
Global Cyber News.Com. -Kisah Abdul Muis (59) viral, seorang guru mata pelajaran Sosiologi di SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan, menghadirkan sisi pilu di balik pengabdian panjang seorang pendidik.
Setelah 27 tahun mengabdi, ia harus menerima kenyataan pahit: dipecat dari status Aparatur Sipil Negara (ASN) dan bahkan sempat dipenjara, delapan bulan sebelum masa pensiunnya tiba.
Abdul Muis, yang dikenal sebagai guru sederhana dan disegani di sekolahnya, tidak pernah menyangka akhir kariernya akan berujung pada pemecatan tidak hormat.
Keputusan pemberhentian itu tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 800.1.6.4/4771/BKD, yang menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 4265 K/Pid.Sus/2023 tertanggal 26 September 2023.
Abdul Muis mulai meniti kariernya sebagai guru sejak tahun 1998.
Ia pernah mengajar di SMAN 2 Walenrang, kemudian berpindah ke SMA Baebunta (2000) dan SMA Sukamaju (2002), sebelum akhirnya menetap di SMAN 1 Luwu Utara sejak 2009.
Putra asli Masamba ini dikenal sebagai guru yang tekun, disegani, dan kerap membantu rekan sejawat, khususnya guru honorer yang kesulitan ekonomi.
Namun, seluruh pengabdian itu berhenti setelah kasus dana komite sekolah menjeratnya.
Kasus bermula dari niat baik: membantu guru honorer yang tidak mendapatkan tunjangan dari Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) karena tidak terdaftar di sistem Dapodik (Data Pokok Pendidikan)—sebuah sistem nasional yang merekam data resmi pendidikan di Indonesia.
“Saya didaulat jadi bendahara komite melalui rapat. Jadi posisi saya hanya menjalankan amanah,” kata Muis menjelaskan awal mula kasusnya.
Pada tahun 2018, Muis ditunjuk menjadi bendahara komite sekolah melalui rapat bersama pengurus dan para orang tua siswa.
Dalam rapat tersebut, para orang tua sepakat memberikan sumbangan sukarela sebesar Rp20.000 per bulan untuk membantu guru honorer yang belum tercatat di Dapodik dan tak bisa menerima dana BOS.
“Yang tidak mampu tidak diminta membayar. Bahkan yang punya anak lebih dari satu, cukup bayar satu saja,” jelasnya.
Dana yang terkumpul digunakan untuk mendukung kegiatan sekolah dan memberikan tunjangan kecil bagi guru dengan tugas tambahan seperti wali kelas, pengelola laboratorium, dan wakil kepala sekolah.
Bagi Muis, itu bukan pungutan liar, melainkan hasil musyawarah dan partisipasi sukarela masyarakat pendidikan.
Namun pada tahun 2021, seorang pemuda mengaku dari LSM datang ke rumahnya dan menanyakan soal dana komite.
“Dia langsung minta memeriksa buku keuangan. Karena saya enggan memperlihatkan, dia mengancam akan melapor ke polisi,” tuturnya.
Tak lama kemudian, ia dipanggil kepolisian dan dituduh melakukan pungutan liar (pungli) serta pemaksaan terhadap siswa.
Kasus tersebut kemudian bergulir ke meja hijau. Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) menjatuhkan vonis satu tahun penjara dan denda Rp50 juta, subsider tiga bulan kurungan.
Muis menjalani hukuman di Rutan Masamba selama enam bulan 29 hari, dengan potongan masa tahanan.
“Kalau itu disebut pungli, berarti memalak secara sepihak. Padahal semua keputusan terbuka dan disepakati lewat rapat,” tegas Muis.
Ia menambahkan, banyak siswa yang tidak membayar sumbangan tetapi tetap diperbolehkan ikut ujian. “Kalau dipaksa, mestinya semua siswa harus lunas. Tapi faktanya tidak begitu,” ujarnya.
Niat Baik Berujung Pidana
Abdul Muis mengaku tidak pernah sedikit pun berniat mencari keuntungan pribadi.
Selama menjadi bendahara komite, ia hanya menerima tunjangan transportasi Rp125.000 per bulan dan tambahan Rp200.000 sebagai wakil kepala sekolah.
Sebagian besar uang itu justru ia gunakan membantu guru honorer yang kesulitan biaya.
“Banyak guru honor di sekolah kami hanya dapat Rp300 ribu sebulan. Ada yang tidak hadir karena tidak punya uang bensin. Saya sering bantu mereka,” katanya mengenang.
Tujuan awalnya sederhana: memastikan kegiatan belajar mengajar tidak terhenti karena kekurangan tenaga pendidik.
“Tenaga pengajar itu kan dinamis. Ada yang meninggal, ada yang mutasi, ada yang pensiun. Jadi itu bisa terjadi setiap tahun,” ucapnya.
Namun niat baik itu justru berujung pada status PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) menjelang masa pensiunnya.
“Sedih sekali. Saya tinggal menunggu delapan bulan lagi. Tapi ternyata harus berakhir seperti ini,” ujarnya pelan.
Red








