Friday, June 27, 2025
HomeSejarahMenguak Kabut Kelam Kudeta PKI Tahun 1965
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Menguak Kabut Kelam Kudeta PKI Tahun 1965

globalcybernews.com  -“Gerakan 30 September menghantam ketika ibukota sedang lengah dan tak berdaya. Kami kehilangan, Angkatan Darat Kehilangan, Nusa dan Bangsa kehilangan.” demikian penggalan kalimat di dalam buku Dari Hati Ke Hati oleh Ibu Y.R. Yani (istri Pahlawan Revolusi Jenderal Achmad Yani) diterbitkan tahun 1966. Sebuah buku yang menghimpun kesaksian keluarga-keluarga para jenderal yang secara langsung mengalami dan menjadi korban dalam peristiwa G-30-S/PKI.

Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia negara Komunis dan satelit Republik Rakyat Cina (RRC). Sejarah mencatat tahun-tahun terakhir sebelum meletusnya peristiwa 30 September 1965, PKI sebagai kekuatan resmi telah mendominasi kehidupan politik di Tanah Air. Konstelasi politik Indonesia di masa itu sangat memberi peluang kepada PKI untuk memperbesar pengaruhnya di dalam pemerintahan dan di masyarakat. Politik “akal sehat” dimatikan dengan berbagai cara. Sikap “komunisphobi” dipandang sebagai sikap yang tidak revolusioner. Salah satu isu psywar yang dikembangkan ialah sikap “anti PKI” sama dengan “anti Nasakom”, “anti Pancasila”, “anti Bung Karno” dan “kontra revolusi”.

Pada tanggal 1 Desember 1956 Mohammad Hatta pemimpin besar bangsa Indonesia yang sangat anti Komunis mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI disebabkan perbedaan masalah prinsip dengan Presiden Soekarno. Menurut Bung Hatta sebagaimana dikutip Deliar Noer dalam Mohammad Hatta Biografi Politik (1990), ”Dalam jabatan saya sebagai Wakil Presiden banyak terjadi hal-hal yang tidak dapat saya halangi, karena orang lain yang bertanggungjawab, sedangkan saya merasakan ikut serta memikul tanggung jawab moreel sebagai orang yang duduk di pucuk.”

Dalam tulisan yang berjudul Demokrasi Kita ditulis pada tahun 1960 dan disiarkan melalui Majalah Panji Masjarakat yang dipimpin oleh Hamka, Bung Hatta menyatakan; ”Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita. Idealisme, yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yag sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebenar-benarnya. Realita daripada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya. Bung Hatta kemudian menyoroti, ”Partai yang pada hakikatnya alat untuk menyusun pendapat umum secara teratur, agar supaya rakyat belajar merasa tanggungjawabnya sebagai pemangku negara dan anggota masyarakat, partai dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya.”

Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh dalam buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI Di Indonesia mengemukakan pada tahun-tahun sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, PKI tampak berkembang pesat. Dari sebuah partai kecil yang berperan dalam Pemberontakan Madiun pada tahun 1948 tumbuh menjadi sebuah partai massa yang hebat. Pengaruhnya dapat dirasakan di setiap lapangan kehidupan sosial politik. Wakil-wakil PKI duduk di Kabinet, dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di samping ke dalam bidang politik, jalur partai (PKI, pen) pun merembes ke bidang ekonomi, pendidikan, kesenian dan kesusasteraan.

“Buku Putih” dari Sekretariat Negara RI berjudul Gerakan 30 September: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya mengungkapkan modus penyusupan PKI ke dalam jajaran ABRI, termasuk Angkatan Kepolisian RI, ke dalam jajaran Aparatur Negara lainnya dan ke dalam partai politik dan organisasi massa. PKI dengan aksi-aksi sepihaknya bertindak seolah sebagai penguasa de fakto. Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi dalam apel besar HUT PKI tanggal 23 Mei 1965 di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta mengatakan PKI adalah juga saudaraku, ya handai taulanku, kalau mati saya juga ikut kehilangan.

