
Global Cyber News.Com. -Mie instan digunakan dalam keadaan keterpaksaan atau kedaruratan. Bukan untuk keadasn normal. Yang dalam prosesnya sangat cepat dan mudah, tidak pakai ribet. Siapapun bisa memasak mie instan tanpa takut salah. Nilai gizi Mie Instan sangat rendah, dan tidak memenuhi syarat gizi standar. Sedangkan memasak Sushi, dibutuhkan keterampilan atau keahlian dan pilihan bahan-bahan yang baik. Tidak asal jadi. Tidak semua orang bisa membuat Sushi. Sushi memiliki kualitas gizi yang sangat bagus, karena menggunakan bahan-bahan pilihan yang terbaik.
Tampak jelas perbedaan antara Timnas PSSI saat menghadapi Timnas Negeri Sakura. Yang tampak bukan hanya saat bertanding – yang seperti Jerapah dipermainkan oleh si KANCIL, atau Gajah yang diserang oleh Semut – tapi juga dalam proses pembentukan Timnas.
Jepang mempersiapkan dirinya lebih kurang 30 tahun yang lalu. Melalui berbagai even-even kompetisi yang berjenjang, terukur dan berkelanjutan, berkesinambungan, juga melalui kurikulum yang baku untuk membuat atau membentuk sebuah karakter pemain seperti yang diharapkan.
Sementara Indonesia tidak demikian. Kurikulum tidak ada. Program yang berjenjang dan berkelanjutan juga tidak ada. Puluhan kali berganti pelatih bahkan sampai pelatih dari luar negeri, demi pembentukan Timnas Halusinasi. Setiap ganti pelatih selalu berganti gaya dan karakter permainan yang membuat bingung para pemain.
Kail vs Ikan
Orang yang diberi kail pasti berpikir keras bagaimana caranya bisa menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Mulai dari ukuran kail, Panjang pendeknya ukuran tali, sampai pilihan yang tepat memilih umpan. Sementara orang yang diberi ikan tidak berpikir panjang yang penting segera dimasak dan dimakan. Selesai.
Jepang berpikir keras mengerahkan semua potensi dan kompetensinya bagaimana bisa membentuk Timnas yang tangguh di masa depan. Sementara Indonesia cari jalan pintas dan instan dengan proyek naturalisasinya. Yang dianggapnya bahwa pemain naturalisasi lebih unggul dibanding pemain lokal. Selain itu juga tidak perlu repot-repot melakukan pembinaan puluhan tahun. Maka dalam hitungan hari terbentuklah Timnas halusinasi unggul dan tangguh. kompetisi Liga sepak bola Indonesia sama sekali tidak ada kaitannya dengan pembentukan Timnas.
Bahkan saat ini sedang diperjuangkan agar setiap klub boleh merekrut 11 pemain asing dan yang di lapangan delapan pemain. Sungguh logika di luar nalar orang normal. Liga hanyalah pesta hura-hura para mafia bola.
Pada laga AFC antara Jepang melawan Indonesia, selasa 10/6/2025, di Jepang, seperti menonton pertandingan antara Jerapah melawan Si Kancil yg Cerdas. Para pemain Indonesia yang hanya beberapa hari dikumpulkan seperti anak-anak PAUD yang disuruh menghafalkan Puisi pendek. Dari awal hingga akhir pertandingan tidak ada perubahan strategi. Monoton. Serba ragu serta rikuh. Pelatihnya hanya terbengong-bengong saat pasukannya dihajar habis-habisan oleh lawan.
Sementara Timnas Jepang dengan santai dan bergembira, mampu mengeksplorasi semua potensinya dengan optimal. Mereka seperti sedang mengajari Timnas Indonesia bagaimana bermain bola yang baik dan benar. Meskipun rata pemain Jepang bertubuh mungil, namun kelincahan dan skill individunya sangat tinggi dan piawai. Tidak mengherankan jika puluhan pemain Jepang banyak yang merumput di klub-klub besar Eropa. Tiga puluh tahun lalu Jepang pernah berguru dari Indonesia dalam mengelola Liga Profesional. Sekarang berbalik 90⁰, Sang Guru Indonesia wajib berguru kepada si Murid Jepang – yang ternyata Si Murid jauh melejit prestasinya, sementara Si Guru semakin sempoyongan jalannya dimakan umur.
Kembali ke titik nol
PSSI harus berlapang dada dan ikhlas untuk kembali dari TITIK NOL. Lupakan mimpi-mimpi instan, lupakan proyek naturalisasi, Dan lupakan berhalusinasi. Memang sangat berat tetapi wajib dan harus dilakukan jika ingin memiliki Timnas yang berkarakter dan tangguh di masa depan. Pertama, buatlah kurikulum sepak bola yang baku dengan visi misi dan kiblat yang benar dan tepat. Jangan seperti selama ini selalu berganti-ganti pelatih dan berganti-ganti gaya permainan yang membingungkan juga merusak permainan dari para pemain. Kedua, buatlah pembinaan sepak bola yang berkarakter berjenjang dan berkelanjutan. Mulai dari usia dini sampai senior harus merupakan satu garis komando yang linier terukur. Setiap SSB harus mematuhi kurikulum yang dibuat oleh PSSI. Pembentukan karakter dan skill individu harus menjadi prioritas utama pada level usia dini. Ketiga, adakan program kompetisi pemain u-15 , u-16, u-17, u-18 sampai u-19 secara konsisten. Keempat, kompetisi Liga Senior harus sepenuhnya mendukung terbentuknya Timnas. Pemain asing maksimal hanya dua orang, jangan lebih dari itu. Kelima, PSSI sudah saatnya menggunakan Scientist keolahragaan mulai dari pemanduan Bakat, pembinaan dan kepelatihan, serta dalam pemenuhan gizi para pemain sesuai dengan golongan darahnya.
Lebih baik mundur 100 langkah daripada memaksa maju semakin hancur, karena salah jalur. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Lebih gentle PSSI mengakui gagal daripada memaksa diri meraih prestasi yang sebenarnya hanyalah sebuah fantasi atau halusinasi.
Ta Iriando
Malang, 12. Juni 2025
Red