
Jacob Ereste :
Global Cyber News.Com. -Bahasa langit (Tuhan), bahasa tubuh (manusia) dan bahasa bumi ( hujan, panas, dingin, petir dan kilat hingga bencana alam) yang sulit dipahami oleh manusia sejenis apapun sehingga harus dimengerti secara spiritual yang acap dikatakan banyak orang tidak masuk akal. Padahal tingkat kecerdasan manusia itu dapat dimengerti berasal dari pengalaman, pembelajaran dan Wahyu Tuhan yang sudah lengkap disampaikan melalui Nabi dan Rasul-rasulnya lewat perantara malaikat serta beberapa diantaranya yang langsung sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW dan Rasul Allah. Dari berbagai kitab suci, Nani yang juga berpredikat sebagai Rasul diantaranya adalah Nabi Muhammad SAW, Nabi Isa, Nabi Musa dan Nabi Ibrahim.
Dalam perspektif Islam, Nabi dan Rasul yang memiliki peran sangat penting dalam menyampaikan Wahyu Tuhan dan ditugaskan untuk membangun komunitas yang dia asuh untuk menyampaikan pesan Tuhan dengan beragam tantangan yang harus dihadapinya ketika harus menyampaikan pesan Tuhan. Sebagai manusia pilihan Tuhan, para Nabi dan Rasul menerima wahyu yang juga menjadi pengetahuan yang dimilikinya yang juga berdasarkan pengalaman spiritual.
Manusia biasa — setidaknya sekapasitas dan sekualitas wali sangat mungkin memperoleh Wahyu langsung dari Tuhan. Inilah diantara yang membangkitkan semangat para pelaku spiritual terus berjalan mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga kemampuan untuk membaca bahasa langit, bahasa diri dan bahasa alam semesta mampu menyapa manusia dan makhluk hidup lainnya dengan cara terus mengasah talenta dan segenap kemampuan panca indra dalam percercapan, mulai dari rasa, penglihatan yang tak kasat mata, pendengaran yang tiada suaranya, serta penciuman terhadap ketiadaan aroma yang terendus dalam kepekaan sensoris daya raba yang peka untuk mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Dari kemampuan serupa ini dan kecerdasan spiritual yang mumpuni, maka panca indra dapat berlipat ganda kemampuan kualitas dan kapasitasnya untuk ikut membekali perjalan lebih jauh memasuki wilayah spiritual yang tidak berbatas dan tidak pula terbatas, karena sungguh maha luas seperti kemampuan dan kekuasaan Tuhan. Oleh karena itu pula spiritualitas acap dianalogikan sebagai keyakinan dari keberadaan Tuhan yang tidak dapat disangkal keberadaannya.
Dalam konteks spiritual, ini pula panca indra dapat dimengerti lebih luas cakupan dan liputannya untuk merasakan, memahami dan menyaksikan hal-hal yang tak kasat mata hingga hal-hal yang tidak terdengar suaranya. Sehingga kepekaan emosi, intuisi pada dalam satu penglihatan batin untuk melihat aura, letupan energi serta visi spiritual yang terbenam di kedalaman batin dengan kemampuan mendengar suara yang tidak terdengar seperti suara hati, bisikan jiwa hingga pada akhirnya pada sapaan Tuhan yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia di bumi untuk bekal menuju akhirat.
Begitulah akhirnya bahasa tubuh, bahasa bumi dan bahasa langit sesungguhnya ada dalam setiap diri manusia yang mampu mengelola dan mendayagunakannya sebagai energi untuk melakukan dialog — meski hanya sebatas batin — dengan Tuhan Yang Maha Pengasih dan juga Maha Penyayang bagi umatnya.
Capaian pendakian spiritual serupa inilah yang menjadi bagian dari puncak-puncak kebahagiaan para pelaku spiritual — yang acap disebut semacam pengembaraan batin pada kedalaman jiwa yang sesungguhnya bersemayam didalam tubuh manusia. Karena itu, kemampuan membaca ayat-ayat diri sebagai buah dari perjalanan hidup seperti yang sering berulang kali dikatakan oleh Sri Eko Sriyanto Galgendu, selaku Pemimpin Spiritual Nusantara yang telah khatam menunaikan puasa pala, sesungguhnya hakikat Tuhan itu sendiri ada di dalam diri manusia. Dalam bahasa kearifan lokal inilah yang dimaksud dari “manunggaling kawulo lan gusti” itu. Dan dapat dimengerti bahwa manusia tidak ada satu pun yang dapat menjadi Tuhan. Tetapi manusia dapat menyatu bersama Tuhan. Kecuali itu pun, Tuhan sendiri telah menunjuk manusia sebagai khalifatullah — wakil Tuhan di bumi.
Banten, 2 Juli 2025
Red