Pemerintah di era Orde Lama tidak menggubris suara-suara anti Komunis dan anti PKI serta sama sekali tidak mempersoalkan sikap politik PKI yang anti agama, terutama sekali menganggap kekuatan politik Islam dan umat Islam sebagai musuh utamanya. Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang tanggal 12 – 16 Safar 1377 H/8 – 11 September 1957 dalam keputusannya telah memperingatkan kepada Pemerintah agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif-asing yang membantu perjuangan kaum Komunisme/Atheisme Indonesia, dan mendesak kepada Pemerintah RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai Partai Terlarang di Indonesia. Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia juga menyatakan bahwa ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya. Haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/memilih Kepala Negara/Pemerintah yang berideologi Komunisme. Keputusan lainnya adalah penegasan bahwa usaha mencapai ukhuwah islamiyah hukumnya wajib dan mendesak kepada Partai-partai Islam agar menghilangkan garis-garis pemisah yang ada di antara partai-partai Islam guna mencapai kesatuan perjuangan umat Islam.

Dalam kurun waktu tersebut kekuatan politik umat Islam khususnya partai Masyumi telah bubar dengan adanya Keputusan Presiden RI No 200 Tahun 1960 tanggal 17 Agustus 1960 yang membubarkan Partai Politik Masyumi. Masyumi adalah musuh besar PKI karena menentang Komunis, anti Nasakom dan sangat tegas menentang Demokrasi Terpimpin. Setelah Masyumi dan GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) bubar, PKI bersama PNI menjadikan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sebagai sasaran “pengganyangan” berikutnya. “Kalau tidak dapat membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung” kata D.N. Aidit dalam acara rapat umum organisasi onderbouw PKI yakni CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonsia) yang dihadiri 10.000 massa di Gelora Bung Karno Senayan tanggal 29 September 1965.

Sistem politik Orde Lama meski dengan tujuan persatuan, namun secara nyata “melawan akal sehat” ketika membangun koalisi pemerintahan dengan menyatukan unsur Nasional, Agama, Komunis (Nasakom). Di masa itu Manipol Usdek menjadi “haluan Negara” dan diindoktrinasikan ke segenap aparatur negara dan unsur masyarakat. Menko Hankam/KASAB di tahun 1960 berkali-kali dengan lisan dan tertulis mengingatkan Presiden Soekarno tentang bahaya PKI tapi tidak digubris. Sementara itu PKI terus bermain di pusaran kekuasan dan mengeksploitasi keadaan seperti dikatakan D.N. Aidit bahwa PKI ingin mencapai kekuasaan dengan jalan “gotong royong”. Politik Nasakom adalah sebuah “irrasionalitas” dalam politik Indonesia karena sangat jelas mengandung unsur-unsur yang berbeda dan bertentangan satu sama lain, tapi dipaksakan harus terwakili. Nasakom menjadi perasan Pancasila. Sampai ke desa-desa yang tak ada Komunisnya, dipaksakan harus ada Komunis.

Tidak bisa dipungkiri bahwa politik Nasakom adalah salah satu bentuk penyelewengan terhadap dasar negara Pancasila. Tokoh Masyumi Mr. Mohamad Roem dalam sebuah tulisannya mengkritisi, “Tidak saja kaum Komunis diterima sebagai Pancasilais malah dalam gagasan Nasakom, kaum Komunis menjadi golongan yang adanya mutlak, di samping golongan Agama dan Nasionalis.” Dalam sidang Majelis Konstituante kubu PKI berupaya untuk mengganti rumusan sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan rumusan “Kemerdekaan beragama”. PKI memberi penafsiran Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kemerdekaan beragama dalam arti kebebasan untuk beragama atau untuk tidak beragama.

