Wednesday, July 2, 2025
HomeUncategorised*Seni dan Budaya Kita Seperti "Batang Tarandam" Yang Harus Diangkat Oleh Fadli...
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Related Posts

Featured Artist


*Seni dan Budaya Kita Seperti “Batang Tarandam” Yang Harus Diangkat Oleh Fadli Zon*

Jacob Ereste :

Global Cyber News.Com. -Monolog yang langgeng, karena dialog telah macet tak menemukan muara pertemuan ide dan gagasan serta usulan yang bisa memperderas arus pengetahuan meluas sampai pantai sebrang yang belum pernah diarungi sebelumnya oleh siapapun. Oleh karena itu, monolog menjadi alternatif untuk memberi celah menyampaikan ide tanpa harus menunggu respon yang diharapkan dari pihak lain yang belum terbuka atau bahkan memang menutup akses untuk bertukar pikiran secara lebih sehat dan produktif guna menemukan solusi terbaik untuk semua pihak.

Dalam kondisi dan situasi yang mampet seperti, sungguhkah masih diperlukan terobosan semacam monolog — sebagai alternatif pilihan — dari sejumlah cara yang harus ditempuh supaya suasana tidak semakin membeku, mengeras seperti batu membeku, jadi semakin sulit dipecahkan. Agaknya, begitu juga tentang puisi esai yang lahir dari keresahan dan kemandegan sastra pada umumnya di Indonesia, sebagai induk semang dari berbagai seni pertunjukan maupun pementasan hingga pembacaan puisi serta penulisan cerita pendek dan novel terkesan mati suri. Jadi pertanyaan pokoknya, apakah dialog masih dianggap penting, seperti batin yang resah terhadap simpul-simpul. budaya masa lalu, hingga tradisi penulisan seperti pun kuyu layu terkulai persis seperti media cetak di Indonesia sejak tahun 2000-an lalu.

Seni dan budaya yang mengusung nilai-nilai moral sebagai ekspresi dari spiritual akan segera punah, karena memang tidak ada perhatian dari pemerintah. Bahkan untuk obyek wisata sejarah dan wisata ziarah spiritual pun banyak terbengkalai tidak terurus untuk dapat dimaksimalkan fungsi dan peranannya dalam membangun karakter anak bangsa yang membumi agar memiliki kepribadian diri sendiri yang menyerap dan mewarisi nilai-nilai luhur dari para leluhur.

Fenomena dari kelahiran puisi esai yang dipelopori Denny JA bersama kawan-kawan di Indonesia sejak 5 tahun terakhir — karena memang ada yang sudah memulai sebelumnya — tampak jelas merupakan sebuah perlawanan dan pemberontakan terhadap supremasi sastra Indonesia yang letoy, tak punya gairah hidup untuk terus berperan dalam jagat sastra Indonesia di dunia. Kondisi sastra yang letoy ini tampak dibarengi oleh berbagai bentuk karya seni lainnya, mulai dari pementasan drama (tester), pameran lukisan, pertunjukan seni tari hingga macapat dan pantun yang pernah diantar oleh budaya tradisi suku bangsa Nusantara sebelum kemerdekaan (1945) sampai era tahun 1980-an, tak hanya terkesan mati suri, tetapi lebih menunjukkan sedang disusun memasuki ruang museum untuk melengkapi nostalgia masa lalu yang pernah berperan mengambil bagian dalam perjuangan hidup suku bangsa Nusantara yang telah meng-Indonesia seperti hasrat untuk membangun suasana hal yang baru dengan membabi buta untuk segera meninggalkan hal-hal yang lama.

Seni pertunjukan ketoprak, ludruk hingga wayang dan pantun, terbangan, zikir baru, ngedio dan cangget saat merayakan hari pernikahan dab khitanan — kalau masih ada — hanya sekedar untuk menandai bahwa adat tradisi serta adat budaya dulu pernah ada. Kekalahan budaya ini pun tampak dalam nafas yang tersengal dalam seni lukis, film, pembacaan puisi dan cerita pendek yang nyaris tak ada dalam event (acara) Dewan Kesenian maupun gedung pertunjukan di Ibu kota maupun di daerah, hingga mungkin akan lebih baik dijadikan gudang beras agar birahi impor pemerintah bisa sedikit diredakan.

Inilah sesungguhnya pekerjaan berat dan serius yang perlu diatasi oleh Dr. Fadli Zon, selaku Menteri Kebudayaan ketimbang mengorek jahitan lama dari luka dalam peristiwa reformasi 1998. Toh, luka itu kalau pun memang ada, dimaafkan oleh proses sang waktu yang sedang menjadi generasi unggulan hari ini untuk memasuki era Indonesia emas, tiada lagi perlu mengusik dosa maupun jasa masa lalu yang tiada ada manfaatnya pada hari ini dan esok bagi kita semua. Itulah dasar pemikiran sebelumnya tentang rumah adat di setiap provinsi dan kabupaten serta kota di Indonesia perlu dibangun menjadi pusat kesenian dan kebudayaan dari masing-masing warna dan aneka seni budaya suku bangsa Indonesia agar dapat menjadi bagian dari ketahanan dan pertahanan bangsa dan negara dari sergapan budaya maupun dominasi apa saja yang berbau asing. Karena itu, gagasan rumah adat di berbagai daerah itu pun dapat sekaligus dijadikan sentra dari segenap karya anak bangsa yang khas lokal — kearifan — mulai dari beragam jenis makanan hingga kerajinan mendapatkan etalase yang tak hanya untuk dipamerkan, tapi bisa juga diperoleh semacam souvenir yang bisa dibawa pulang oleh mereka yang datang dari berbagai ujung dunia. Sehingga identitas kepribadian bangsa yang luhur, kreatif dan inovatif serta inventif dapat lebih dipahami tidak hanya sebatas di kandang sendiri.

Inilah tugas dan peran Kementerian Kebudayaan Indonesia, menghidupkan kembali ruh dan jiwa seni dan budaya suku bangsa Indonesia, agar tak tenggelam ditelan jaman.

Mungkinkah kondisi kesenian dan kebudayaan kita seperti yang dimaksud oleh Ninik Mamak dari semiotika batang tarancam itu ? Yang pasti, hanya Fadli Zon yang bisa memulai dan mengajak seluruh pihak yang berkepentingan mengeroyok pekerjaan besar ini.

Banten, 1 Juli 2025

Red

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Latest Posts