Tuesday, January 21, 2025
HomeOpiniJacob Ereste :Sepenggal Nostalgia Panjang 60 Tahun Lalu Yang Mengganggu
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist

Jacob Ereste :Sepenggal Nostalgia Panjang 60 Tahun Lalu Yang Mengganggu

globalcybernews.com  -Semasa kecil di kampung dahulu, sungguh sangar akrab untuk mandi di kali, meski airnya acap keruh seperti sungai Cisadane yang membelah Kota Tangerang. Sebagai anak kampung sungguh terasa asyik makan berbagai buah-buahan yang kini sudah sulit ditemukan, di pasar Induk sekalipun yang menjadi pusat grosir hasil tanaman buah-buahan hingga sayur-sayuran yang sering dimakan sebagai bahan olahan atau langsung menjadi lalapan mentah, walau sesekali sering juga dijadikan sayur dengan berbagai imbuhan yang mungkin tidak pernah dimakan oleh irang dari negeri seberang.

Ketika melanglang ke negeri orang, baru bisa benar-benar meyakinkan bahwa negeri ini sungguh kaya — tidak cuma isi dari perut bumi — tetapi aneka tetumbuhan seperti memang dimanjakan Tuhan pembagiannya. Sebab ketika meneduh dari rintik-rintik hujan yang agak membesar, di Kampung Ter Not agak pelosok dari kota Belgia, banyak orang terpesona menyaksikan hujan yang agak sedikit melebat, meski tetap tidak sehebat di kampung kita.

Pendek kata, kekayaan alam kita sungguh semacam anugrah Tuhan yang tidak mungkin tidak disyukuri. Sehingga banyak tanaman dan sayuran yang langka hanya tumbuh di negeri kita. Karena itulah, tawaran untuk menetap di negeri orang itu — walau semua kebutuhanku dapat dijamin ajan lancar dan mulus, tawaran itu aku tolak tanpa penyesalan. Kendati aku pun harus kehilangan Sonya yang mau bersamaku selama hendak bermukim di Belgia. Lantaran dia pun tak memiliki keberanian untuk tinggal di Indonesia, walaupun sudah sangat mengagumi negeri kita sebelum datang langsung melihat keadaan yang sesungguhnya.

Yang aku bayangkan jika harus bermukim di Belgia, pasti akan mengalami banyak hambatan — utama dalam hal budaya — mukai dari makan ikan yang nyaris tidak ada rasa sedapnya, hingga sambal khas Sunda dan Lampung yang aduhai enaknya itu. Suka cita selera dalam hal makan ini pun, pasti akan lebih sulit menemukan gulai rebung yang lembut dan gurih itu. Belum lagi sejumlah jenis lalapan sebagai penyeimbang sambal plenyik dengan pepes ikan air tawar maha lezat dan tak berujung enaknya itu.

Begitulah bentuk kekayaan lain dalam wujud cita rasa selera yang bertumbuh dan berkembang dari sebuah kampung yang relatif jauh dari Ibu Kota Jakarta. Karena dahulu kami di kampung dominan lebih dekat dan akrab dengan kebun dan ladang. Sehingga buah jagung segar yang baru saja dipetik bisa langsung dibakar atau direbus berikut kulit-kulitnya. Karena itu, rasa manisnya yang khas memberi sensasi pada selera untuk melahapnya sampai setengah mabuk, seperti saat musim buah duku membanjiri seluruh perkampungan.

Suasana makan buah-buahan saat pada musim raya selalu menjadi acara sendiri bagi keluarga maupun kawan-kawan sebaya, lelaki maupun perempuan. Semasa itu pun, istilah pria dan wanita masih menjadi bahasa kaum elite terpelajar, hingga kurang familiar bagi kami anak kampung yang belum menyentuh pendidikan lebih tinggi dari sekedar Sekolah Rakyat. Jadi singkatan SR pun sangat populer untuk menyebut sekolah kami yang dibedakan oleh angka-angka penanda bedanya dengan sekolah rakyat yang lain.

Bila tak salah itu semua berkisar pada tahun 1960-an. Jadi jaraknya sudah lebih dari 60 tahun pula bila dipatok pada tahun 2024. Artinya, kisah ini semacam daur ulang dari memori 60-an tahun silam, dimana harga tape singkong sebungkus masih bisa dibayar dengan 50 Send saja.

Tetapi tradisi belanja atau jajan ketika itu masih belum menjadi kebiasaan anak-anak sebaya kami yang umumnya belum menamatkan Sekolah Rakyat. Namun semasa Sekolah Rakyat inilah banyak nostalgia awal yang sangat membekas bersama kawan-kawan satu sekolah — utamanya dari kelas yang sama — yang kini tinggal bayang-bayang kenangan belaka, yang acap lamat-lamat muncul dan tenggelam. Menggoda nostalgia masa lalu yang tak pernah biss benar dilupakan. Tapi untuk mengusut semua nama dan semua sosok yang masih terekam dalam memori ingatan masa silam itu, tak pernah bisa jelas kemana saja mereka itu semua yang mungkin sudah berderak sampai ke ujung dunia.

Seperti aku sendiri yang sangat mungkin telah mereka anggap hilang, hingga tidak lagi dapat diketahui belantara rimbanya yang menyesatkan. Karena itu juga mungkin pula kita sesungguhnya sangat dekat, tetapi lantaran kesibukan, waktu tak lagi mampu mempertemukan kita.
Itu pula sebabnya ku tulis sepenggal kisah panjang kita yang pernah bersama dahulu, siapa nyana kini bisa berjumpa lagi untuk bercengkrama dan bersenda gurau seperti 60-an tahun yang lalu.

Banten, 28  Novemver 2024

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts