
Jacob Ereste :
Global Cyber News.Com. -Membangun gubuk milik sendiri itu lebih baik dari pada tinggal di istana warisan. Kendati gubuk itu pun masih dalam sngan-angan yang belum terwujud, lantaran berbagai kendala, seperti membangun organisasi atau partai politik yang tak jelas juntrung dan ayahnya. Apalagi hanya sekedar untuk merengkuh jabatan seperti yang banyak menjadi rebutan banyak orang.
Itulah dunia kreatif yang hilang, tak lagi menjadi cital-cita mandiri yang teguh, lantaran ikut menempuh jalan pintas seperti yang dominan dilakukan banyak orang.
Akibatnya pun, selera instan — ingin secepat kilat menembus langit uang tak tercapai — namun fantasi terus tersendiri — termasuk di dalam mimpi sekalipun yang selesai ketika terbangun memasuki dunia nyata yang paripurna.
Inilah puisi penyair yang diterangkan angin yang terhembus bersama isapan rokoknya yang terakhir.
Semua orang terpana, ketika mendengar dan menyaksikan deklamasi sang penyair itu terengah-engah karena menahan lapar sejak tadi padi juga belum sarapan. Tapi penyair itu terus berjalan seusai membacakan karyanya sambil menyebarkan naskah puisinya itu untuk dibawa angin sesuka hati.
Model dan gaya penulisan puisi dan pembacaan serupa yang dia lakukan tersebut, seakan sedang melawan keangkuhan budaya penerbitan yang tak lagi tertarik untuk membukukan karya tulis sejenis apapun, sebab segala keperluan sudah fapat dilayani lewat vitur digital yang mampu memberi banyak keperluan yang dibutuhkan. Termasuk film porno untuk sekedar membangkitkan gairah seks yang sudah logo.
Apalagi hanya sekedar untuk mencari kendaraan bekas atau yang masih greng terbangun dari pabrik, bisa dinegosiasi lewat media sosial yang justru tak punya warak sosial yang paling esensi diperlukan manusia.
Sekedar untuk menikmati menu klas Warung Tegal pun bisa diorder seketika itu juga pada waktu kapan pun juga untuk diantar ke mana saja, kecuali ke daerah akhirat.
Penyair itu terpana menyaksikan dirinya telah memasuki kota yang begitu riuh dan gaduh, seperti sedang menggunjingkan ijazah yang tak kunjung ditunjukkan otentisitas keasliannya. Padahal, itu saja yang diinginkan banyak orang, bukan kamuflase yang diaku-aku oleh berbagai pihak yang justru makin memanas dan memperluas wilayah konflik hingga lalai pada harga beras dan minyak goreng yang telah membuat sibuk aparat penegak hukum ikut juga menenggak barang haram seakan tengah bersaing dengan masalah timah, BBM oplosan sampai CSR yang ikut dibantah beramai-ramai.
Itulah bagian dari puisi terakhir dari sang penyair yang tiba-tiba hilang ditelan keramaian ibu kota, entah apa namanya. Seperti reformasi yang hilang jejak sejarahnya.
Banten, 20-21 Mei 2025
Red