Friday, May 9, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
HomeUncategorised๐—๐˜‚๐—ฟ๐—ป๐—ฎ๐—น๐—ถ๐˜€๐—บ๐—ฒ ๐—–๐—ฎ๐—ป๐—ด๐—ธ๐—ฒ๐—บ
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist



๐—๐˜‚๐—ฟ๐—ป๐—ฎ๐—น๐—ถ๐˜€๐—บ๐—ฒ ๐—–๐—ฎ๐—ป๐—ด๐—ธ๐—ฒ๐—บ

Oleh Wicaksonoยฒ

Global Cyber News.Com. -Di negeri yang katanya menjunjung demokrasi, warganya saban hari dicekoki omongan elite, dan medianya belakangan ini kian mirip acara infotainmen sore hari: gaduh, tapi minim substansi.

Ada masa ketika jurnalis dikenal karena sepatunya yang kotor oleh lumpur lapangan, bukan karena baterai ponselnya cepat habis gara-gara terlalu sering teleponan dengan “orang dalam” atau bertukar pesan di WAG.

Sekarang, banyak berita seolah lahir dari obrolan warung kopiโ€”bedanya, yang menyeduh bukan barista, tapi para elite politik yang punya agenda tersembunyi. Lalu disajikan ke publik oleh media, lengkap dengan label “investigasi”, padahal sebenarnya cuma hasil nguping yang diketik ulang.

Judulnya bisa saja bombastis, “investigasi skandal besar”, padahal isinya cuma transkrip bisik-bisik.

Kita sedang menyaksikan mekar indahnya sebuah mazhab baru dalam dunia pemberitaan: jurnalisme cangkem, atau dalam versi yang lebih vulgar: jurnalisme ludah.

Ini praktik jurnalistik yang tak mengandalkan dokumen, data, atau tapak kaki di lapangan, melainkan cukup dengan mengarahkan mikrofon dan berharap ludah narasumber membentuk narasi yang menggugah.

Tak heran, hasilnya kerap seperti mi instan yang belum direbus: mentah, keras, dan bikin mual kalau ditelan mentah-mentah. Dalam situasi ini, jurnalis bukan lagi pencari kebenaran, tapi mak comblang antara opini narasumber dan keyakinan publik. Wartawan berubah jadi ๐˜ญ๐˜ฐ๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ด๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ณ, bukan ๐˜ต๐˜ณ๐˜ถ๐˜ต๐˜ฉ ๐˜ด๐˜ฆ๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ณ.

Padahal, kata orang bijak (yang entah siapa), setiap narasumber menyembunyikan niat di balik senyum dan suara pelan. Entah demi naik jabatan, menjatuhkan lawan, atau cuma ingin viral di WAG alumni.

“Orang selalu punya agenda,” kata Michael Schudson, profesor jurnalisme di Columbia University, dalam bukunya ๐™’๐™๐™ฎ ๐˜ฟ๐™š๐™ข๐™ค๐™˜๐™ง๐™–๐™˜๐™ž๐™š๐™จ ๐™‰๐™š๐™š๐™™ ๐™–๐™ฃ ๐™๐™ฃ๐™ก๐™ค๐™ซ๐™–๐™—๐™ก๐™š ๐™‹๐™ง๐™š๐™จ๐™จ.

Schudson memperingatkan, โ€œJurnalisme tidak boleh hanya mencatat suara-suara kekuasaan. Ia harus memverifikasi, menantang, dan menyaring.โ€

Sayangnya, di sini, justru banyak jurnalis yang seperti alat perekam tua: merekam apa adanya, termasuk noise dan kebohongan yang tersembunyi di balik diksi manis.

Di balik kutipan โ€œmenurut sumber yang enggan disebutkan namanyaโ€, sebenarnya bersembunyi dua hal: muslihat politik dan niat balas dendam.

Ibarat orang jual gorengan basi tapi dibungkus daun pisang segar, media besar pun kerap tak segan menjual narasi basi dengan bumbu โ€œeksklusifโ€, โ€œberaniโ€, atau โ€œmengguncangโ€.

