
Oleh: Rizal Tanjung
Global Cyber News.Com. -Tulisan Jacob Ereste mengenai Negarakertagama membuka kembali lembaran penting tentang relasi erat antara kekuasaan dan sastra dalam sejarah peradaban Nusantara. Namun, jika kita tarik lebih jauh dan melampaui sekadar Negarakertagama, maka benang merah yang menghubungkan pujangga dengan kemajuan suatu bangsa terlihat jelas dan tajam, bahkan sejak zaman Yunani, Romawi, Dinasti Tiongkok, hingga kekhalifahan Islam.
Dalam dunia Yunani kuno, nama-nama seperti Homer bukan hanya pengisah epik, tetapi juga pembentuk imajinasi kolektif bangsa. Iliad dan Odyssey bukan sekadar sastra, melainkan pondasi nilai, moral, dan identitas. Di Romawi, penyair seperti Virgil lewat Aeneid menjadi bagian dari proyek ideologis membangun kebesaran Roma. Di Tiongkok, para penyair dinasti Tang dan Song seperti Du Fu dan Li Bai tidak hanya mendendangkan keindahan, tetapi menjadi suara nurani zaman yang mengkritik kekuasaan, perang, dan ketimpangan. Dalam dunia Islam, nama-nama seperti Rumi, Hafez, hingga Al-Mutanabbi membuktikan bahwa puisi adalah jantung dari filsafat, spiritualitas, dan politik.
Apa yang membedakan peradaban-peradaban itu dengan kondisi Indonesia hari ini? Jawabannya: penghargaan terhadap penyair sebagai pembentuk arah bangsa. Di republik ini, penyair sering dianggap sebagai pengganggu ketenangan status quo. Karya mereka dituding terlalu abstrak, terlalu liar, terlalu tak berguna bagi dunia praktis. Negara ini tampaknya lebih bangga memelihara monumen peninggalan kolonial daripada menumbuhkan monumen intelektual anak bangsanya sendiri.
Padahal sejarah sudah membuktikan: tak ada kejayaan tanpa kebangkitan imajinasi. Dan tak ada imajinasi tanpa keberanian untuk mendengar suara penyair. Justru penyairlah yang pertama kali membayangkan masa depan yang belum ada. Jika Negarakertagama mampu membayangkan Majapahit sebagai imperium besar dengan dasar moral dan spiritual, mengapa kini suara-suara seperti itu malah dibungkam atau diasingkan dari ruang publik?
Indonesia Emas 2045 akan tetap menjadi jargon kosong bila kita terus menutup telinga dari puisi anak negeri yang lahir dari luka, cinta, kritik, dan harapan. Tidak ada bangsa besar yang lahir dari mentalitas minder wardeg terhadap budaya sendiri. Dan tidak ada peradaban agung yang terbangun tanpa menyerap inspirasi dari pujangga yang berjalan di pinggiran, menulis dengan darah, air mata, dan cahaya.
Sudah waktunya Indonesia membuka diri—bukan hanya terhadap investasi asing atau teknologi global, tapi terhadap kekayaan intelektualnya sendiri. Inspirasi itu tidak selalu datang dari birokrat, ekonom, atau teknokrat, tetapi juga dari pujangga, penyair, dan filsuf jalanan yang menyuarakan yang tak mampu disuarakan oleh kekuasaan.
Jika Negarakertagama adalah bukti sejarah bahwa puisi bisa menjadi peta politik dan spiritual bangsa, maka kita punya alasan kuat untuk menyusun kembali arah Indonesia melalui karya-karya penyair hari ini. Bukan dengan menengok ke belakang dengan nostalgia kosong, tetapi dengan menjadikan masa lalu sebagai pijakan untuk loncatan besar menuju masa depan yang lebih beradab, lebih adil, lebih puitis—dan lebih manusiawi.
Padang,2025.
Red