Thursday, November 21, 2024
HomePendidikanCARA ISLAM MENUMPAS MAFIA PERADILAN
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

CARA ISLAM MENUMPAS MAFIA PERADILAN

Bulletin Kaffah, No. 367 (29 Rabiul Akhir 1446 H/01 November 2024 M)

globalcybernews.com  -Beberapa hari lalu Kejaksaan Agung melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiganya terjerat kasus suap vonis bebas tersangka penghilangan nyawa Dini Sera Afriyanti, Gregorius Ronald Tannur. Kejagung berhasil mengungkap uang suap senilai Rp 20 miliar dari tersangka kepada tiga hakim tersebut.

Penangkapan tiga aparat penegak hukum ini berlanjut pada terbongkarnya dugaan makelar kasus yang melibatkan salah satu mantan pejabat Mahkamah Agung. Di kediaman yang bersangkutan ditemukan uang tunai lebih dari Rp 920 miliar dan emas Antam seberat 51 kg. Banyak pihak mendesak Pemerintah untuk menjadikan temuan ini sebagai langkah untuk membongkar mafia peradilan di tanah air.

Mafia Peradilan

Sistem peradilan di tanah air memang sudah sejak lama bermasalah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa profesi hakim berisiko terjerat rasuah (suap). KPK juga mencatat hakim menjadi aparat penegak hukum (APH) yang paling banyak terjerat kejahatan korupsi dibandingkan polisi dan jaksa. Pada Oktober 2022, KPK melaporkan jabatan hakim paling banyak terjerat korupsi mencapai 25 orang dan jaksa 11 orang.

Penangkapan puluhan aparat penegak hukum menunjukkan mafia peradilan masih berkuasa di Indonesia. Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001-2002 menemukan bahwa mafia peradilan melibatkan hampir seluruh pelaku di dunia peradilan; mulai dari hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan. Ini terjadi mulai dari pengadilan negeri hingga MA.

Dalam penelitian tersebut ICW juga menemukan bahwa korupsi di peradilan dianggap sebagai hal yang biasa. Banyak pengacara yang tidak malu-malu lagi menawarkan sejumlah uang kepada hakim dan jaksa. Bahkan ada pengacara yang ”menggaji” hakim secara bulanan. Hakim, jaksa, polisi serta panitera juga tidak merasa risi untuk meminta uang dari pengacara atau para pencari keadilan.

Temuan uang hingga hampir mencapai Rp 1 triliun dan emas 51 kg di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung diduga kuat juga terkait mafia peradilan. Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, uang tersebut diakui oleh tersangka sebagai hasil pengurusan berbagai perkara di MA saat dirinya masih menjabat pada rentang waktu 2012-2022.

Temuan ini seperti menguatkan sindiran di tengah banyaknya pengadilan di tanah air, keadilan justru sulit dicari. Tidak gampang untuk rakyat biasa mencari keadilan dan perlindungan hukum. Rakyat kecil baru bisa mendapatkan perlindungan hukum ketika kasus yang menimpa mereka viral di media sosial. Ini seakan menegaskan kaidah: no viral no justice (tidak viral, tidak ada keadilan).

Menumpas Mafia Peradilan

Mafia peradilan sesungguhnya hanya bisa ditumpas dengan sistem Islam. Sebabnya antara lain: Pertama, Islam menekankan pentingnya iman dan takwa sebagai integritas bagi aparat penegak hukum. Integritas mereka dalam bertugas menjadi penentu status mereka kelak di surga atau neraka. Abu Buraidah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

اَلْقُضَاةُ ثَلاَثَةٌ اثْنَانِ فِي النَّارِ وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ

Hakim itu ada tiga macam: dua di neraka dan satu masuk surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu menetapkan keputusan dengan benar, ia di surga. Seorang hakim yang mengadili manusia dengan kebodohannya, ia di neraka. Seorang hakim yang menyimpang dalam memutuskan hukuman, ia pun di neraka (HR Abu Dawud).

Dengan demikian asas paling kokoh bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dengan amanah dan adil adalah iman dan takwa, bukan gaji atau fasilitas. Penghasilan yang besar atau fasilitas yang mewah bisa kalah oleh gratifikasi yang nilainya jauh lebih besar. Tanpa iman dan takwa, hakim juga bisa ditundukkan oleh kekuasaan atau ancaman.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulLâh dalam kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm menyatakan bahwa seorang qâdhi (hakim), selain harus memenuhi syarat Muslim, balig, berakal, faqih dan cerdas, ia juga harus punya karakter adil. Orang adil adalah orang yang tidak fasik alias bukan pelaku kemaksiatan. Bagaimana hukum bisa tegak dari mental para pelaku maksiat?

Para hakim diingatkan bahwa jabatan mereka bukanlah untuk mencari kekayaan, tetapi menegakkan hukum Allah SWT. Jabatan yang mereka miliki justru bisa mengancam dirinya di akhirat kelak. Sabda Nabi saw.:

مَنْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّيْنٍ

Siapa saja yang dijadikan hakim di tengah-tengah masyarakat, maka ia telah disembelih tanpa pisau (HR Abu Dawud).

Ibnu Shalah berkata, “Maksud disembelih adalah karena seorang hakim berada di antara azab dunia jika dia lurus dan azab akhirat jika dia rusak.” (Ibnu Shalah, Fatâwâ ibn ash-Shalâh, hlm. 8).

