
Global Cyber News.Com. -“Waktu saya selesai sarjana muda tahun 1956 itu ada tawaran melanjutkan ke sekolah perpustakaan di Amerika. Saya ambil walaupun saya ndak tau apa itu perpustakaan. Di UI buku secuil pun ndak ada. Apalagi perpustakaan, ndak ada. Kalau kita perlu
buku, kita harus beli sendiri. Waktu itu perpustakaan belum dikenal. Sehingga waktu saya sampai di Amerika, saya heran sekali, ‘Oh ini namanya perpustakaan! (ketawa) Gede-gede banget, banyak banget bukunya.”
Murtini bisa jadi tidak mengenal perpustakaan hingga ia ke Amerika Serikat (AS). Tapi, dia tak asing dengan buku dan membaca. Sejak kecil ia dikelilingi orang-orang terpelajar yang mendorongnya untuk menyukai bacaan. Ayahnya, seorang punggawa di Tegal Cangkring, Negara, senang “mebasan” – membaca sambil menyanyikan cerita-cerita panji dalam bahasa Kawi yang tertulis di lembar-lembar lontar tua bersama teman-temannya semalam suntuk. Salah satu pamannya, Putu Roma, pengumpul buku dan pendiri sekolah bagi anak-anak perempuan di Singaraja, kerap memberinya hadiah buku. Yang paling dia ingat adalah buku komik Flash Gordon, “setebal buku telpon!”
Perempuan yang lahir di Singaraja pada 17 Agustus 1931 dengan nama Ni Luh Putu Murtini Koriawan ini merasa beruntung sudah memperoleh kesempatan belajar di sekolah-sekolah terbaik di Bali dan Jawa. Pengalaman belajarnya di Columbia University, AS, membuatnya jatuh cinta pada perpustakaan. Sekembalinya ke Indonesia dengan gelar MSc di bidang ilmu perpustakaan, ia segera diangkat menjadi wakil direktur Sekolah Perpustakaan yang dikelola Kementerian P dan K. Tak lama kemudian, sekolah ini menjadi jurusan Ilmu Perpustakaan di Fakultas Sastra UI, dan Murtini menjadi ketua jurusan ketika usianya masih 30 tahun. Dengan giat ia memperkenalkan pentingnya perpustakaan ke berbagai kalangan, antara lain di kongres Himpunan Sarjana Indonesia (HSI).
Sedang asyik-asyiknya ia tekuni bidang baru ini, dahagi Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965, yang ditanggapi dengan penyergapan dan pembantaian terhadap siapa pun yang dicap sebagai PKI mengubah hidupnya sama sekali. Murtini dipanggil oleh Rektor UI Soemantri Brodjonegoro, yang menyatakan ia dipecat karena ia pernah hadir dalam kongres HSI. Menurut pemerintah Orde Baru, HSI adalah organisasi di bawah naungan PKI.
Murtini sulit mencari kerja. Sementara suaminya, Nyoman Pendit, salah satu pelopor industri pariwisata Indonesia, diberhentikan dari Dewan Pariwisata, lalu ditahan selama 6 tahun sejak 1967. Nyoman tidak pernah ikut organisasi apa pun, tapi karena ia pernah ikut gerilya semasa revolusi kemerdekaan di Bali, ia berteman baik dengan para pejuang yang kemudian menjadi anggota partai, termasuk PKI. Ada empat anak yang harus dihidupi. Murtini pun berjualan kue di kantin-kantin beberapa kantor di Jakarta.
Untunglah Murtini bertemu dengan pengusaha ternama Masagung, yang saat itu sedang mengembangkan sebuah lembaga kebudayaan, Yayasan Idayu. Pengagum Sukarno ini ingin melanjutkan kerja-kerja kaum nasionalis kerakyatan untuk melahirkan manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter. Selain membuka toko buku Gunung Agung, perpustakaan dan penerbitan menjadi pusat perhatian pengusaha dermawan ini. Murtini pun dipercayai untuk membangun perpustakaan Yayasan Idayu. Ia menyampaikan ke Masagung bahwa perpustakaan Idayu harus memiliki ciri khas. Menurutnya yang tepat adalah membangun koleksi “modern Indonesian history”.
Di bawah kepengurusan Murtini perpustakaan Idayu menjadi institusi acuan bagi kaum pelajar, mahasiswa, dan intelektual pada umumnya. Saat itu belum ada perpustakaan nasional. Masagung tak segan-segan mengeluarkan biaya besar untuk pengembangan koleksi perpustakaan tersebut. Gubernur Jakarta Ali Sadikin ikut mendukung dengan memberikan ruang yang luas di Gedung Kebangkitan Nasional secara cuma-cuma. Koleksi bukunya mencapai 180.000 lebih, belum lagi ratusan koleksi koran, majalah, film dan mikrofis. Anggota tetap berjumlah 23.000 di luar masyarakat pengguna. Murtini juga sering mengundang tokoh-tokoh publik seperti SK Trimurti dan Bung Hatta untuk berbicara di perpustakaan tersebut. Selain itu Idayu juga menerbitkan bahan-bahan bacaan untuk umum. Murtini mengenang pada suatu saat ada 70 orang yang bekerja di bawah komandonya sekretaris pelaksana yayasan.
Murtini amat menikmati hari-hari membangun perpustakaan Idayu. Dengan bangga ia menyatakan bahwa koleksi bibliografis yayasan tersebut yang terlengkap di Indonesia di masa itu. Sayang ia harus meninggalkan tempat bekerja yang sangat ia cintai karena perbedaan pendapat dengan pihak yang mengganggap pengeluaran untuk lembaga tersebut pemborosan belaka. Yayasan Idayu menghadapi masalah setelah pemerintah Suharto menggusurnya dari Gedung Kebangkitan Nasional. Murtini berusaha menyelamatkan koleksi berharga perpustakaan Idayu dengan menghubungi pimpinan Perpustakaan Nasional. Koleksinya terlalu besar untuk ditampung di Perpustakaan Nasional yang baru berdiri pada 1980. Sebagian besar akhirnya hancur karena kebanjiran dan dimakan rayap – kisah klasik dunia pengarsipan di Indonesia.
Murtini tidak berhenti menjadi pustakawan. Pengetahuannya yang luas tentang dunia perpustakaan dan penerbitan dibutuhkan banyak institusi. Ia diminta membangun perpustakaan dan usaha penerbitan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI. Ia juga terlibat dalam pendirian perpustakaan-perpustakaan daerah yang dibiayai UNDP. Dengan jeli ia melihat persoalan proyek berbiaya amat besar ini. Pemerintah tidak cukup menerbitkan buku sehingga perpustakaan miskin isi. Murtini juga mengalami diskriminasi dalam hal penggajian dan pengaturan waktu kerja dan libur. Konsultan-konsultan asing mendapat gaji berlipat dan liburan lebih banyak ketimbang pekerja lokal seperti dirinya yang kunci bagi pelaksanaan kerja di lapangan.
Menjelang usianya yang ke 93 tahun, Murtini masih sehat walafiat dengan ingatan yang jernih. Ia mengelola rumah tangganya sendiri dengan menerima anak-anak kos di tengah kota Jakarta. Kadang-kadang ia merasa kesepian karena suami, kerabat, dan sahabatnya sudah meninggal dunia. Hiburannya adalah membaca berita-berita sosial dan politik di media sosial. Sesekali ia menceritakan pengalamannya melalui tampilan foto-foto dari masa lalu. Kisah-kisahnya selalu bernas dengan sejarah. Namun, sebagai pustakawan pelopor ia tetap rendah hati dalam bertutur.
Red