
Jacob Ereste :
Global Cyber News.Com. -Wafatnya Sunan Paku Buwono XIII pada 2 November 2025 telah menimbulkan keprihatinan dari berbagai kalangan akibat terjadi kegaduhan dalam penetapan pengganti Sunan Paku Buwono XIII hingga Lembaga Dewan Adat (LDA) menetapkan KGPH Hangabehi sebagai Pakubuwono XVI pada 13 November 2025.
Sajak awal wafatnya Pakubuwono XIII saat pemakaman pada 5 November 2025 secara adat keraton menuju Astana Pajimatan Himagiri bersebelahan dengan makan ayahandanya Susuhunan Pakubuwono XII di Kompleks Kedhaton Susuhunan Pakubuwono X. Dan Pakubuwono XIII yang lahir pada 28 Juni 1948 sempat bertahta selama 21 tahun, sejak tahun 2004 hingga wafat tahun 2025.
Pada masa awal Pakubuwono XIII naik tahta pun terjadi kegaduhan karena adanya klaim dari dua pihak — setelah Pakubuwono XII wafat tanpa Putra Mahkota karena beliau tidak memiliki Permaisuri. Sehingga para putra Pakubuwono XII dari ibu yang berbeda saling mengakui tahta sang Ayah.
Pakubuwono XIII bertahta sejak 10 September 2004 hingga 2 November 2025. Ketika KGPH Hangabehi didaulat sebagai penguasa keraton oleh keluarga, ketika itu KGPH. Tejowulan langsung menyatakan keluar dari keraton. Karena keduanya pemangku tahta yang sah dan masing-masing ketika itu melakukan upacara pemakaman sang ayah secara terpisah. Namun dari konsensus keluarga telah sepakat menunjuk Hangabehi untuk menjabat gelar Pakubuwono XIII.
Konflik raja kembar ini terjadi sekitar 8 tahun hingga mereda pada tahun 2012. Setelah KGPH. Tejowulan mengaku Pakubuwono XIII dalam acara rekonsiliasi resmi yang diprakarsai pemerintah Kota Surakarta. Dan KGPH. Tejowulan sendiri dipercaya sebagai Mahapatih Kasunanan Surakarta dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Penyembahan Agung.
Karena itu, memang akan lebih bijak kegaduhan dalam pengganti sosok Pakubuwono XIII sekarang ini dapat dilakukan rekonsiliasi sebagaimana yang pernah dilakukan pada prosesi sebelumnya, sehingga tidak hanya dapat menciptakan ketenteraman dalam lingkungan Keraton, tapi juga bisa menjadi tradisi yang baik guna memaksimalkan peran warga masyarakat keraton untuk menjaga dan melestarikan budaya leluhur agar dapat menjadi benteng pertahanan serta ketahanan budaya bangsa Indonesia yang terus tergerus oleh budaya dari negeri seberang.
Keraton sebagai simbol pertahanan budaya bangsa Indonesia patut dijaga dan dikembangkan bersama seluruh komponen bangsa — tidak hanya sebatas masyarakat Jawa — tetapi juga oleh seluruh warga bangsa Indonesia untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan budaya yang ada di keraton, seperti yang ada di Ternate, Luwuk, Sriwijaya hingga Pajajaran — Pasundan — yang sangat besar potensi dan kekuatan untuk dimaksimalkan sebagai pertahanan dan ketahanan budaya bangsa Indonesia dari sergapan budaya dari bangsa asing.
Banten, 19 November 2025
Red