Dalam politik, ini makin berbahaya. Karena narasumber dari partai, pejabat, staf khusus, atau mantan pejabat biasanya tidak sedang memberi informasi โ€” mereka sedang melakukan operasi. Operasi pencitraan, operasi pengaburan, operasi pengalihan. Tapi karena dilabeli โ€œnarasumber terpercayaโ€, ludah mereka mendadak suci.

Kita bisa bercermin pada Edward S. Herman dan Noam Chomsky dalam ๐™ˆ๐™–๐™ฃ๐™ช๐™›๐™–๐™˜๐™ฉ๐™ช๐™ง๐™ž๐™ฃ๐™œ ๐˜พ๐™ค๐™ฃ๐™จ๐™š๐™ฃ๐™ฉ, di mana media tidak berdiri sebagai penjaga moral publik, tapi justru sebagai mesin pembentuk realitas sesuai kepentingan elite.

Dalam sistem seperti ini, berita bukan lagi produk verifikasi, melainkan hasil negosiasi: siapa yang punya akses, dia yang bicara; siapa yang bicara, dialah yang โ€œbenarโ€.

Lucunya, publik tetap percaya. Asal medianya pakai logo besar dan tagline berani, maka berita itu dianggap suci, meski isinya hanya ocehan yang diminyaki kepentingan.

Itu mirip-mirip percaya pada dukun yang tampil di TV: makin sering muncul, makin dianggap manjur, walau ramalannya selalu meleset.

Komunikolog macam Michael Schudson dari Columbia pernah bilang, jurnalis bukan pipa saluran suara kekuasaan, tapi penyaringnya. Tapi di sini, banyak yang lebih senang jadi keranโ€”asal airnya deras, tak penting jernih atau keruh.

Publik percaya pada yang sering tampil, bukan yang bisa membuktikan. Ini seperti memilih tabib berdasarkan seberapa sering dia muncul di TikTok, bukan dari seberapa banyak pasien yang sembuh.

Fenomena ini mengajarkan satu hal: banyak berita hari ini bukanlah hasil kerja keras mencari kebenaran, melainkan hasil kerja lembur meramu keinginan narasumber.

Jurnalis pun tak lagi dikenal dari catatan liputan, tapi dari daftar kontak di ponselnya. Bila wartawan dulu bangga membawa notes dan kamera, sekarang cukup dengan, โ€œSaya kenal orang dalamโ€.

Dan publikโ€”kita semuaโ€”jadi seperti penonton sulap yang tak sadar kalau topi pesulap itu kosong sejak awal, tapi tetap bertepuk tangan saat kelinci keluar entah dari mana.

Kalau terus begini, jurnalisme kita bisa-bisa tinggal jadi teater bayangan, di mana sumber adalah dalang, media adalah layar, dan publik cuma wayang yang digerak-gerakkan oleh informasi setengah matang.

Kalau dibiarkan terus begini, barangkali perlu dibuat museum jurnalisme, di dalamnya ada satu ruang khusus: Ruang Pengakuan Dosa Ludah โ€” tempat narasumber dan wartawan duduk bersama, merenungi semua kutipan yang pernah mereka ciptakan, tanpa data, tanpa malu.

Maka, boleh jadi sudah saatnya kita bertanya: masihkah jurnalis punya sepatu lapangan? Atau cukup sandal hotel dan WAG?

Mungkin, sudah waktunya jurnalisme kembali berjalan kaki, menyusuri lorong, mendengarkan suara rakyat biasa, bukan sekadar mencatat bisikan pejabat. Karena kalau tidak, berita kita akan terus penuh ludah, dan pembaca akan terus ditipu dengan percaya bahwa itu embun.

Mari kita akhiri era jurnalisme cangkem, sebelum ia menjadikan publik seperti kambing yang dipaksa percaya pada suara harimau โ€” hanya karena harimau itu bicara dari podium yang disiarkan ๐˜ญ๐˜ช๐˜ท๐˜ฆ. (*)

Red

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts