GlobalCyberNews.Com -Kayu merupakan salah satu bahan penting pada era DKA hingga PJKA. Tidak hanya sebagai bantalan rel, kayu juga digunakan untuk bahan bakar lokomotif, utamanya lokomotif uap kecil. Kayu yang digunakan tidak hanya kayu jati, tapi juga kayu hutan atau kayu jenis lain. Salah satu kayu lain yang digunakan untuk bahan bakar adalah kayu karet dari perkebunan karet di sekitar Meluwung, Cilacap.
Pada era 1950an, DKA menggunakan sekitar 300 ribu ton kayu setiap tahunnya. Jumlah ini terdiri dari 280 ribu ton kayu bakar, sementara 20 ribu ton sisanya untuk bantalan. Pada 1960, DKA menggunakan 165.595 ton kayu jati untuk bahan bakar, ditambah 93.945 ton kayu hutan. DKA sendiri menyadari jika konsumsi kayu bakar dalam jumlah yang sangat banyak ini cukup memberatkan. Bahkan, untuk membayar hutang kayu bakar ke Jawatan Kehutanan, DKA menyerahkan beberapa lokomotif uap ke Jawatan Kehutanan. Satu lokomotif yang diserahkan ini, C2902, masih dapat ditemui hingga saat ini, menjadi pajangan di Taman Seribu Lampu, Cepu.
DKA juga mengonsumsi batu bara dalam jumlah yang cukup banyak, 359.260 ton pada 1960. Produksi batubara pada era 1950-60an dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan DKA, disamping sering kali batubara datang terlambat sehingga DKA harus menumpuk batubara dengan jumlah yang sangat banyak. Diambillah solusi untuk mengganti bahan bakar lokomotif ke minyak residu. Program konversi bahan bakar ini mulai dilakukan pada akhir 1950an, hingga sekitar akhir 1960an. Beragam lokomotif, mulai dari B50 hingga DD52 diganti bahan bakarnya. Khusus untuk Sumatera Barat dan Sumatera Selatan tidak dilakukan konversi, karena batubara tersedia dalam jumlah melimpah. Konversi di Jawa sendiri tidak mencakup seluruh sisa lok uap. Hingga pensiun, masih banyak lok uap yang menggunakan kayu bakar.
Artikel : Roda dan Sayap