GlobalCyberNews.Com -Suka duka menjadi penulis, meskipun terbilang belum cukup lama — sejak tahun 1976 semasa masih magasiswa — ada juga yang indah untuk diceritakan, disela jeda menulis hal-hal yang serius hingga harus mengerutkan kening yang perlu sesekali dibuat rilek dan santai. Toh, sesekali hidup ini perlu disikali dengan santai.
Pada dasarnya, dari sekian tahun menekuni dunia tulis menulis — termasuk menekuni profesi jurnalis — terjun ke lapangan yang menanrang sekalipun masih ada rasa kenikmatan yang bisa dicercap. Meski tantanganya acap mengancam keselanatan, apalagi sekedar kenyamanan. Karena di medan perang sekalipun, toh masih banyak cara menghindar agar bom tidak sampai ikutan membinasakan diri kita. Begitu pula dalam suasana bencana alam — badai dan gempa bumi termasuk meliput aksi dan unjuk rasa yang berbenturan dengan pihak aparat — yang acap lebih kejam dan kebih keji, seperti saat awal menekuni pekerjaan jurnalistik tahun 1978, ketika aksi besar yang dilakukan mahasiswa secara serentak di Bulak Sumur, Yogayakarta dengan inti pokok menolak diberlakukannya BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) dan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) begitu istikahnya kalau tidak salah hingga diubahnya istilah Dewan Mahasiswa pada era Orde Baru dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaannya dijabat oleh Daoed Yoesoef.
Bayangjan, sepanjang sejarah aksi mahasiswa menyamoaikan aspirasi rakyat yang dibungkam saat itu, panser sebagai alat perang ikut masuk ke hakaman kampus. Tentu saja tak terbang korban yang berjatuhan akibat brondongan senjata peluru tajam yang ikut membuat dinding dan tembol yang ada di Kampus Biru Universitas Gajah Mada Yogyakarta ketika itu yang ambrol dan berlubang. Ketika itu pun, sejumlah aktivis mahasiswa dari berbagai kampus pun ditangkap oleh aparat yang diperhalus dengan istilah diamankan.
Jadi sudah seseru itu pun pengalaman penulis sebagai jurnalis muda tetap masih ada keriangannya, paling tidak bisa bergabung ajrab dengan dengan sejumlah mahasiswi dari berbagai kampus dan dari berbagai fakultas, tidak cuma berkisar pada lingkup kawan-kawan dari kampus dan fakultas yang sama. Pendek kata, masih ada nuansa kekndahan dan keasyikan yang bisa dirasakan.
Tapi ketika membuat laporan hasil investigasi dan krosceck seperlunya di lapangan dianggap cukup untuk menyusun sebuah berita, sungguh lebih lebih sulit diungkapkan rasa kecewa, nelangsa dan menggerutu nyaris tak habis-habis akibat dari susunan tulisan yang sudah rampung itu tiba-tiba menghilang, seperti yang baru terjadi beberapa pekan lalu sejak meliput aksi massa yang hendak dikakukan di Desa Kohod, Pakuaji, Tangerang, Banten pada 8 Januari 2025 terkait dengan PSN PIK-2 (Proyek Strategis Nasional Pantai Indah Kapuk 2) yang menerabas hutan lindung, lahan warga nasyarakat hingga pantai dan kaut yang tekah dipagar sepanjang 30,16 kilometer yang diklaim dilakukan oleh para nelayan. Padahal, mana mungkin para belayan mau melskukan semua itu yang jelas akan menjadi penghambat bagi diri mereka untuk mencari ikan dan bisa merusak kelestarian laut yang menjadi tempat konsentrasi ikan yang menjadi andalan penghasilan mereka.
Sejak acara peliputan aksi besar warga masyarakat yang berdatangan dari berbagai daerah bergabung dengan warga masyarakat Kohod dan sekitarnya menolak pembangunan atas nama PSN PIK-2 itu untuk dibatalkan serta mengusut sutradara perancang dan pemulus dari semua prises perijinan untuk proyek yang kuat diduga cacat hukum dan cacat prosedural yang sangat banyak melanggar peraturan dan perundang-undangan.
Jadi bisa segera dibayangkangkan, tulisan laporan hasil liputan yabg telah jadi dan siap untuk dipublis itu tiba-tiba hilang, hangus dari dalam mesin komputer hingga tidak bisa diketemukan lagi bangkainya.
Bahkan, peralatan komputer pun yang memproses laporan yang telah siap disajikan itu, ikut rusak seakan dusantet oleh makhluk yang sukar diidentifikasi sosok maupun wajah tamoilannya.
Kekecewaan yang amat sangat mengganggu secara psikologis ini hanya mungkin dapat diatasi dengan cara menghibur diri, agar tidak sampai semakin memperparah rasa derita yang tidak bisa disublimasikan kepada bentuk yang lain, kecuali sabar dan pasrah untuk tetap gigih dan tangguh menulis ulang laporan yang raib ditelan setan itu, sebagai kambing yang hitam. Supaya tidak perlu berprasangka buruk kepada pihak manapun.
Selebihnya adalah menaruh prasangka baik kepada peralatan komputer sendiri yang sudah amoh — usang dan myngkin juga sudah haus — lantaran peralatan yang telah bertahun-tahun digunakan, tanpa pernah dipikir untuk diremajakan.
Jadi pengalaman bagi seorang penulis yang paling tidak enak itu adalah kehilangan tulisan yang sudah tinggal dipublis, lalu raib seperti ditelan syetan yang memang tidak jelas wujudnya. Maka itu yang paling aman menuding peralatan komputer atau hsndphond yang sudah sakut-sakitan karena usianya sudah renta, alias jompo yang mungkin dibarengi oleh gejala asam urat, reumatik dan berbagai penyakit diusia tua. Toh, yang penting serta patut disyukuri penyakit serupa itu tidak melanda dan mendera jiwa dan raga penulisnya.
Ternyata, dari pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman yang tidak kalah penting dari semua perjalanan hidup yang dinikmati dengan cara spiritual — untuk tidak menyebut sufistik — adalah menerima semua yang hilang (apalagi hanya sebuah tulisan yang sudah siap untuk dipublis sekalipun) bukan sebagai pertanda kiamat. Sebab hidup dan kehidupan dengan sejuta harapan masih banyak tersedia, meski kesabaran harus diulur seperti menunggu Dewi Fortuna yang akan diturunkan Tuhan dari langit
Banten, 3 Februari 2025
Red