
GlobalCyberNews.Com -AS adalah tujuan eksport kedua terbesar setelah china. Produk ekspor sebagian besar adalah CPO , TPT dan alas kaki. Produk itu semua terkait dengan padat karya. Kenaikan akan membuat produk Indonesia yang masuk ke pasar menjadi lebih mahal, sehingga daya saing produk tersebut akan kalah bersaing dengan produk negara lain. Hal ini akan menyebabkan pembeli dari AS mengurangi pembelian atau beralih ke pemasok lain. Nah kalau omzet perusahaan Indonesia turun tentu akan berdampak rasionalisasi, yang berpotensi menimbulkan badai PHK besar-besaran. Tentu akan berdampak serius terhadap IHSG.terutama emiten CPO, automative, TPT
Memang ekspor ke AS hanya 10% ( usd 26 miliar/usd 264 miliar) dari total ekspor Indonesia. Namun mengingat surplus neraca perdagangan kita juga 10% dari total ekspor. Tentu kenaikan tarif itu berdampak signifikan atas penerimaan devisa.. Rupiah akan sulit stabil, Penerimaan pajak juga akan turun. Defisit APBN akan melebar. Pertumbuhan ekonomi akan melambat, yang bisa saja terjadi dengan PMI kontraksi. Kalau premium CDS terus naik akibat defisit melebar, harga SBN jatuh dan yields terkerek naik. Resesi melanda tak terelakkan. Yang kemudian berujung kepada krisis hutang
Mengapa pemerintah lambat bertindak konkret? Karena seperti kata pejabat china, ini bukan sekedar kenaikan tarif resiprokal tetapi lebih kepada politik , ya Amerika gunakan tarif sebagai kebijakan geopolitik nya. Nah sementara Indonesia sejak era Prabowo sudah menentukan pilihan politik luar negeri terkait dengan mengakui nine dash line LCS, masuk BRICS, dan menggunakan asean sebagai bargain dialog dan berbeda sikap atas penyelesaian Gaza. Bagi AS tidak ada lagi ruang negosiasi dengan Indonesia kecuali hanya basa basi diplomatik. Itu resiko yang harus kita terima sebagai konsekuensi pilihan politik luar negeri.
Karena kita tidak mungkin lakukan transshipment lewat Singapura guna dapatkan tarif rendah. Procedur seperti itu prohibited bagi AS. Singapura juga tidak akan mau karena engga ada asuransi mau cover cargo itu. Tapi kita masih punya ruang lakukan diplomasi secara informal. Apa itu ? Infonesia bisa manfaatkan lobi Freeport McMoran yang dekat dengan Trump. Atau Indonesia teken kontrak jangka panjang shale gas dari AS. Semua pengusaha minyak punya lobi kuat dengan gedung putih. Ya jalan belakang aja. Pada waktu bersamaan kita deregulasi tata niaga ekspor impor agar aspek non barier dan moneter barier bisa dihapus. Dah gitu aja.
Sebaiknya cepat bertindak sebelum PHK meluas, NPL bank meledak dan IDR terjun bebas.
Red