Tiga kondisi yang dihadapi Indonesia di masa senja Orde Lama disebut oleh Jenderal TNI Dr. A.H. Nasution dalam buku Ketetapan-Ketetapan MPRS Tonggak Konstitusionil Orde Baru (1966) yaitu, Pertama, kemunduran ekonomi. Kedua, kemunduran akhlak, dan Ketiga, kontra revolusi Gestapu/Partai Komunis Indonesia. Dalam catatan Jenderal Nasution pada buku otobiografinya Memenuhi Panggilan Tugas dan dari beberapa sumber lain, gambaran kondisi Indonesia ketika itu diwarnai demonstrasi rakyat lapar dan eksodus gelandangan dari desa ke kota menjadi pemandangan sehari-hari. Krisis ekonomi kian parah, di mana inflasi mencapai 650 persen dan kenaikan harga-harga tidak tidak terkendali. Bahkan sampai tahun 1966 perkembangan ekonomi menunjukkan gejala yang membahayakan, selama 6 bulan pertama biaya hidup telah meningkat sekitar 400 persen. Sikap Orde Lama yang menggantungkan diri pada hutang-hutang luar negeri yang semakin bertumpuk berpangkal pada pikiran yang keliru yakni seolah-olah tidak ada masalah beban pembayaran kembali. Kondisi negara makin diperparah dengan maraknya korupsi, catut dan komisi di tingkat atas yang merugikan masyarakat dan membebani keuangan negara. Kondisi ekonomi nasional yang buruk dan kacau gagal diatasi oleh Pemerintah. Selain penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah menjadi rahasia umum terkuaknya skandal moral dan penghamburan uang negara yang melibatkan pejabat Negara ketika itu.

Sekitar periode 1960-an itu, seperti diulas oleh Dr. Roeslan Abdulgani dalam Kata Pengantar buku A. Dahlan Ranuwihardjo Bung Karno & HMI Dalam Pergulatan Sejarah (2002) terjadi perubahan politik Komunisme Indonesia yaitu mulai berpihak ke Peking (RRC) dan meninggalkan Moscow. Perubahan strategi PKI yang mengikuti Peking itu besar pengaruhnya dalam situasi negara kita. Waktu itu PKI mempunyai rencana tersembunyi untuk pada saatnya mengadakan kudeta terhadap kekuasaan Bung Karno dan ditargetkan 4 tahun dapat terlaksana, yaitu pada tahun 1967. Rencana PKI ini dipercepat, mengingat pemberitaan tentang sakitnya Bung Karno yang mengkhawatirkan pada tahun 1965.

Kudeta 30 September 965 merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia yang tidak boleh terulang untuk selama-lamanya. Sejarah kelam bukan dalam arti tidak jelas pelaku dan tujuannya, tetapi kelam dalam arti peristiwa itu hampir membawa bangsa Indonesia kehilangan masa depan sebagai bangsa yang ber-Tuhan dan beragama.

Mari kita simak kutipan buah pena penulis asing Clarence W. Hall dalam majalah Reader’s Digest yang dimuat dalam versi bahasa Indonesia di Majalah Islam Kiblat No 8 – September 1971, melukiskan suasana kota Jakarta di hari yang naas itu, ”Di kala jam telah mendekati saat tengah malam pada tanggal 30 September 1965 menjelang 1 Oktober, umumnya warga negara Indonesia yang berjumlah 105 juta itu telah tidur nyenyak. Malam yang sejuk segar pada tanggal 30 September 1965 tidak memberikan sedikit jua pun tanda isyarat tentang akan terjadinya peristiwa dahsyat, yang dalam beberapa jam yang akan datang hampir saja dapat menghancurkan kepulauan Indonesia ke belakang Tabir Bambu. Pemimpin-pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sejak beberapa bulan telah mempersiapkan rencananya untuk melancarkan teror pada malam tersebut tidaklah memicingkan matanya untuk tidur.”

