Global Cyber News.Com. -Bayangkan berjalan menyusuri jalan-jalan sempit yang dipenuhi aroma rempah dan asap dapur dari rumah-rumah berdinding kayu dan bata merah. Inilah Batavia pada abad ke-17, jantung kekuasaan VOC di Hindia Timur.
Kota ini dibangun di atas reruntuhan Jayakarta, yang ditaklukkan oleh Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619. Di balik tembok-tembok tinggi dan kanal-kanal yang menyerupai Amsterdam, Batavia menjadi pusat dagang yang sibuk—tempat di mana kapal-kapal dari Eropa, Tiongkok, India, hingga Nusantara saling bersilang arah, menurunkan muatan lada, pala, kain sutra, dan keramik.
Namun di balik kemegahan itu, Batavia juga menyimpan wajah muram. Kota ini sering dijuluki sebagai “kuburan orang Eropa” karena iklim tropis dan wabah penyakit seperti malaria yang begitu mematikan bagi para pendatang. Ironisnya, kanal-kanal yang indah itu justru menjadi sarang nyamuk pembawa maut.
Warga kota terdiri dari campuran ras dan budaya: Belanda, Tionghoa, Arab, India, dan pribumi Indonesia hidup berdampingan—meski tak selalu sejajar. Hirarki sosial sangat terasa. Orang Belanda tinggal di rumah-rumah besar berarsitektur Eropa, sementara bumiputra dan budak tinggal di pinggiran kota, di tempat-tempat yang lembab dan kumuh.
Meski penuh ketimpangan, Batavia juga menjadi saksi percampuran budaya yang luar biasa. Bahasa Melayu Betawi mulai terbentuk, makanan seperti soto, nasi uduk, dan kerak telor mulai dikenal, dan seni pertunjukan jalanan mulai menyemarakkan malam kota.
Batavia adalah cermin masa lalu yang pahit sekaligus menarik. Kota yang dibangun di atas puing-puing penaklukan, tapi melahirkan wajah awal dari Jakarta yang kita kenal sekarang.
Red