Kedua, para hakim dalam peradilan Islam hanya memberlakukan hukum Islam dalam semua kasus peradilan yang mereka hadapi. Kekuatan hukum Islam itu pasti, jelas dan dapat dipahami oleh setiap Muslim, terutama para fuqaha. Allah SWT berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah kaum kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).

Sebaliknya, hukum warisan kolonial yang berbasiskan peradilan Romawi mengandung banyak interpretasi sehingga orang bisa mencari celah untuk lolos dari hukuman.

Ketiga, para hakim, sebagaimana para pejabat dan pegawai dalam Negara Khilafah akan diberikan gaji yang layak untuk memenuhi kehidupan mereka. Mereka berhak atas gaji, rumah, kendaraan bahkan pembantu jika memang dibutuhkan. Dengan itu peluang untuk menerima gratifikasi dapat dielakkan. Nabi saw. bersabda:

مَنْ وَلِيَ لَنَا عَمَلًا وَلَيْسَ لَهُ مَنْزِلٌ، ‌فَلْيَتَّخِذْ مَنْزِلًا، أَوْ لَيْسَتْ لَهُ زَوْجَةٌ فَلْيَتَزَوَّجْ، أَوْ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ ‌فَلْيَتَّخِذْ خَادِمًا، أَوْ لَيْسَتْ لَهُ ‌دَابَّةٌ ‌فَلْيَتَّخِذْ ‌دَابَّةً، وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ غَالٌّ

Siapa yang diserahi tugas untuk mengurus suatu pekerjaan untuk kami, sementara ia tidak memiliki rumah, hendaklah ia mengambil rumah; atau ia belum beristri, hendaklah ia menikah; atau ia tidak memiliki pembantu, hendaklah ia mengambil pembantu; atau ia tidak memiliki kendaraan, hendaklah ia mengambil kendaraan. Siapa saja yang mendapatkan sesuatu selain hal itu maka itu adalah kecurangan (HR Ahmad).

Keempat, vonis hakim dalam satu pengadilan mengikat semua pihak yang terlibat di dalamnya secara mutlak. Tidak ada proses naik banding, kasasi, atau Peninjauan Kasus (PK), remisi, grasi, dsb. Dengan begitu peluang terjadinya suap-menyuap atau mafia peradilan semakin berkurang. Allah SWT berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (TQS al-Ahzab [33]: 36).

Kelima, Khalifah akan menjatuhkan sanksi keras bagi aparat penegak hukum seperti polisi, hakim dan lainnya yang mendapatkan gratifikasi seperti suap untuk mencurangi keputusan pengadilan. Para pelaku diancam dengan laknat Allah SWT. Sabda Nabi saw.:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Laknat Allah atas pemberi suap dan penerimanya (HR Ahmad).

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dengan tegas melakukan audit terhadap harta para pejabatnya. Beliau juga menyita harta para pejabatnya yang dinilai berlebih dari seharusnya. Demikian seperti yang beliau lakukan atas kelebihan harta Abu Hurairah ra. Beliau juga menyita hadiah yang didapat Abu Sufyan dari pemberian Muawiyah, anaknya yang menjadi gubernur di Syam (Lihat: Ibnu al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, 2/47; Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 7/114).

Mustahil Tanpa Islam

Penyebab paling mendasar dari kegagalan sistem hukum dan peradilan hari ini karena ia dibangun di atas asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Hukumnya pun dibuat oleh manusia sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsunya. Dari ruang pengadilan yang hampa dari iman dan takwa, kecuali sebagai penghias lisan saja, bagaimana bisa muncul rasa takut untuk berlaku khianat dan curang? Jika Allah SWT saja sudah tidak ditakuti hingga mereka berani berbuat curang atau menyimpang, lalu siapa lagi yang mereka takuti?

Di dalam Islam, para aparat penegak hukum selalu diingatkan agar jangan pernah merasa aman dari hisab dan balasan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

اَفَاَمِنُوْا مَكْرَ اللّٰهِۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْخٰسِرُوْنَ

Apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain kaum yang rugi (TQS al-A’raf [7]: 99).

Ketakwaan itulah yang menjadikan Qadhi Syuraikh memutuskan perkara dengan adil. Karena keadilannya, seorang penguasa sekalipun, seperti Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., kalah dalam sengketa melawan orang Yahudi di pengadilan. Pasalnya, menurut Qadhi Syuraikh, Khalifah Ali tidak punya saksi dan bukti kuat menuduh orang Yahudi mencuri baju besi miliknya. Demikian sebagaimana dikisahkan antara lain oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayaah wa an-Nihaayah dan Ibnu Atsir dalam Al-Kâmil fî at-Târîkh.

Jika kaum Muslim merindukan pengadilan yang bersih dan mampu menciptakan keadilan hakiki, maka itu hanya ada pada sistem pengadilan Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Karena itu mari terus kita gaungkan seruan penegakan syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam peradilan Islam. Dengan itu keadilan dapat tercipta dengan sesungguhnya. []

—*—

Hikmah:

Nabi saw. bersabda:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ القَاضِي مَا لَمْ يَجُرْ، فَإِذَا جَارَ تَخَلَّى عَنْهُ وَلَزِمَهُ الشَّيْطَانُ

Sungguh Allah senantiasa membersamai hakim selama dia tidak menyimpang. Jika dia menyimpang maka Allah meninggalkan dirinya dan yang menemani dia adalah setan. (HR Ibnu Majah). []

Red

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts