harapan bahwa suatu hari mereka akan bersatu kembali.
Di sisi lain, ada Panembahan Ratu, yang juga belajar di Pajang di bawah asuhan Sultan Hadiwijaya. Berbeda dengan Geusun Ulun yang lebih sering mengikuti kata hatinya, Panembahan Ratu adalah seorang pemuda yang tenang dan penuh perhitungan. Prestasinya di Pajang sangat gemilang, hingga akhirnya Sultan Hadiwijaya menikahkannya dengan putri kesayangannya, Ratu Mas Pajang. Pernikahan ini bukan hanya sekadar ikatan cinta, tetapi juga upaya untuk memperkuat hubungan antara Pajang dan Cirebon.
Namun, kehidupan memiliki cara yang tak terduga untuk mempertemukan takdir yang pernah berpisah. Ketika Sultan Hadiwijaya wafat setelah terjatuh dari gajah tempurnya, Pajang mengalami kekacauan. Panembahan Ratu yang setia kepada Pajang menghadiri pemakaman gurunya. Sebagai bentuk penghargaan atas kesetiaan Panembahan Ratu kepada Pajang, Arya Panggiri yang menggantikan Sultan Hadiwijaya memberikan Harisbaya sebagai hadiah, menjadikannya istri kedua bagi Panembahan Ratu.
Pada awalnya, pernikahan ini berjalan dengan baik. Panembahan Ratu dan Harisbaya hidup dalam kedamaian di Cirebon. Namun, takdir kembali memainkan perannya ketika Geusun Ulun, sekarang Raja Sumedang Larang, melakukan kunjungan kenegaraan ke Cirebon. Pertemuan antara Harisbaya dan Geusun Ulun di istana Cirebon membawa kembali kenangan masa lalu yang penuh cinta dan gairah. Meskipun Geusun Ulun berusaha menahan diri, Harisbaya tak mampu menahan perasaannya. Ia mendekati Geusun Ulun dan memohon agar dibawa lari dari Cirebon.
Geusun Ulun, terjebak dalam dilema antara cinta dan kehormatan, awalnya menolak. Namun, cinta lama yang tak pernah padam dan rayuan Harisbaya yang berlinang air mata akhirnya meluluhkan hatinya. Dengan bantuan Jayaperkasa, senopati Sumedang yang cerdik, Geusun Ulun memutuskan untuk membawa lari Harisbaya dari istana Cirebon. Jayaperkasa memiliki agenda tersendiri, ia melihat ini sebagai kesempatan emas untuk memantik perang dengan Cirebon, berharap dapat merebut kembali kejayaan Sunda Pajajaran yang telah jatuh ke tangan Cirebon.
Kabar tentang pelarian Harisbaya dengan Geusun Ulun segera menyebar di seluruh Cirebon. Istana geger, Panembahan Ratu merasa kehormatannya terinjak-injak. Murka, ia segera mengumumkan perang terhadap Sumedang Larang. Baginya, ini bukan hanya soal cinta, tapi juga soal harga diri sebagai penguasa Cirebon yang berdaulat.
Di Sumedang, Jayaperkasa menyambut dengan penuh semangat tantangan perang dari Cirebon. Bagi Jayaperkasa, ini adalah kesempatan untuk mengembalikan kejayaan Pajajaran melalui Sumedang Larang, pewaris sah setelah runtuhnya kerajaan Sunda itu. Perang pun berkobar. Tentara Cirebon dan Sumedang Larang bertempur sengit di medan laga, mempertaruhkan segalanya demi kehormatan dan cinta.
Pertempuran berlangsung sengit selama berhari-hari. Tentara dari kedua belah pihak berjuang dengan segenap jiwa raga. Namun, pada akhirnya, kekuatan dan taktik Cirebon berhasil mengalahkan Sumedang Larang. Jayaperkasa, yang menjadi motor perang ini, gugur di medan pertempuran. Kehilangannya membawa kesadaran baru bagi para pejabat tinggi di Sumedang Larang, bahwa perang ini adalah hasil dari nafsu dan ambisi pribadi yang harus diakhiri demi perdamaian dan kesejahteraan rakyat.
Dengan gugurnya Jayaperkasa, kedua belah pihak mulai duduk bersama untuk mencari jalan damai. Perundingan berlangsung lama, namun akhirnya disepakati bahwa Harisbaya akan diceraikan oleh Panembahan Ratu. Sebagai gantinya, Sumedang Larang harus menyerahkan wilayah Sindangkasih kepada Cirebon. Selain itu, Geusun Ulun berjanji bahwa anak yang tengah dikandung Harisbaya, yang merupakan keturunan Panembahan Ratu, akan menjadi penerus tahta Sumedang Larang kelak.
Keputusan ini membawa angin segar bagi kedua kerajaan. Perang berakhir, dan Sumedang Larang serta Cirebon kembali hidup berdampingan dalam damai. Geusun Ulun, meski telah mengorbankan banyak hal, akhirnya bersatu dengan Harisbaya, kekasih yang selama ini ia rindukan. Pada tanggal 2 bagian terang bulan Waisak tahun 1509 Saka, mereka menikah dalam sebuah upacara sederhana namun penuh makna, di mana cinta sejati mengalahkan segalanya.
Harisbaya, kini menjadi ratu di Sumedang Larang, hidup bahagia bersama Geusun Ulun. Meskipun cinta mereka telah menyebabkan perang dan kehilangan, keduanya memutuskan untuk memulai hidup baru, jauh dari bayang-bayang masa lalu yang penuh intrik. Bagi Geusun Ulun, cinta kepada Harisbaya lebih berharga daripada seluruh kekayaan dan kekuasaan di dunia.
Begitulah kisah Ratu Harisbaya, wanita cantik yang menjadi pemantik konflik antara dua kerajaan besar di tanah Sunda. Kisah cinta yang terjalin di antara pertempuran, politik, dan kehormatan ini menunjukkan bahwa cinta sejati mampu menembus batasan dan mengatasi segala rintangan, bahkan ketika dunia di sekitar mereka sedang berperang.
Red