
Oleh : Ari Supit
Global Cyber News.Com. -Jakarta, 23 April 2025 — Dua peristiwa yang terjadi hampir bersamaan di Kabupaten Cianjur membuka ruang diskusi nasional yang mendalam. Keduanya berkaitan dengan keracunan makanan dalam skala besar. Namun, respons publik terhadap masing-masing kejadian menunjukkan bias penilaian yang signifikan. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) langsung menjadi sasaran kritik tajam, sementara insiden serupa dalam sebuah hajatan warga nyaris luput dari perhatian.
Ironi ini perlu dicermati. Sebab pada titik ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah satu insiden dapat menjadi alasan untuk menggugurkan sebuah program nasional yang telah menyentuh jutaan anak ? Dan lebih jauh lagi, mampukah kita membedakan antara kesalahan pelaksanaan teknis dan nilai kebijakan yang mendasarinya ?
–
Dua Peristiwa, Satu Narasi: Makanan Massal yang Gagal Layak Konsumsi
Pada 21 April 2025, sebanyak 78 siswa dari dua sekolah di Cianjur — 52 dari 788 siswa MAN 1 dan 20 dari 167 siswa SMP PGRI 1 — mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi makanan dari Program MBG. Sebanyak 2.071 porsi makanan didistribusikan ke sembilan sekolah pada hari tersebut. Investigasi awal dari Dinas Kesehatan mengindikasikan adanya kelalaian dalam proses penyajian oleh pihak katering.
Sementara itu, sehari sebelumnya, sebuah hajatan di Kampung Pasirhalang, Kecamatan Cugenang, menyebabkan hampir 100 warga mengalami gejala serupa. Menu yang disajikan — nasi, ayam goreng, sayur lodeh, dan sambal — diduga telah basi akibat kesalahan dalam penyimpanan.
Meski terjadi dalam rentang waktu berdekatan dan sama-sama melibatkan konsumsi massal, hanya satu yang menjadi sorotan nasional: Program MBG. Tidak ada headline besar tentang hajatan tersebut. Tidak ada tuntutan nasional untuk mengevaluasi atau mengatur hajatan desa. Hal ini menimbulkan pertanyaan krusial: mengapa bobot perhatian publik tidak seimbang ?
–
MBG: Lebih dari Sekadar Makan Siang
Program Makan Bergizi Gratis merupakan wujud konkret kehadiran negara dalam menjamin kesehatan dan kelangsungan pendidikan anak-anak Indonesia. Ia bukan sekadar menyediakan makan siang, melainkan memberikan harapan — harapan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu agar tetap bisa belajar dalam kondisi kenyang dan sehat.
Sejak dicanangkan, MBG telah menjangkau ribuan sekolah dan jutaan pelajar di seluruh Indonesia. Di banyak daerah tertinggal, makanan dari MBG menjadi satu-satunya sumber gizi harian yang teratur. Program ini tidak hanya menjadi jaring pengaman sosial, tetapi juga bentuk investasi jangka panjang dalam kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Karena itu, menyamakan kesalahan teknis dalam satu titik pelaksanaan sebagai kegagalan total program adalah sikap yang tergesa dan tidak adil.
–
Evaluasi, Bukan Pembatalan
Kesalahan harus ditindak secara tegas. Investigasi harus dilakukan secara transparan. Penyedia jasa katering yang lalai harus diberi sanksi. Korban harus memperoleh penanganan medis dan kompensasi yang layak. Penyebab pasti masih dalam pendalaman oleh pihak berwenang.
Namun, menghentikan MBG hanya karena satu insiden lokal ibarat menebang pohon karena satu dahannya patah.
Yang dibutuhkan bukanlah penutupan, melainkan penguatan program. Beberapa langkah konkret yang dapat segera dilakukan antara lain:
- Audit menyeluruh dan berkala terhadap seluruh mitra katering.
- Peningkatan pelatihan keamanan pangan bagi seluruh tenaga penyedia.
- Pelibatan komite sekolah dan orang tua dalam proses pengawasan.
- Penerapan sistem pelaporan dini berbasis teknologi, untuk mendeteksi dan merespons potensi risiko sebelum meluas.
- Penambahan prosedur standar operasional (SOP) baru: seluruh sisa makanan tidak lagi dibersihkan di lingkungan sekolah, melainkan dikembalikan dan ditangani langsung oleh Sentra Produksi Pangan Gizi (SPPG) untuk mencegah kontaminasi silang serta menjamin keamanan pangan.
Sebagai catatan penting, SPPG di Cianjur telah beroperasi sejak 15 Januari 2025, dan insiden ini merupakan kejadian pertama yang tercatat. Fakta ini menunjukkan bahwa sistem pada dasarnya telah berjalan cukup baik, tetapi tetap memerlukan penyegaran dan pelatihan ulang guna meningkatkan kewaspadaan serta kompetensi teknis di lapangan.
–
Perspektif Ganda: Mengapa Hajatan Tak Dipersoalkan ?
Ketimpangan reaksi terhadap dua peristiwa serupa memperlihatkan bagaimana program negara sering kali menjadi sasaran kritik yang berlebihan, sementara praktik sosial yang tidak kalah berisiko cenderung dibiarkan tanpa evaluasi berarti.
Mengapa keracunan di hajatan tidak menimbulkan polemik nasional ? Mengapa tidak muncul desakan untuk mengatur sistem penyajian makanan dalam acara warga ? Tidak ada tuntutan agar hajatan diregulasi secara nasional.
Kemungkinan jawabannya sederhana: karena MBG adalah program negara, dan produk negara seringkali dianggap lebih layak disalahkan. Namun kritik yang tidak dibarengi dengan pemahaman menyeluruh akan berujung pada penghancuran upaya sosial yang besar, bukan pembelajaran yang sehat.
–
Menjaga Akal Sehat di Tengah Emosi Publik
Keracunan makanan, dalam konteks apa pun, adalah tragedi. Tetapi bagaimana kita merespons tragedi tersebut akan menentukan arah kebijakan di masa depan.
Kemarahan terhadap kelalaian itu wajar, bahkan penting. Namun membatalkan program yang telah memberi manfaat kepada jutaan anak karena satu insiden adalah bentuk kemunduran logika publik. Kita harus bisa membedakan antara akuntabilitas dan pembinasaan, antara evaluasi dan pembubaran.
MBG bukan proyek politik jangka pendek. Ia adalah proyek kemanusiaan yang membutuhkan perbaikan berkelanjutan, bukan penghapusan karena tekanan sesaat.
–
Cianjur, Titik Balik Menuju Sistem yang Lebih Aman
Insiden di Cianjur harus menjadi pelajaran berharga. Ia adalah wake-up call bagi negara untuk memperkuat pengawasan dan sistem pelaksanaannya. Namun pada saat yang sama, ini juga menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk menilai secara adil.
Program sebesar MBG pasti memiliki risiko. Namun cara kita merespons risiko tersebut akan menunjukkan karakter bangsa kita: apakah kita bangsa yang belajar dari kesalahan dan membangun perbaikan, atau bangsa yang menyerah pada satu kegagalan kecil ?
Dari Cianjur, kita diingatkan untuk tidak hanya menyalahkan, tetapi juga memperbaiki. Untuk tidak berhenti pada kekecewaan, tetapi terus menjaga semangat: bahwa setiap anak Indonesia berhak tumbuh sehat, kuat, dan cerdas — dimulai dari satu piring makan siang yang bergizi.
Red