Kudeta PKI merenggut nyawa enam jenderal pimpinan Angkatan Darat dan seorang perwira pertama. Mereka ”diambil” di kediamannya masing-maisng dan dibunuh. Ketika itu beberapa peleton pasukan Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden, melakukan aksi penculikan atas perwira tinggi pimpinan Angkatan Darat yaitu, Jenderal A.H. Nasution, Letnan Jenderal Achmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen M.T. Harjono, Mayjen S. Parman, Brigjen Sutojo Siswomihardjo, dan Brigjen D.I. Pandjaitan. Jenderal A.H. Nasution (Menko Hankam/KASAB) yang menjadi target pertama G-30-S/PKI dapat menyelamatkan diri dan dilindungi Allah Swt dari sergapan maut. Tapi putri beliau Ade Irma Suryani berusia 5 tahun kena tembakan peluru Cakrabirawa dan ajudan Jenderal Nasution yakni Kapten Pierre Tendean akhirnya gugur dalam peristiwa itu. Ade Irma Suryani menghembuskan napas terakhir setelah dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta pada 6 Oktober 1965. Putri Jenderal Nasution gugur sebagai ”perisai ayahnya” dan ”pahlawan kecil” untuk menjadi saksi pengkhianatan G30S/PKI. Mayat para jenderal dan perwira pertama AD itu dinasukkan ke dalam sumur tua dekat Pangkalan TNI AU Halim Perdana Kusuma di daerah Lubang Buaya Jakarta Timur.

Penulis asing Tarzie Vittachi dalam buku “The Fall of Soekarno” menukilkan pemberitaan wartawan Asahi Evening News (Tokyo) mengutip pengakuan D.N. Aidit sebelum meninggal yang menyatakan, “Saya adalah penanggungjawab utama terhadap peristiwa 30 September itu, yang disokong oleh pemimpin-pemimpin PKI dan organisasi-organisasi rakyat di bawah naungan PKI. Apabila coup d’etat itu berhasil, politik saya ialah akan mewujudkan hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Cina Komunis. D.N. Aidit mengungkapkan pelaksanaan coup d’etat itu dilakukan setelah berkonsultasi dengan pemimpin Komunis Cina di Peking.” (Baca: “Pengakuan D.N. Aidit Tentang Peristiwa Gestapu/PKI”, Majalah Islam Kiblat No 8 – September ke II Th XIX – 1971).

Dalam wawancara dengan Harian Gotong Royong edisi 29 September 1966, Jenderal Dr. A.H. Nasution menuturkan, tiga momen dalam 2 atau 3 menit yang tidak akan terhapus dari hati dan ingatannya, yaitu: (1) saat saya ditembaki di pintu dari jarak satu meter, (2) saat saya meloncat tembok di bawah tembakan-tembakan, (2) melihat anak saya Ade Irma berlumuran darah dari atas tembok. Selama dua setengah jam bersembunyi timbul pertanyaan pada diri saya: ”Mengapa justru Cakrabirawa dikirim untuk membunuh saya? Pasti saya difitnah!”. Karena itu pada pemakaman Pahlawan-Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965 dengan spontan keluar dari hati saya: ”Fitnah lebih jahat dari pembunuhan!”.

Jenazah para jenderal dan perwira korban G-30-S/PKI yang dibenamkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya diketemukan Minggu 3 Oktober 1965. Panglima KOSTRAD Mayor Jenderal Soeharto selesai penggalian jenazah tanggal 4 Oktober 1965 berkata, ”Mereka diketemukan dalam keadaan tubuh yang jelas penuh siksaan.”

Penyiksaan terhadap para korban G-30S/PKI sebelum mereka dibunuh dibuktikan dari laporan visum et repertum yang dibuat oleh tim lima orang dokter, dua orang dari militer dan tiga lainnya guru besar terkenal dari Universitas Indonesia. Setelah dimandikan secara agama Islam, kecuali yang beragama Kristen, jenazah yang ketemukan di Lubang Buaya disemayamkan di MBAD.

Jenazah para jenderal dan perwira pertama yang gugur dalam pengkhianatan G-30-S/PKI dimakamkan dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata Jakarta pada 5 Oktober 1965. Presiden Soekarno pada saat itu memutuskan untuk memberikan gelar Pahlawan Revolusi dan pangkat mereka dinaikkan satu tingkat secara anumerta.

Pemberontakan G-30-S/PKI dan kejadian di beberapa kota yang didalangi PKI berhasil ditumpas melalui operasi militer oleh RPKAD dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Letnan Jenderal Soeharto selaku Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. Pada waktu itu rakyat, mahasiswa dan pelajar bergerak menuntut keadilan yaitu pembubaran PKI.

