
GlobalCyberNews.Com -Nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) terhadap rupiah Indonesia (IDR) kembali menunjukkan fluktuasi tajam pada Selasa (25/3/2025), dengan rupiah mengalami pelemahan signifikan.
Pada pembukaan perdagangan pagi hari ini, rupiah tercatat melemah 42 poin atau sekitar 0,26 persen menjadi Rp 16.610 per dolar AS, dari sebelumnya Rp 16.568 per dolar AS.
Pengamat pasar uang dan Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menyatakan bahwa melemahnya kepercayaan investor terhadap bursa saham Indonesia turut memberi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Menurutnya, pesimisme yang mencerminkan ketidakpastian ekonomi dalam negeri tercermin jelas dari pergerakan indeks saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Kepercayaan investor terhadap bursa saham dalam negeri turut memberikan tekanan pada rupiah. Pesimisme pelaku pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tercermin dalam pergerakan indeks saham BEI,” ujarnya, dikutip dari Antara.
Data dari situs konversi mata uang Wise juga mencatatkan bahwa dalam 30 hari terakhir, rata-rata nilai tukar USD/IDR berada di angka Rp 16.418,25, sementara dalam 90 hari terakhir berada di Rp 16.311,03. Namun, pada hari ini, 25 Maret 2025, nilai tukar USD/IDR tercatat sebesar Rp 16.625.
Fluktuasi Kurs yang Perlu Diwaspadai
Fluktuasi nilai tukar yang terjadi menunjukkan pentingnya pemantauan terhadap beberapa sumber informasi terkini. Perbedaan angka dapat terjadi karena berbagai faktor, termasuk perbedaan waktu dan metode perhitungan yang digunakan oleh berbagai penyedia layanan keuangan.
Pada 25 Maret 2025, beberapa sumber mencatatkan nilai tukar USD/IDR sebagai berikut:
Wise: Rp 16.625 per 1 USD.
BCA: Rp 16.600 untuk beli dan Rp 16.617 untuk jual.
Bank Mandiri: Nilai jual USD Rp 16.520 dan nilai beli Rp 16.490 pada 24 Maret 2025.
Perbedaan ini menegaskan bahwa informasi tentang nilai tukar harus selalu diperiksa dengan cermat dari sumber yang terpercaya.
Ekonom dari Center on Reform on Economics (Core), Yusuf Rendy Manilet, menjelaskan bahwa pelemahan rupiah berpotensi memicu kenaikan harga barang dan jasa, serta meningkatkan beban utang pemerintah yang menggunakan mata uang asing. Dikutip dari Bloomberg, rupiah sempat melemah 0,5% ke level Rp 16.642 per dolar AS, yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998.
Yusuf menjelaskan bahwa peningkatan harga barang impor akan menyebabkan pelaku usaha atau industri melakukan penyesuaian harga yang kemungkinan akan diteruskan kepada konsumen.
“Ketika nilai impor menjadi lebih besar, pelaku usaha atau industri berpotensi untuk melakukan penyesuaian harga. Penyesuaian harga yang dilakukan bukan tidak mungkin akan ditransmisikan ke harga yang harus ditanggung oleh konsumen atau masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, pelemahan rupiah juga berdampak pada struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurut Yusuf, depresiasi rupiah dapat meningkatkan nilai ekspor Indonesia karena harga produk ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar global.
Namun, di sisi lain, peningkatan nilai impor dalam rupiah juga dapat memperbesar biaya bea masuk dan pajak impor, sementara pengeluaran pemerintah untuk membayar utang luar negeri akan semakin membengkak. Dalam Hal ini Pelemahan rupiah juga akan meningkatkan beban bunga dan pokok utang yang berbasis mata uang asing dalam APBN.
Yusuf Rendy Manilet mendorong pemerintah untuk meninjau kembali asumsi nilai tukar yang digunakan dalam penyusunan APBN 2025. Dengan penyesuaian yang lebih realistis, diharapkan pemerintah bisa mengantisipasi pembengkakan biaya utang dan harga barang impor, serta memaksimalkan potensi peningkatan penerimaan negara dari sektor ekspor.
Dengan kondisi yang terus berubah di pasar global, pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor yang memengaruhi nilai tukar sangat penting. Bagi pelaku bisnis dan masyarakat, memantau fluktuasi nilai tukar secara cermat akan sangat membantu dalam pengambilan keputusan keuangan yang lebih bijak.
Leni .S
Red