
Jacob Ereste :
Global CyberNews.Com. -Kemarahan yang tidak lagi mampu ditahan akibat terlalu lama mengukur sabar yang tak menemukan suasana mereda, begitulah awal mula gagasan kaum pergerakan terpaksa — sekali lagi terpaksa melakukannya — lantaran ruang dialog sudah disumbat, tak bisa lagi dilakukan.
Jadi, tradisi dan budaya suku bangsa Nusantara yang telah resmi menjadi bangsa Indonesia — sejak tahun 1945, telah hilang, sehingga inti dari hakekat musyawarah mufakat sudah tercoret dari khazanah budaya baru yang berbaur dengan tradisi kapitalistik ortodok yang terus berkembang beranak pinak di Indonesia, karena memperoleh lahan persemaian yang subur makmur.
Ekspresi kemarahan dalam rangkaian aksi unjuk rasa rakyat di Indonesia sejak 28 Agustus 2025 yang begitu cepat merambat ke berbagai kota besar lain di Indonesia raya, menunjukkan bukti dari kesabaran yang terlalu lama terpendam itu telah menjadi kemarahan yang tak lagi tertahan, persis seperti ekspresi dari penjarahan yang dilakukan massa rakyat yang marah itu dengan menjarah rumah para tokoh yang dianggap telah menjadi biang pembuat susah bagi rakyat, seperti tampilan mereka yang menimbulkan rasa antipati — tidak empati sana sekali — dengan kesan yang dirasa sangat merendahkan seperti menyebut rakyat yang ingin membubarkan DPR RI adalah orang paling tolol sedunia. Demikian juga ketika rakyat melakukan aksi dan unjuk rasa akibat tekanan kenaikan nilai pihak yang berlipat lantas disusul dengan kenaikan tunjangan para anggota dewan sambil berjoget-ria seakan sedang mengejek dan mengolok-olok para peserta aksi dan unjuk rasa itu, justru semakin mengajuk tingkat keparahan rakyat menjadi muncrat diubun-ubun yang tidak lagi dapat dikendalikan.
Itulah tampaknya ekspresi dari kejengkelan rakyat yang mendesak para koruptor segera dibersihkan dari Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto agar dapat segera menjalankan program pembenahan dan perbaikan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Sehingga desakan untuk menghukum para koruptor dengan vonis mati dan perampasan aset haram mereka persis seperti yang dilakukan sendiri oleh rakyat dengan cara penjarahan.
Istilah dari penjarahan itu sendiri sesungguhnya identik dengan perampasan aset yang diharap dapat segera dilakukan oleh negara terhadap mereka yang melakukan tindak pidana korupsi hingga membuat rakyat menjadi semakin susah.
Oleh karena itu tanda dari kemarahan rakyat yang sesungguhnya sudah bisa diprediksi sebelumnya — minimal sejak aksi spontan warga masyarakat Kabupaten Pati yang terjadi pada pekan sebelumnya, dapat dipahami sebagai bagian dari kemarahan rakyat yang tersulut akibat kenaikan nilai pajak yang berlipat, kemudian menyusul kebaikan gaji dan tunjangan para anggota dewan yang masih merasa paling terhormat itu menjadi pemantik kerajaan aksi untuk rasa yang ditanggapi secara tidak bijak hingga terjadi insiden yerlindasnya Affan Kurniawan oleh kendaraan taktis kepolisian, hingga kemarahan menjadi semakin tidak dapat dikendalikan, seperti Akti pada malam hari 28 Agustus 2025 di Markas Brigade Mobil Kepolisian di Kwitang, Jakarta Pusat yang diserbu para peserta aksi dan unjuk rasa dengan sangat nekat.
Begitu juga pada hari berikutnya — 29 Agustus 2025, massa aksi menyerbu Komplek Polda Metro Jaya sejak pagi hingga malam, sampai membuat Ibu Kota Jakarta menjadi semakin menegang. Celakanya, pada hari Sabtu, 30 Agustus 2025, semua kendaraan dari luar Jakarta yang sudah di cegah masuk sejak hari Jum’at (29 Agustus 2025) justru total melibatkan kendaraan umum Bus Way pada hari Sabtu, 30 Agustus 2025, sehingga menambah suasana Ibu Kota dan kota yang ada disekitarnya, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Karawang menjadi semakin liar tak terkendalikan.
Sejak hari Minggu, 31 Agustus 2025 gerakan penjarahan dilakukan oleh rakyat — seakan kompensasi dari wujud penyitaan aset para koruptor yang tidak kunjung direstui oleh DPR RI sekaligus legalitas dari hukuman hati — tanpa amnesti dan abolisi yang justru terkesan upaya memelihara para koruptor itu untuk menjadi sumber duit bagi para aparat penegak hukum atau untuk dimanfaatkan oleh lawan politiknya sebagai sandra yang telah menjadi bagian dari budaya baru dalam khazanah politik di Indonesia.
Demikian juga menurut sejumlah pakar dan pengamat sosial dan politik di Indonesia yang menggiring opini tentang aksi unjuk rasa rakyat yang terjadi dan berlangsung secara spontan itu, diklaim dilakukan oleh pemegang remote dari bangsa asing yang ingin memecah belah persatuan dan kebersamaan rakyat untuk mendukung pemerintah. Demikian sesungguhnya inti dari aksi dan unjuk rasa yang muncul secara spontan dari berbagai elemen bangsa — sungguh memperoleh sanggahan yang keras dari berbagai pihak untuk tidak dialihkan kepada keinginan bangsa asing, atau mereka yang disebut oligarki mafia asing. Sebab realitas pemantik gerakan aksi atau pun unjuk rasa yang terjadi — mulai dari kemarahan warga masyarakat Pati yang terus disusul oleh warga masyarakat di berbagai kota lain — jelas menunjukkan akibat tekanan dan himpitan ekonomi yang semakin membuat rakyat kebanyakan semakin terjepit dan hidup semakin sulit.
Banten, 30 Agustus 2025
Red