Pada tanggal 12 Maret 1966 Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Letjen Jenderal Soeharto yang menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat atas nama Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden RI No 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI Termasuk Bagian-Bagian Organisasinya Tingkat Pusat Sampai Ke Daerah, beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya dan menyatakan PKI sebagai organisasi yang terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia.

Pembubaran partai berlambang ”Palu-Arit” itu oleh ”Pengemban Supersemar” mendapat dukungan luas dan disambut gembira oleh segenap rakyat Indonesia yang anti Komunis. Pembubaran PKI telah menyelamatkan bangsa dan negara dari jurang kehancuran. Keputusan pembubaran PKI kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Sementara itu ekspresi ketidakpuasan rakyat terhadap Pemerintah kian memuncak seperti tercermin dari aksi demonstrasi mahasiswa/pelajar. Sikap dan pendirian Presiden Soekarno yang tidak mengutuk PKI dan Gerakan 30 September 1965 serta tidak bersedia membubarkan PKI menjadi penyebab panasnya situasi. Bung Karno menyatakan dukacita atas musibah yang menimpa para jenderal Angkatan Darat, namun beliau memandang peristiwa itu hanya sebagai kejadian biasa dalam revolusi. Puncak tuntutan pembubaran PKI adalah dicetuskannya Tritura pada 10 Januari 1966 yaitu Tiga Tuntutan Rakyat: bubarkan PKI, turunkan harga-harga dan bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G30S/PKI.

Pembubaran PKI oleh Letnan Jenderal Soeharto selaku Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 merupakan keputusan yang berani dan tepat dari sudut konstitusi, hukum, politik, keamanan dan perikemanusiaan. Adapun untuk penyelesaian secara hukum atas pelaku peristiwa G-30-S/PKI Presiden Soekarno mengambil keputusan membentuk Mahmillub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Tetapi di sisi lain Presiden Soekarno menafsirkan “Supersemar” hanya untuk bidang teknis keamanan saja. Menyangkut ekses di lapangan menyusul pembubaran PKI, seperti tindakan menghabisi orang-orang yang baru diduga atau disangka sebagai anggota, pengikut atau simpatisan PKI di seluruh Indonesia harus dilihat sebagai persoalan yang berbeda.

Sejarah mencatat tahun 1966 sebagai tahun kebangkitan Orde Baru. Salah satu tokoh aktivis Angkatan 66 yakni dokter Sulastomo, Ketua Umum PB HMI (1963- 1966) dalam buku memoir Hari-Hari Yang Panjang Transisi Orde Lama Ke Orde Baru (2008) menulis, “Seolah-olah semuanya serba terbalik. PKI, yang beberapa hari sebelumnya di atas panggung revolusioner dan secara bebas menuntut organisasi lain untuk dibubarkan, termasuk HMI, sekarang menghadapi tuntutan balik untuk dibubarkan.”
Kebangkitan Orde Baru didukung sepenuhnya oleh aksi kesatuan mahasiswa (KAMI) dan pelajar (KAPPI) serta kesatuan aksi lainnya yang anti Komunis yang kemudian dinamai “Angkatan 66”. Kekuatan politik Islam di panggung politik peralihan Orde Lama ke Orde Baru yaitu Partai NU, PSII dan Perti serta organisasi kemasyarakatan/kepemudaan Islam seperti Muhammadiyah, HMI, GP Ansor, dan organisasi Islam lainnya berada di belakang Orde Baru. Orde Baru waktu itu dinyatakan sebagai “koreksi total” atas segala penyelewengan yang terjadi di zaman Orde Lama. Orde Baru bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen kendati kemudian mengulang kesalahan rezim terdahulu.

