
Global Cyber News.Com. -Pulau Natal adalah pulau kecil yang berada di selatan Pulau Jawa yang terbentuk dari aktivitas vulkanik. Geologi pulau ini didominasi oleh batu kapur.
Pulau Natal memiliki luas wilayah hanya sekitar 135 kilometer persegi. Meskipun ukurannya kecil, Pulau Natal menjadi rumah bagi sekitar ±2000 penduduk dengan latar belakang suku dan agama yang beragam.
Tidak hanya sebagai tempat yang menakjubkan secara alamiah, Pulau Natal juga menjadi contoh kehidupan harmoni dan toleransi antaragama dan suku. Meskipun terisolasi di tengah samudera, penduduknya hidup bersama dalam damai dan menghargai perbedaan satu sama lain. Bahasa Inggris adalah bahasa resmi di pulau ini, tetapi lebih dari separuh penduduk berbicara bahasa-bahasa lain seperti Mandarin, Melayu, Kanton, Tagalog, dan lainnya.
Penduduk Pulau Natal terdiri dari beragam latar belakang etnis, termasuk keturunan Tionghoa, Australia, India, Inggris, Melayu, dan Indonesia. Meskipun kecil dalam jumlah, masing-masing kelompok tersebut membawa kekayaan budaya dan tradisi mereka sendiri. Pulau ini juga memiliki sejarah yang menarik, termasuk masa penjajahan dan pengaruh berbagai kebudayaan.
Pulau Natal pertama kali dilihat oleh Richard Rowe pada tahun 1615. Kemudian pada 25 Desember 1643 Kapten William Mynors menemukan pulau ini dan langsung menamainya Pulau Natal karena ia menemukanya tepat pada hari Natal. William Mynors adalah seorang kapten laut berkebangsaan Inggris. Dia merupakan master kapal milik East India Company (EIC) bernama Royal Mary.
Pulau Natal pertama kali dikunjungi oleh bangsa Eropa ketika navigator Inggris, William Dampier, singgah pada Maret 1688. Saat itu, pulau ini sama sekali belum dihuni. Pulau ini hanya berfungsi sebagai stasiun singgah bagi kapal yang berlayar antara Asia dan Australia. Orang-orang Inggris juga juga singgah di Pulau ini untuk meneliti keadaan alam serta biota di sana.
Kemudian Pulau ini diklaim oleh Kerajaan Inggris pada 1887, Penyebabnya adalah kemunculan fosfat membuat Inggris tergiur pada Pulau Natal.
Setelah didirikannya pemukiman bernama Flying Fish Cove beserta perusahaan fosfat, 200 buruh Tiongkok, delapan manajer Eropa, dan lima polisi Sikh, tiba di pulau itu untuk menjadi tenaga kerja, ditambah dengan sejumlah kecil orang Melayu. Dalam periode tersebut, Pulau Natal dipakai untuk berbagai tujuan, meliputi penambangan endapan fosfat, yang saat ini dijadikan sebagai mata pencaharian utama oleh penduduk.
Pada masa Perang Dunia II, tentara Jepang menduduki Pulau Natal pada tanggal 31 Maret 1942. Jepang menyerang kapal fosfat dari Norwegia yang bernama The Eidsvold di Flying Fish Cove. Hal tersebut membuat 50 keluarga Asia dan Australia dievakuasi ke Perth.
Tak berhenti di situ, 900 tentara Jepang menyerbu dan menduduki Pulau Natal, memenjarakan orang Eropa yang tersisa dan memburu 1.000 pekerja Melayu dan Tiongkok di hutan-hutan pulau itu.
Setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Jepang meninggalkan Natal yang kemudian menjadi pulau bebas. Inggris mengambil alih pulau itu dari Jepang atas nama Ratu Victoria, tetapi pada 1946, pulau itu ditempatkan di bawah yurisdiksi Koloni Mahkota Singapura. Pada 1949 Australia dan Selandia Baru membeli perusahaan bernama Christmas Island Phosphate.
Kemudian Inggris mengeluarkan Undang-Undang Pulau Natal pada 14 Mei 1958 untuk mengalihkan otoritas atas Pulau Natal dari Singapura ke Australia. Undang-Undang Pulau Natal Australia disahkan pada September 1958, dan pulau ini secara resmi berada di bawah otoritas Australia sejak 1 Oktober 1958, sehingga pulau itu sampai saat ini menjadi bagian dari Wilayah Australia.
Red