globalcybernews.com -Tiga pemilihan gubernur dalam Pilkada (Pemilihan Kepada Daerah) serentak di Indonesia tahun 2024, Jakarta, Jawa Tengah dan Sumatra Utara menjadi primadona yang fenomenal menjadi perhatian banyak orang, katena dalam pemilihan kepala daerah tersebut dianggap akan paling menentukan dalam konstelasi politik Indonesia berikutnya. Utamanya untuk Pemilihan Presiden Indonesia periode 2029-2034. Karena itu cawe-cewa dari berbagai pihak untuk mereka yang masih ingin tampil dalam periode berikutnya sudah dilakukan hari ini agar dapat kembali memperoleh posisi kekuasaan dominan di masa mendatang.
Isyarat kuat dari Mahkamah Konstitusi (MK) pun langsung mengeluarkan keputusan bila TNI dan Polri yang cawe-cawe untuk menguntungkan salah satu calon kepala daerah bisa mendapat sanksi dipenjara. Tetapi bagaimana dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Presiden sendiri misalnya yang culas — selalu mengelak untuk disebut telah cawe-cawe dengan sembunyi-sembunyi maupun caya yang terang-terangan itu dalam Pilkada ?
Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan No. 136/PUU-XXII/2024 yang diminta untuk memasukkan frasa TNI/Polri dan pejabat di daerah dalam pasal 188 UU Pilkada No. 1 Tahun 2015 menjadi putusan yang mengikat. Meski pelaksanaan masih sangat tidak meyakinkan untuk dilaksanakan dengan berbagai dalih yang mungkin saja tidak masuk akal, seperti telah dipraktikkan dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Pilpres 2024.
Hasil persidangan Mk, pada 14 November 2024 telah menegaskan untuk seluruh anggota TNI/ Polri dan pejabat di daerah tidak boleh cawe-cawe untuk memenangkan calon kandidat kepala daerah tertentu yang sedang bertarung dalam Pilkada 2024. Katanya, pelanggaran terhadap pelanggaran ini akan dikenakan sanksi penjara, seperti yang dimaksud dalam pasal tersebut.
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan bahwa MK menyatakan netralitas aparatur negara. Karena itu dalam upaya perbaikan penyelenggaraan Pilkada untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, telah dilakukan revisi terhadap sejumlah ketentuan dalam UU No. 1/2015 seperti dalam Pasal 71 ayat (1) UU No. 1/2015 telah ditambahkan dua subyek hukum baru sebagai aparatur negara, yaitu pejabat daerah dam anggota TNI/ Polri seperti dirumuskan dalam Pasal 71 ayat (1) UU No. 10/2016.
Netralitas aparatur negara akan sangat menentukan kualitas demokrasi serta kepastian Pilkada sebagai sarana untuk memilih pemimpin di daerah yang berkualitas dengan dengan proses Pilkada yang jujur, tidak di manipulatif serta tidak adanya intervensi dari aparatur negara rengan cawe-cawe untuk memenangkan kandidat tertentu yang menjadi unggulannya.
Masalahnya, kecuali pasal tersebut tidak tegas merinci sampai kepada pegawai negeri sipil termasuk yang masih berstatus pegawai honorer yang tidak disebutkan secara gamblang, termasuk larangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden tidak cawe-cawe untuk memenangkan calon kepala daerah yang diunggulkan nya.
Boleh jadi untuk mantan presiden, mungkin tidak bisa dikenakan sanksi penjara seperti aparatur negara lainnya, karena bagi mantan presiden berada dalam wilayah bebas, tetapi secara etis jelas tidak elok dilakukannya. Sebab cawe-cawe yang dilakukan mantan presiden pasti mendapat perhatian serius dari masyarakat, sehingga wajar dan patut mendapat perhatian hingga kecaman dari berbagai pihak.
Resikonya memang cukup beralasan untuk diduga masih memiliki ambisi untum dapat kembali berkuasa seperti periode sebelumnya.
Topik cawe-cawe dalam Pilkada tahun 2024 ini embrionya memang sudah berkembang biak sejak Pemilihan Presiden pada Pemilu 2024. Karena itu cukup alasan untuk diduga adanya ambisi yang meyakinkan untuk tetap dapat menentukan sosok Presiden Indonesia yang akan terpilih selanjutnya, sebagai birahi dan ambisi pada kekuasaan yang masih tersisa dan masih terpendam.
Jikapun cawe-cawe seperti yang dimaksud dari putusan MK yang melarang keterlibatan anggota TNI/Polri dan ASN atau PNS ino sungguh hendak ditegakkan, sungguhkah dapat diyakini untuk dilakukan terhadap mereka yang culas tetap melakukan pelanggaran yang telah diharamkan. Lalu bagaimana penindakan terhadap yang bersangkutan, sementara aparat penegak hukumnya pun tidak cukup meyakinkan hendak menegakkan hukum yang harus dikakukan oleh petugas yang memiliki kewenangan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum di negeri ini. Apalagi kemudian yang melakukan.pelanggaran atau cawe-cawe itu adalah pejabat yang lebih tinggi kedudukan serta jenjang kepangkatan nya.
Toh, pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2024 di Indonesia sudah banyak yang diprotes oleh masyarakat yang mendambakan proses demokrasi di berjalan baik dan sehat, tanpa kecurangan dan keculasan. Artinya, dalam pertanyaan yang paling sederhana adalah, sungguhkah aparatur negara yang tidak netral alias cawe-cawe untuk memenangkan jagoannya dalam Pilkada 2024 fi Indonesia benar akan dikenakan sanksi pidana ?
Sungguh fantastis !
Banten, 19 November 2024
Red