Jacob Ereste :
Global Cyber News.Com. -Tokoh mitologi Jawa, diantaranya Ismaya, nama lain dari tokoh Semar yang populer dalam khazanah pewayangan di Indonesia. Dan Semar dianggap sebagai titisan dewa yang erat terkait dengan nilai-nilai spiritual dan kebijaksanaan. Sama halnya dengan kitab Ismaya yang tak pernah ada wujudnya, namun selalu disebut dalam berbagai cerita warisan tradisional.
Banyak orang pun acap salah memahami Kitab Ismaya identik dengan Kitab Adam Makna yang berasal dari ajaran Jowo Sanyoto itu. Padahal, Kitab Adam Makna berisi ajaran kehidupan, tata persembahan dan penjelasan makna dari huruf Jawa (Hanacaraka). Sehingga, kitab ini dikaitkan dengan Ki. Kere Sabda Gedibal yang dianggap sebagai reinkarnasi dari Ki. Semar Badranaya, titisan dari Sang Hyang Ismaya. Jadi jelas, kitab ini bukan Kitab Ismaya.
Tokoh Ismaya memang dianggap paling istimewa dalam dunia pewayangan dan kepercayaan spiritual dalam tradisi Jawa. Karena Ismaya disebut-sebut memiliki dimensi ketuhanan dalam sifat dan sikapnya yang sederhana.
Sebagai titisan dewa, Ismaya dianggap sebagai penjelmaan dari Sang Hyang Wenang, penguasa kahyangan tertinggi, lalu turun ke dunia sebagai Semar menjadi punakawan yang menemani para kesatria Pandawa.
Kendati berwajah tidak ganteng dan acap Bertingkah laku konyol, sebagai Semar dia memiliki kebijaksanaan spiritual yang dalam, sehingga dia menjadi penasehat para raja atau para petinggi di negeri Karang Kedempel yang tidak semewah dan semegah seperti Astina, Amarta maupun Alengka. Namun, Karang Kedempel merupakan pusat spiritual, bukan pusat kekuasaan. Artinya, Karang Kedempel merupakan tempat pembelajaran nilai-nilai yang luhur, kejujuran, kesetiaan dan kebijaksanaan. Artinya, Karang Kedempel bersifat simbolik, bukan geografis, karena menjadi tempat pengolahan batin sehingga nilai-nilai spiritual dan kebijaksanaan hidup dapat terjaga dan terus ditingkatkan.
Agaknya, Indonesia hari ini perlu memiliki tempat atau wilayah seperti Karang Kedempel untuk mengembalikan etika, moral dan akhlak mulia manusia guna membangun negeri yang carut marut akibat ulah kerakusan rezim yang super tamak dan egoistik.
Atau, diperlukan semacam kawah candradimuka yang lebih bersifat simbolis dan mitologis untuk menempa diri agar dapat menjadi kesatria yang tangguh, tidak terkontaminasi oleh budaya korup, khianat dan penyelewengan dalam memanfaatkan jabatan atau kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, tanpa mengindahkan hak orang lain.
Karena bangsa Indonesia tidak bisa berharap banyak pada Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional), apalagi dari BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila). Sebab, Lemhannas yang berfungsi memberi pendidikan dan pelatihan bagi calon pemimpin tampaknya telah gagal hingga melahirkan para pemimpin yang korup dan khianat terhadap bangsa dan negara Indonesia. Terlebih lagi BPIP yang lebih tidak jelas program dan fungsinya untuk membina dan menguatkan ideologi Pancasila yang justru semakin dilupakan banyak orang. Lalu pendidikan Pancasila seperti apa yang telah dilakukan BPIP, baik secara formal maupun informal.
Karena nyata dan jelas, tugas dan fungsi BPIP untuk menjaga agar Pancasila tetap dapat menjadi dasar negara,ideologi nasional dan panduan kehidupan berbangsa dan bernegara telah gagal total terjawab oleh maraknya pengkhianatan aparatur negara serta tindak pidana korupsi yang semakin meresahkan dan menyengsarakan rakyat.
Banten, 6 Juni 2025
Red