Setelah Sidang Istimewa MPRS yang menjadi ujian sejarah terhadap konstitusi, pada tanggal 20 Pebruari 1967 keluar statement Presiden Soekarno yang menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 Letnan Jenderal Soeharto. Selanjutnya berdasar Ketetapan MPRS No XIII/MPRS/1966, Presiden Soekarno menugaskan Letnan Jenderal Soeharto selaku Pengemban Ketetapan MPRS/IX/MPRS/1966 untuk membentuk Kabinet Ampera. Bung Karno mengumumkan susunan kabinet tersebut pada tanggal 25 Juli 1966 dan Pak Harto menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera.

Pendulum politik nasional pada waktu itu bergerak dengan cepat ke arah yang berlawanan sejak hari pertama setelah G-30-S/PKI, sementara pemimpin Orde Baru yang diharapkan yaitu Jenderal Soeharto, seperti dikemukakan oleh Sulastomo dalam Hari-hari Yang Panjang menolak untuk mengambil alih kepemimpinan nasional dari Bung Karno meskipun secara konstitusional. Menurut Sulastomo, seandainya Bung Karno bersedia membubarkan PKI, perjalanan bangsa ini mungkin akan lain.

Dalam otobiografinya Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989) antara lain Pak Harto mengatakan, bahwa setelah menjabat sebagai Pejabat Presiden, ia masih membuka kemungkinan Bung Karno tetap menjadi Presiden, asal bersikap tegas terhadap PKI. Akan tetapi Presiden Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 21 Desember 1965 sebagaimana dinukil dalam buku Peristiwa 1 Oktober 1965 Kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution (2012) telah menegaskan, ”Gestoknya harus kita hantam, tetapi komunismenya tidak bisa, karena ajaran komunis itu adalah hasil keadaan obyektif dalam masyarakat Indonesia sepertinya nasionalis dan agama.” Bung Karno lebih jauh mengatakan, ”Nasakom telah kutulis sejak aku berumur 25 tahun dalam tahun 1926, dan ini akan kupegang teguh sampai aku masuk ke liang kubur.”

Pada akhirnya diperlukan waktu dua tahun untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan nasional. Pada tanggal 23 Pebruari 1966 resolusi DPR-GR meminta Persidangan MPRS untuk menetapkan Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 Letnan Jenderal TNI Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Jenderal Soeharto dilantik sebagai Pejabat Presiden oleh Ketua MPRS Jenderal Dr. A.H. Nasution di hadapan Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967. Pejabat Presiden Soeharto kemudian terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-2 dalam Sidang Umum MPRS Ke V yang berlangsung tanggal 21 sampai dengan 27 Maret 1968.

Presiden Soekarno mengakhiri jabatannya selaku Presiden RI setelah pidato pertanggunganjawabnya yang diberi nama Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara ditolak MPRS. Bung Karno yang telah ditetapkan sebagai Presiden Seumur Hidup diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, meski pimpinan MPRS dan Jenderal Soeharto pada mulanya ingin tetap mempertahankan posisi Bung Karno. Bung Karno jatuh di bawah tekanan psiko-politis yang berat pasca G-30-S/PKI. Dalam Ketetapan MPRS No XXIII/MPRS/1967 juga dinyatakan bahwa Bung Karno dilarang melakukan kegiatan politik sampai Pemilihan Umum yang akan datang.

Setelah partainya dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang, para petinggi PKI dan pelaku yang terlibat atau tersangkut G-30-S diajukan ke Mahmillub untuk diperiksa dan diadili. Mereka didakwa telah melakukan tiga kejahatan sekaligus yaitu: (1) kejahatan kriminil, (2) kejahatan politik berupa kudeta, dan (3) kejahatan terhadap moral Pancasila.

Tragedi nasional dan pemberontakan G-30-S/PKI telah berlalu lebih dari setengah abad. Negara tidak perlu meminta maaf kepada PKI sebagai partai yang terbukti telah melakukan makar, pemberontakan dan kudeta untuk merebut kekuasan secara terencana pada tahun 1965. Dari ”kudeta gagal” partai yang tidak ber-Tuhan itu sebagai anak bangsa kita perlu mengambil pelajaran dari masa lampau untuk proyeksi membangun masa depan. Orde Lama dan Orde Baru telah menjadi masa lalu. Segi positifnya perlu diambil dan segi negatifnya harus dibuang.

Red

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts